Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Ceplong

Ceplong

Hujan-hujan di Jakarta begini mengingatkanku pada kejadian Jumat, 2 Februari 2007. Pagi itu aku bikin teh manis dalam gelas jumbo mirip kepunyaan Pae--pangilan untuk bapakku. Proses mencari gelas itu mempunyai cerita tersendiri. Aku sudah lama menginginkan bentuk gelas serupa itu. Cukup menyita waktu. Aku keluar-masuk beberapa pertokoan untuk sekadar membeli gelas serupa.

Namun keinginan minum teh waktu itu gagal lantaran sesaat setelah aku menuangkan air panas, lingkaran bawah gelas retak dan terlepas. Bahasa jawanya ceplong. Air teh berleleran dan kulap dengan kain pel. Aku tersandar di tembok kosan menatapi hujan di luaran. Tidak jadi ngeteh panas. Agaknya prediksi banjir lima tahunan bakal terjadi. Pagi itupun aku memutuskan tidak berangkat ke sekolah untuk mengajar.

Tak sampai sejam kemudian masku yang di Bekasi sms mengatakan ayah di Klaten mengalami kecelakaan. Bagai disambar kilat, aku terus melantunkan istighfar dan berharap beliau cuma sekadar lecet saja. Bergegas kuambil wudhu, salat meminta ketenangan dari Yang Maha Kuasa. Tapi keinginan manusia tidaklah bisa memutus kehendak-Nya.

Sebentar kemudian ponsel dari mbakku di Kelapa Gading berdering. "Wid, yang sabar..." suaranya terdengar serak, "Pa'e meninggal...kita pulang sekarang. Kamu tunggu di situ nanti masmu--kakak ipar--jemput kamu," imbuhnya menahan isak.

Innallillahi wa innailaihi raji'un, gumam batinku. Meski di sisi lain batinku berkata ini hanya mimpi, sebentar pasti bapak bangun lagi. Tidak ada air mata saat itu. Aku menyambar tas dan mengisi baju seperlunya. Jaket kuning masih melekat di badanku. Dengan mengenakan baju rumah, kuturuni tangga dan kuketuk pintu rumah ibu kos. Tujuanku mau pamitan sekalian menunggu kakak ipar datang.

Saat hendak pamit, di situlah baru air mata tumpah. Ibu kos menghampiri dan menyuruhku masuk ke dalam rumah. Ia menyuruh pembantu rumahnya untuk menyediakan makan dan minum, mungkin karena aku hendak melakukan perjalanan jauh ke Klaten, Jawa Tengah. Tapi dengan halus kutolak karena memang tak lagi berselera.

Perjalanan menuju bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara, cukup menyita waktu lantaran sepanjang jalan yang kami lalui sudah mulai terkepung banjir. Dari Kelapa Gading kami berjalan menyusuri genangan air untuk menuju rute Jatinegara, Jakarta Timur. Kami berniat naik kereta api. tapi itu tidak mudah. Pertama harus menyeberang kali Sunter dengan menyusuri tembok yang masih terlihat selebar 20 sentimeter dengan kiri-kanan air kali yang meluap.

Bismillah...tergelincir sedikit saja bisa terseret arus. Jembatan sudah tidak bisa dilalui. Tidak terlihat. Tertutup derasnya banjir. Selepas itu di perempatan Coca Cola lalu lintas macet total. Kami berjalan kaki ke arah timur, berharap ada satu bus yang masih mengangkut penumpang. Tak banyak bicara. Kami terdiam dalam doa. Lumayan jauh juga kami berjalan, dan doa kami dikabulkan ada bus yang sarat penumpang dan kami bisa menaikinya dan tiba di Jatinegara.

Kabar masku yang tinggal di Ciganjur, Jakarta Selatan, sudah duluan naik bus malam dari Lebak Bulus. Dia juga mengabarkan perjalanan ke sana tidak mulus, berjibaku dengan banjir.

Ternyata kereta molor dari yang dijadwalkan lantaran semua lini jalan terkepung banjir yang makin parah. Malam itu hujan pun belum lagi berhenti. Kami sama-sama cemas, bisa tidak menemui jasad bapak untuk terakhir kali. Dalam diam kami kembali berdoa. Biasanya selepas magrib kereta berangkat. tapi lantaran hari itu luar biasa kami berangkat pukul sembilan malam. Parahnya kami dapat tempat duduk dengan jendela yang bolong sementara ada keponakan masih balita.

Alhasil aku beli koran, kulebarkan Koran itu dan kujadikan badanku sebagai penahannya agar dia terhindar dari terpaan hujan dan angin malam. Sementara mbak menghubungi mas di Bekasi mengabari bahwa kereta baru berangkat. “Cari papan triplek juga untuk menutup jendela kereta yang bolong,” imbuhnya.

Namun jalan kereta tidaklah laju. Jalan pelan kemudian diam, jalan lagi tak lama lagi berhenti. Bagitu-begitu terus. Hingga kami sama-sama kelelahan dan tertidur. Sepertinya lama sudah kami berada di dalam kereta, dan memang sudah tiga jaman. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Dan kami edarkan pandangan keluar, ya Allah…kami baru sampai Bekasi! Jarak tempuh biasanya kurang dari setengah jam. Saat itu Jatinegara-Bekasi tiga jam!

Mas, mbak ipar, dan satu keponakan yang di Bekasi naik, dan bergabung. Kereta jauh dari batas kenyamanan: becek, sumpek, lembab lagi pengap. Tak apalah yang penting kami bisa terangkut pulang malam itu disertai hujan yang entah sampai kapan berhenti.

Meski tersaruk-saruk akhirnya kami berhasil melampau banjir di Jakarta dan sekitarnya. Tibalah kami keesokan harinya di wilayah Jawa Tengah. Tapi tetap saja kami waswas tidak akan bisa melepas kepergian bapak ke peristirahatannya yang terakhir. Ponsel berdering. Mbak yang di Klaten menanyakan keikhlasan kami untuk tidak menyaksikan pemakaman bapak, dikhawatirkan terlalu lama. Kami bertiga, dan dua kakak ipar berembug dan menjawab, “Ya, kami memutuskan kalau memang Bapak dimakamkan kami rela.”

Kami pasrah, matahari sudah hampir di atas kepala tapi kereta masih berkutat di Kroya. Langsir lagi. Biasanya subuh-subuh kereta sampai di Klaten. Kami lagi-lagi terdiam. Dalam hati kubermunajat, “Ya Allah yang Maha Kuasa, meski kenyataannya kami tidak mungkin sampai di Klaten sebelum pemakaman, maka sekali-kali pun kami tidak meragukan kekuasaan-Mu untuk mengizinkan kami melihat rupa ayah kami sekali ini, untuk yang terakhir kali.” Lantaran keletihan kami pun tertidur. Ternyata, lain waktu mbakku cerita ia juga berdoa yang sama, mungkin juga masku.

Saat terbangun, kami sama-sama sudah tidak lagi bersemangat untuk sampai rumah cepat-cepat.

“Lihat, kita sudah sampai Wates!” teriak mbak iparku yang memang pernah tinggal di sana, kelahiran Kulonprogo.“Iya…masak sih aku nggak kenal Wates,” imbuhnya, melihat kami belum bereaksi. Antara percaya tidak percaya.

Aku langsung menelepon mbakku di Klaten, “Mbak, kami sudah sampai Jogya…tunggu kami.” Dan kereta seolah ada yang mendorong lajunya. Stasiun demi stasiun terlewati. Dan sampailah di stasiun Klaten. Kami sudah ada yang menanti. Di Klaten pun hujan rintik-rintik.

Sampai di rumah mbak—kakak di atasku—nyaris jatuh sempoyongan, buru-buru dipeluk masku yang tiba duluan dari Ciganjur. Dua mbakku yang tinggal di sana datang memeluk kami, membisiki kata-kata yang menenangkan. “Dah, Pa'e sudah tenang. Kecelakaan selepas salat Jumat di pesantren Mbah Liem—pimpinan Pondok Pesantren Sumopuro. Bersih.”

Mbakku yang satu lagi, yang perawat, ikut membisiki, “Saat Pa'e meninggal kami ada di samping kanan-kiri Bapak.” Kulihat ibu duduk bersimpuh di pojokan dekat jenazah Bapak. Kuhampiri, kucium hangat tangan dan kedua pipinya, kupeluk lunglai tubuhnya. Ya…Allah terasa sekali ada api baru yang padam di sana.

Kuberdiri di sisi kanan, sementara masku di sisi kiri. Kami berdoa, mendoakan bapak kami. Kenapa baru sekali ini kami mendoakan di dekat beliau, sementara mungkin ribuan kali beliau semasa hidupnya membisikkan doa-doa di telinga kami.

Selesai menyalatkan jenazah bapak, para kerabat segera bersiap-siap ke pemakaman. Dalam rintik hujan kami melepas kepergian ayahanda, pelayat tak henti-henti berdatangan, bahkan kata mbak saya tadi jumlahnya jauh lebih banyak dari sekarang. Hujan agak menderas. Kini di hadapan kami pusara ayahanda. Kami duduk setengah jongkok, menengadahkan tangan, mengaminkan doa dari ulama muda, pimpinan ponpes yang baru mengenal Pa’e, dan jatuh cinta akan semangat Pa’e dalam menjalin silaturahmi.

Hari-hari berikutnya di rumah digelar tauziah. Dan kami mulai kembali menata hati-hati kami.

Pagi itu ada yang baru kuketahui. Ketika di belakang rumah, kulihat gelas Bapak tergeletak di tanah. Saat kuambil, bagian bawahnya bolong. Kata ibu, sehari sebelum kecelakaan bapak dibikinkan teh manis.

“Eh tiba-tiba ceplong gelase. Ono opo, yo?” tanya ibu.

Jawab bapak waktu itu, "Yo, ra opo-opo."

Ah, ya…aku sendiri jadi ingat kejadian pagi itu di kosan sebelum mendapat kabar Bapak kecelakaan. Teh manisku ambyar lantaran gelasnya ceplong. Dan gelas itu serupa gelas bapakku. Sungguh. Pertanda itu terlambat aku tafsirkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

semoga Bapanda diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosa dan diterima semua amal ibadahnya. Amiin

24 Mar
Balas

Aamiiin ya Rabbal alamiin. Maturnuwun, Pak Leck....

09 Apr
Balas

Kisah yg luar biasa

23 Mar
Balas

Maturnuwun

09 Apr

Maturnuwun

09 Apr

Maturnuwun

09 Apr



search

New Post