Heru Rahwiyanto

Guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 3 Wedung Kabupaten Demak, Lulusan S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris IKIP PGRI Semarang tahun 2004. Mulai menjadi guru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tanah, Air dan Cita-Cita

Tanah, Air dan Cita-Cita

Seperti hari-hari sebelumnya, di tempat penulis mengajar, yaitu di sebuah daerah di pesisir utara Kabupaten Demak, di sebuah perkampungan yang dikelilingi hamparan tambak-tambak dan tanaman bakau (mangrove) di wilayah Desa Wedung, beberapa kaum adam dewasa mulai melakukan rutinitas hariannya. Mereka berangkat ke tambak, sebagian mencari ikan di sungai dan muara, serta beberapa yang mencari kepiting di sekitar celah-celah rimbunnya tanaman bakau. Sedangkan ibu-ibu dan beberapa kaum hawa lainnya melakukan aktifitas yang memang sepertinya sudah menjadi bagian tugasnya masing-masing. Ada yang menggendong anaknya seraya bercengkrama dengan tetanga, serta tidak sedikit pula yang melakukan tugas rumah tangga lainnya, menyapu, mencuci dan menyiapkan makanan untuk keluarganya.

Ketika matahari sudah mulai menampakkan sinar keagunganNya, anak-anak juga mulai menyiapkan diri untuk menjemput cita-citanya di sekolah masing-masing. Ada sebagian yang berjalan kaki menuju sekolahnya, sendirian maupun berjalan bersama. Kebetulan ada TK, SD, SMP yang jaraknya memang tidak jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. Tepatnya menyatu dengan perkampungan tersebut. Sedangkan anak yang menimba ilmu di sekolah tingkat atas, SMA, SMK, dan MA sudah beranjak menuju sekolah mereka yang jaraknya tidak sedekat dengan adik-adiknya. Hampir semua menyiapkan diri berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Ini dikarenakan jarak dari tempat tinggal ke sekolah lebih dari 10 km.

Namun seiring datangnya musim penghujan, sebagian besar penduduk tersebut mulai timbul ketidaknyamanan, kecemasan dan “kegalauan” yang sebenarnya memang sudah (biasa) menjadi bagian dalam rutinitasnya sehari-hari. Terlebih bagi yang harus lakukan aktifitasnya keluar dari tempat tinggal mereka, utamanya anak-anak yang menimba ilmu di sekolah yang memang jaraknya cukup jauh tersebut. Banyak sekali cerita yang sangat ironis dengan perkembangan jaman saat ini. Ada beberapa pengalaman ketika hujan jalan menuju dan dari perkampungan tersebut menjadi sebuah jalan yang bahkan bisa dikatakan bukan seperti sebuah jalan, tepatnya mirip sebuah kubangan lumpur. Ini dikarenakan struktur jalan hanya berupa tanah yang (fungsi) sebenarnya adalah tanggul pemisah antara sungai dengan tambak warga. Perpaduan tanah dan air hujan menjadikan struktur tanah selebar 1,5 meter dan sepanjang hampir 2 km yang sebelumnya padat menjadi “adonan lumpur” yang sangat susah untuk bisa dilalui sepeda motor. Ya, hanya sepeda dan sepeda motor yang bisa melaui karena jalan tersebut memang tidak bisa dilewati kendaraan yang lebih besar dari sepeda motor. Praktis warga terlebih anak-anak yang akan berangkat ke sekolah harus berjibaku di atas sepeda motornya, pemandangan pakaian (seragam) kotor, basah, bahkan terjatuh dari motor merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi. Dan ini akan terus terjadi sebelum jalan tanah tersebut berubah menjadi jalan beton atau beraspal. Semoga dari perjuangan tersebut akan tercetak generasi muda yang cerdas, tangguh, dan kelak bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga (orang tua), daerah, bangsa dan tentunya bagi dirinya sendiri. Aamiin…

Kids jaman now adalah kids yang tangguh dan pantang menyerah…

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post