Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cindelaras
Gambar diambil dari http://dongengceritarakyat.com

Cindelaras

Cerita Rakyat

Cindelaras terjerembab ke dalam kubangan. Tangannya berlumuran lumpur. Danang dengan sengaja mendorongnya. Sementara kawan-kawan yang lain menertawai. Perangai anak-anak itu nyaris tanpa dosa. Mereka menikmatinya bagai menyaksikan tontonan lucu.

Sudah lama Cindelaras menjadi bahan olok-olok. Paras Cindelaras yang tampan dan kulit kuning bersih nampak kontras dengan kebanyakan tampang anak-anak di dusun pinggir hutan batas Kerajaan Jenggala itu.

“Anak demit! Anak demittt! Hahahhaa....”

Inilah olok-olok yang menyakitkan. Ia dianggap sebagai anak demit karena dianggap lahir tanpa ayah.

“Woiiii...anak demit sebentar lagi nangiss! Siji...loro...teluuu!”

Saat itu Cindelaras di puncak amarahnya. Hendak membalas lawan tidak sepadan. Danang berperawakan gendut. Melawan Danang saja belum tentu sanggup ditambah beberapa kawannya.

Satu-satunya jalan keluar baginya adalah kabur pulang ke rumah. Ia tidak hendak mengadu kepada emak. Satu saat ia pernah menangis tersedu-sedu mengadukan ulah kawan-kawannya. Alih-alih mendapatkan dukungan ia malah kena omelan.

Oleh karena itu setiap kali Cindelaras menangis, ia harus sudah menghapus air mata dan tidak pernah menyisakan isak tangis lagi. Seperti hari itu ia tidak mau emak tahu ia habis menangis. Kemudian ia menuju sumur belakang rumah untuk menimba. Ia mengguyurkan seember air langsung dari timba mulai dari kepala sampai sekujur tubuh.

Sementara itu asap membubung susul-menyusul dari celah atap yang terbuat dari tumpukan daun kelapa. Ujung hidung Cindelaras membaui sesuatu. Aroma pepes ikan menyebar. Semakin dekat ke bilik dapur semakin menggoda selera. Hmmm...tiba-tiba Cindelaras merasa lapar.

“Makkk...makan, makkk!”

“Hussh...pakai baju dulu, sana.”

Cindelaras asal membalut badannya dengan jarit lurik yang biasa dipakai emak untuk menggendong tenggok. Ia menggelayut manja ke punggung emaknya yang jongkok di depan tungku memanggang pepes ikan mas, kegemaran Cindelaras.

Emak adalah ibu sekaligus ayah bagi Cindelaras. Ia bisa jadi sosok lembut yang penuh kasih. Pada saat yang lain ia bisa menjadi orang yang tegas. Cindelaras hapal betul perangai emaknya. Termasuk, emak tidak suka melihat anak laki-laki yang cengeng apalagi pengadu.

“Mak, kenapa Cindelaras tidak punya bapak?”

Emak mengambil semprong bambu untuk meniupkan udara ke mulut tungku. Seketika api memercikkan bara mengenai kaki Cindelaras. Ia mengaduh, bergeser sedikit. Tapi, nasi yang diambilkan emak belum lagi tersentuh.

“Mau makan atau mau melamun?” tanya emak.

“Kenapa, Mak?”

Emak menarik napas panjang. Keringatnya mengucur dari sela anak-anak rambut. Ibu-anak itu memang bukan seperti warga kebanyakan. Begitu juga dengan emak. Meski rambut digelung asal-asalan, wajah emak yang bulat telur menunjukkan ia bukan perempuan asli setempat. Paras ayunya memancar.

“Sini, Le.” Emak menarik Cindelaras duduk ke atas balai-balai. “Suatu saat nanti pasti kamu akan bertemu dengan ayahmu.”

Cindelaras masih bergeming.

“Kamu diolok-olok lagi, ya?”

“Ya, Mak. Katanya aku anak demit. Anak jadi-jadian. Nggak punya Bapak.”

“Berapa kali emak bilang, jangan berteman sama anak-anak nakal.”

“Terus, dengan siapa Cindelaras bermain?”

“Kamu bisa pelihara binatang. Terserah mau pelihara apa. Asalkan benar-benar dirawat, ia akan lebih setia ketimbang kawan-kawanmu itu.”

“Tapi...akankah Cindelaras bisa bertemu dengan bapak?”

“Ah, kenapa lagi kamu tanyakan itu. Memuja saja sama Gusti. Emak yakin suatu saat pasti kamu bertemu bapakmu.”

Ia bisa yakin Cidelaras bisa bertemu ayahnya lantaran ayahnya masih ada. Dan ia bisa ditemui kapan saja. Tapi Cindelaras tidak pernah ia beritahu asal-usulnya. Perempuan ini berusaha mengubur masa lalu, bahwa ia sebenarnya permaisuri kerajaan Jenggala yang dibuang. Ingatannya melambung pada satu masa saat Cindelaras masih dalam kandungan. Ibu suri tidak menghendaki tahta kerajaan akan diteruskan oleh keturunan perempuan bukan ningrat seperti dirinya.

Dengan liciknya, ibu suri membubuhkan racun ke minuman raja. Saat jamuan minum teh tiba, permaisuri bertugas menyajikan untuk raja. Tanpa ragu ia menuangkan minuman itu ke dalam cawan. Ketika hendak menyilakan raja, buru-buru ibu suri menampik cawan itu. Praakkkk! Cawan jatuh berantakan.

“Jangan diminum Raja! Itu beracun!”

Raja kaget bukan kepalang. Lebih kaget lagi permaisuri. Sejurus raja menatap wajahnya tajam-tajam.

Ibu suri dengan mantap menunjuk ke arah permaisuri. Katanya, “Aku melihat dia mengendap-endap menuju ruangan pelayan dan menaruh sesuatu di poci minuman raja.”

“Ham...ba... tidak mungkin melakukannya,” permaisuri berusaha membela diri.

“Mana ada pelaku mengaku, Raja!” sinis ibu suri. “Kita lihat ini!”

Ibu suri menuangkan sisa minuman dari poci ke cawan yang lain. Ia memberikannya kepada seekor burung peliharaan raja. Burung itu meminumnya. Seluruh yang hadir pagi itu di termasuk patih, menyaksikannya. Tidak perlu menunggu lama, reaksi racun bekerja. Burung itu menjulur-julurkan lehernya tanpa kendali. Lalu badannya menghentak-hentak. Kaku. Sebentar kemudian, tergeletak. Mati!

Raja tercengang. Ia tersulut murka. Pada saat yang sama, racun lain juga menyebar: kebencian. Ibu suri meracuni pikiran raja.

“Tunggu apa lagi, Raja? Hukum mati dia!” Tangan ibu suri menunjuk tepat ke muka permaisuri.

“Patih! Hukum mati dia jauh di hutan sana!” raja masih murka.

“Jangan lupa, ambil jantungnya sebagai bukti kalau ia sudah dihukum mati!” imbuh ibu suri. Matanya terlihat bengis. Kesempatan menjodohkan raja dengan putri pilihannya segera terlaksana.

Malam itu juga ia ditugaskan langsung melaksanakan hukuman. Beruntung permaisuri mempunyai patih yang bijak. Diam-diam patih menilai perangai ibu suri. Ia pantang menolak titah raja. Tetapi ia lebih pantang membunuh perempuan yang sedang mengandung calon penerus tahta kerajaan.

Permaisuri ia bawa menjauh sampai ke sebuah dusun kecil di pinggir hutan. Di sanalah siasat dilakukan. Patih menyembelih seekor kambing. Jantungnya ia ambil. Daging ia masak dan dibagi-bagikan ke tetangga dusun. Sekaligus syukuran dan tanda perkenalan warga baru, yaitu permaisuri yang ia samarkan sebagai kemenakannya.

Keesokan pagi ia menghadap raja. Ia perlihatkan jantung sebagai bukti permaisuri menjalani hukuman.

Raja terduduk lesu. Terbersit penyesalan. Mengapa ia gegabah dalam mengambil keputusan. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa menghidupkan permaisuri kembali. Di lain pihak, ibu suri nampak kegirangan. Ia bersemangat mempersiapkan perayaan pernikahan raja dengan putri pilihannya selama tujuh hari tujuh malam. Perjodohan berjalan lancar hingga pelaminan.

***

Pada satu pagi mentari menyambut dengan semburat hangat cahayanya. Pipit beterbangan dari satu dahan ke dahan yang lain. Di kaki-kaki kecilnya mencengkeram batang-batang padi tua. Tanda musim panen tiba.

Hari itu akan jadi hari istimewa. Paman hendak bertandang. Dini hari emak sudah menyiapkan aneka rebusan. Tangannya dengan cekatan membentangkan kain blacu segiempat. Ia meletakkan umbi, jagung, dan kacang rebus di atasnya, lalu diikat dengan cara menautkan keempat ujungnya.

Pagi-pagi sekali Cindelaras sudah terbangun. Ia ikut membantu emak menyiapkan minuman dalam bumbung, wadah dari buluh bambu. Perbekalan perburuan ke hutan.

“Wah, pagi-pagi sudah masak besar. Mau ada tamu agung ya? Atau mau datang bapak baru Cindelaras? ” tanya Mbok Karti, lebih mirip menertawai. Kebiasaannya pagi-pagi melongok ke bilik Cindelaras seperti kurang kerjaan. Atau memang itu pekerjaannya, memata-matai kehidupan emak yang berparas cantik dengan anak satu itu.

“Wah, Mbok Karti ini ada-ada saja. Kebetulan pamannya Cindelaras dari kota akan datang.” Emak meletakkan sepinggan rebusan di balai-balai tempat Mbok Karti duduk. Tabiat Mbok Karti memang seperti itu. Serba ingin tahu. Dan cara yang ampuh membungkam keingintahuannya adalah menyibukkan dirinya dengan aneka kudapan.

Menjadi orang tua tunggal di dusun kecil memang tidak mudah. Apalagi parasnya yang ayu membuat iri perempuan-perempuan di sana. Gosip lebih cepat beredar. Ada pula selentingan kalau ia istri demit,danyang penunggu hutan. Ia menangkalnya dengan pura-pura tidak pernah mendengar kabar itu.

Kesulitannya yang lain adalah dalam memenuhi makan sehari-hari. Dulu sebagai permaisuri ia terbiasa hidup dalam kemewahan. Segala yang ia mau langsung tersaji. Dayang-dayang siap dua puluh empat jam demi membahagiakannya.

Sekarang, kehidupan terbalik seratus delapan puluh derajat. Mau makan ubi, ia harus menanamnya dulu di pekarangan. Mau telur rebus, ia harus memelihara ayamnya hingga bertelur. Mau madu ia harus mencari sarang tawon di pinggir hutan lalu memeramnya. Ini-itu harus dimasak sendiri.

Awal-awal dalam masa pembuangan terasa berat. Ia sering menangis sendiri manakala tangannya melepuh selepas menumbuk gabah di lesung. Alu dari batang pohon petai cina itu terasa makin berat saja. Lengan sudah pegal-pegal tetapi kulit sekam belum semua terkelupas. Untuk mendapatkan butiran beras, ia harus melakukan proses yang panjang dan melelahkan.

Akan tetapi, lelah yang dirasa hilang begitu melihat tingkah polah Cindelaras. Semakin hari anak itu makin menggemaskan. Membesarkan Cindelaras seorang diri, baginya tidak masalah lagi. Selain itu, ia masih bisa mengandalkan sang patih. Patih menyempatkan diri enam bulan sekali bertandang membawa aneka kebutuhan pokok. Tentu saja ia tidak sekadar membawa bingkisan, patih pun rutin memberikan kabar tentang raja.

Sama halnya dengan kedatangan patih saat itu. Ia mengabarkan bahwa raja kurang bahagia hidup bersama istri pilihan ibu suri. Raja juga tidak lagi berburu ke hutan. Istana seperti kehilangan nyawa. Perempuan itu hanya bisa duduk menyimak. Dadanya sesak setiap mendengar ketidakbahagiaan sang raja.

Untuk mengobati rasa rindunya kepada raja, permaisuri mendorong-dorong Cindelaras belajar berburu di hutan dengan patih. Saat hendak berburu, ia dulu yang menyiapkan sendiri perbekalan raja. Sama seperti sekarang, saat Cindelaras hendak berburu dengan patih, ia sebenarnya yang lebih bersemangat menyongsongnya.

Berburu sendiri mengajarkan banyak hal, terutama menyangkut kecekatan dan mengasah naluri. Ia ingin kelak Cindelaras lebih peka terhadap berbagai hal, termasuk tidak mudah dihasut sebagaimana ayahandanya dulu mudah dihasut oleh ibu suri.

Sebenarnya, ia menabrak tatanan kebiasaan warga dusun. Mereka berpantang masuk ke hutan. Katanya di hutan banyak dedemit, sebangsa jin, yang suka menelan anak-anak. Sementara sejak usia lima tahunan, Cindelaras sudah ia lepas bersama patih untuk belajar berburu ke hutan.

Itulah alasan kawan-kawan sepermainan mengolok-olok Cindelaras dengan julukan anak demit. Julukan itu kadang membuat Cindelaras bangga. Ia berarti sakti. Tapi, akan menjadi kesal sampai nangis-nangis bila diolok-olok pas Cindelaras sangat rindu akan sosok ayah.

***

Sepulang dari berburu Cindelaras mempunyai kesibukan baru. Ia diminta oleh pamannya untuk merawat sebutir telur yang mereka temukan saat berburu di hutan. Telurnya lebih besar ketimbang telur ayam umumnya. Permukaan halus mulus. Telur ia letakkan di bawah ayam babon yang sedang mengeram di atas petarangan di kandang. Petarangan itu terbuat dari tumpukan merang. Saban hari ia menengok petarangan kalau-kalau waktunya telur menetas.

Saat telur menetas, keluarlah anak ayam. Bulu-bulunya halus. Berkeciap. Cindelaras sangat gembira. Ia benar-benar telah melupakan olok-olok kawan sepermainan. Ia juga tidak perlu khawatir tidak akan mempunyai kawan bermain. Ia kini mempunyai kawan setia, seekor ayam jantan.

Ayam inilah yang kemudian membuat Cindelaras terkenal. Jago aduan di setiap dusun telah merasai tajamnya taji ayam Cindelaras. Dan yang menjadi ciri khas, setiap menang bertarung kokokan jago itu melengking keras...kukuruyuuuuukkk...jagone Cindelaras.Omahe pinggir alas. Payone godhong klapa. Romone Raden Putra ‘jagonya Cindelaras. Rumahnya pinggir hutan. Atap rumahnya dari daun kelapa. Ayahnya Raden Putra’.

Seiring waktu, kemashyuran ayam Cindelaras sampailah ke telinga sang raja. Ia menitahkan si patih mencari tahu pemilik ayam itu dan mengajak bertarung dengan ayam jagoan kerajaan. Sang patih tentu saja dengan mudah mendapati keberadaan Cindelaras.

Ia pun menjemput Cindelaras sekaligus memberitahukan kepada permaisuri.

“Patih, jangan pernah sekali pun menceritakan tentang siapa sebenarnya ayah Cindelaras,” bisik permaisuri.

“Tentu permaisuri, bagaimana saya akan menutup rapat-rapat rahasia ini. Kalau tidak, saya juga yang nanti pertama mendapatkan murka raja lantaran dulu diam-diam membangkang perintah raja.”

Cindelaras tidak sempat memperhatikan betapa seriusnya emak dan paman berbincang-bincang. Ia teramat antusias dengan diri dan jagonya. Sebaskom air kembang dan macam-macam ramuan telah siap untuk memandikan sang jago. Cindelaras memastikan jagonya dalam stamina prima menyambut laga istimewa itu.

***

Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Khalayak telah berkumpul di alun-alun istana. Sebuah kurungan emas telah berada di tengah-tengah. Di sanalah ayam jago istana berada.

Sementara Cindelaras bertandang dengan penuh percaya diri, menggamit ayam kesayangannya. Ibunya berjalan mengiring dari belakang. Ia mengenakan caping lebar sehingga menutupi hampir seluruh wajah. Ia tidak ingin keberadaannya dikenali oleh sang raja.

Berbeda dengan Cindelaras yang jalan dengan gagah, hati permaisuri berdegup kencang. Rindu, marah, waswas bercampur aduk.

Sorak-sorai membahana. Kebanyakan menjagokan ayam kerajaan. Tentu saja, ayam kerajaan sulit tertandingi. Apalagi jago lawan hanyalah milik seorang anak dari sebuah dusun di pinggir hutan.

Genderang ditabuh, tanda pertarungan dimulai. Kurungan dibuka, ayam kerajaan langsung terlihat beringas, mencakar-cakar tanah. Daya pesona jago istana melebihi jago Cindelaras. Indah dan serba terawat.

Sementara ayam Cindelaras terlihat tenang, memperhatikan. Tingginya rata-rata, tegap. Bulunya merah diselingi dengan bulu-bulu hitam pekat, mengilat. Paruh tajam sedikit melengkung ke bawah. Jengger kokoh bertengger bak mahkota di kepala. Dan yang membedakan dengan ayam jago istana, tajinya. Kalau taji di kaki jago istana lancip dan melengkung. Taji jago Cindelaras lancip lurus ke samping. Terkesan kokoh dan tajam.

Saat ayam kerajaan hendak mematuk, ayam Cindelaras bergerak memutar sambil memiringkan badan. Ia seperti petarung yang sedang mengamati gerak-gerik lawan sekaligus mengenali titik lemahnya. Belum lagi jago kerajaan mengangkat kepalanya, jago Cindelaras keras-keras memagut dengan paruhnya. Seperti tangan, paruh ayam Cindelaras mengarahkan kepala ayam kerajaan pada posisi terkunci.

Seketika...bretttt! Taji jago Cindelaras menghantam kepala lawan. Jago kerajaan tergeletak. Berkepak-kepak sebentar lalu diam.

Hhhooooo.... Suara takjub penonton tidak percaya. Seperti mendapatkan panggung, ayam jago Cindelaras melakukan aksi kemenangan. Blek...blekkk...blekkk. Ia mengepak-kepakkan sayap. Lalu menjulurkan leher dan mengeluarkan kokok yang khas.

Kukukuuuuruyukkkkk...jagone Cindelaras omahe pinggir alas. Payone godhong klapa. Romone Raden Putra....

Hhhaaaahh.... Kembali suara keheranan khalayak menggema. Tidak terkecuali sang raja. Bagaimana mungkin ayam ini bisa bicara dan mengenali namanya? Ia memanggil sang patih.

Patih terhenyak. Ia sendiri tidak menyangka kokokan ayam Cindelaras akan seperti itu. Ia pun siap-siap kena murka raja. Sambil melepaskan penutup kepala, ia berdiri dengan kedua lutut di depan rajanya. Kepala merunduk.

“Pamannn!” seru Cindelaras begitu mengenali wajah sang patih.

Permaisuri cepat-cepat menarik tangan Cindelaras, menahannnya agar tidak mendekat.

“Ampun, Baginda Raja. Hamba siap menerima hukuman Baginda. Hamba lancang. Saat dititahkan Baginda untuk membuang dan membunuh Sri Ratu, hamba tidak melaksanakannya. Dan menyerahkan jantung kambing sebagai ganti jantung Sri Ratu sebagai bukti hamba telah melaksanakan titah Banginda.”

Raja terdiam. Ia tidak menyangka. Ia sangat menyesal dulu telah sembrono memberikan titah.

“Ampun, Baginda. Inilah Cindelaras, putra Baginda, dan Sri Ratu.”

Permaisuri membuka capingnya. Ia menunduk dan mendudukkan Cindelaras agar merendah di depan Raja.

Patih menjelaskan yang membubuhi racun di cawan raja dulu adalah ibu suri dengan tujuan ingin memfitnah permasuri. Ibu suri tidak menyukai permaisuri dan menginginkan raja menikah dengan istri dari kalangan bangsawan.

Alih-alih mendapatkan murka, raja malahan teramat suka. Raja berterimakasih kepada patih yang telah menjaga permaisuri dan anaknya. Sebagai imbalannya, raja mengangkat sang patih sebagai penasihat istana, kedudukan tertinggi setelah raja. Sebaliknya, atas hasutan jahatnya, ibu suri dan istri pilihannya diusir dari wilayah kekuasaan Kerajaan Jenggala.

Hari itu juga Cindelaras dan ibunya diboyong ke istana. Tidak ketinggalan, jago Cindelaras diajak serta. Ia berkokok di istana dengan kokokan yang sama.

Kukuruyukkkk...jagone Cindelaras omahe pinggir alas. Payone godhong klapa. Romone Raja Putra....

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Waah...kisah masa kecil dulu. Ibu saya yg cerita. Terima kasih sdh mengingatkan kembali cerita yg hampir punah ini. Tulisannya bagus mbak.

24 Jul
Balas

Alhamdulillah, bisa ikut menghadirkan kenangan indah.

24 Jul

Keren cindelaras, mengingatkan saya pada masa kecil ....

24 Jul
Balas

Kalau saya inget dongengan Bapak, Bu

24 Jul



search

New Post