Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Menulis Takdir

Menulis Takdir

Menjadi guru adalah pilihan. Mengajar di satu sekolah, itu juga berdasarkan pilihan. Ketika ia bertahan untuk tetap mengajar di sekolah itu pun juga berdasarkan pilihannya. Termasuk sosok guru muda yang akhirnya “terjebak” mengajar di satu sekolah menengah pertama di pinggiran Jakarta.

Martini, namanya. Postur tubuhnya mungil. Dialek Jawanya sangat kental. Plus suaranya lembut. Pertama kali mengajar, ia menjadi bahan perundungan anak-anak di depan kelas. Bagi saya, tingkatan mendidik yang paling sulit ada pada jenjang SMP. Mereka sangat spontan. Hal sekecil apapun tidak luput dari reaksi mereka. Apalagi ini Jakarta. Sejahat-jahatnya ibu tiri tidak sejahat ibukota.

Bisa dibayangkan bagaimana gaduhnya kelas saat guru itu di sana. Jangankan bisa menyampaikan materi pelajaran, baru membuka saja anak-anak “liar”. Sulit dikendalikan. Bukannya sesama murid melakukan perundungan atau guru merundung siswanya, ini yang terjadi kebalikannya. Siswa merundung gurunya. Luar biasa, bukan?

Kerap ia melambaikan tangan ke arah kamera. Menyerah. Dan saat itulah saya sebagai guru senior di sana mengulurkan tangan. Sederhana. Saya hanya kembali mengingatkan apa tekad awal ia mengajar di ibukota. Ia akan menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Saat bekal ilmu sudah cukup ia akan memajukan pendidikan di kampung halamannya di pelosok Jawa Tengah.

Sungguh ini niat mulia. Patut didukung. Saya katakan pilihan mengajar di sekolah ini sangat tepat. Sekolah ini laboratorium nyata. Guru dituntut sekreatif mungkin di depan kelas. Kalau sekadar mengajar alhasil anak-anak mudah bosan. Apalagi kalau gurunya tidak disegani, bisa-bisa kelas “bubar.”

Alasan lainnya, di ibukota ia akan sering mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan. Berbeda saat ia langsung mengajar di daerah. Ia akan sulit untuk mengembangkan diri. Paling hanya guru senior atau yang sudah berprestasi yang dikirim ke pelatihan. Sementara untuk guru muda sepertinya harus duduk manis menunggu giliran. Entah sampai kapan.

Nasihat saya ia terima. Beberapa kali ia pun berminat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan guru. Tidak hanya pelatihan gratis bahkan yang berbayar pun ia jabani.

Saat ia mulai haus ilmu. Saya kembali menjadi kompor untuk menaikkan tantangan selanjutnya: menjadi guru penulis. Alhasill, sekarang ia sedang menuliskan takdir. Ia sudah membuat pilihan mengikuti kegiatan Media Guru Writing Camp di Pusdiklat Pegawai Kemdikbud, 22 –24 April 2017.

Saya berharap, kelak ia mendapatkan bekal cukup. Saat memutuskan kembali ke kampung halamannya, ia bisa berjalan dengan kepala tegak. Mereka tidak akan memandang miring. Ia bukan lagi guru mungil, lembut, berdialek medok melainkan kecil-kecil cabai rawit. Pokoknya unyu-unyulah! Satu lagi, ia akan menjadi kompor berikutnya bagi guru-guru di sekitarnya untuk tergerak menuliskan takdir. Menjadi guru penulis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

tulisannya bu guru luar biasa. Seneeeeeng banget membacanya. Serasa crispy dan bergizi

23 Apr
Balas

Berkat saran dan dukungan Pak Kasek juga

23 Apr

Ibuuuuuuu.......... Tapi, thanks ibu sudah memblusukkan saya kedalam lembah ini haahaaaa

23 Apr
Balas

Yaa...bikin sakaw yaaa

23 Apr



search

New Post