Hesti Dwi Agusdiyanti

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. "(Al-hadits) Guru adalah profesi untuk menjadi manusia bermanfaat. Terus berbenah untu...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sudah Profesionalkah saya (bag.2)?

Sudah Profesionalkah saya (bag.2)?

#TantanganGurusiana

#TantanganHariKe-3

 

Melanjutkan tulisan hari ke-2 kemarin, pembahasan hari ini masih tentang bagaimana cara guru dalam mendidik siswa dan siswinya. 

Pernah suatu hari, ketika saya sudah menyandang predikat guru, saya berkunjung dan bersilaturahim ke salah satu guru saya ketika SMP dan beliau sudah saya anggap sebagai ibu saya sendiri, semoga Allah senantiasa merahmati beliau rohimakumullah, ibu almarhumah Yuslaini Latifah, S.Pd. Sesampainya di rumah beliau, beliau mengapresiasi kedatangan saya dengan luar biasa juga bangga kepada saya, karena saya telah ikut memilih jalan menjadi seorang pendidik. Dalam kunjungan saya itu, beliau berbagi kisah suka duka menjadi guru.

Ada satu pesan berharga yang pernah dinasehatkan kepada saya.

"Hesti, janganlah kamu mendidik siswa - siswi mu seperti memperbaiki radio rusak."

Saya pun berusaha mencerna nasihat itu. "Apa maksudnya ibu?", tanya saya kembali. 

"Pikirkanlah sendiri kata-kata ibu, ibu yakin suatu saat kamu pun akan mengerti." Saya pun hanya tersenyum dan terus berpikir apa maksud kata-kata beliau. Ya, sebuah nasihat sederhana namun sarat akan makna.

Hari ini saya pun tersenyum, karena saya mulai mengerti dan menarik benang merah dari istilah memperbaiki radio rusak. Teringat saya ketika saat remaja dulu, saat radio yang sedang saya dengarkan tiba-tiba tak bersuara dan rusak, yang saya lakukan ketika itu adalah saya langsung terbawa emosi (marah) dan secara refleks saya memukul-mukul radio tersebut sampai saya merasa yakin bahwa cara saya itu, bisa membuat radio itu hidup lagi. Dan terbukti, radio saya pun akhirnya bersuara lagi. Ya, saya emosi dan memperbaiki radio saya dengan cara memukul-mukulnya, begitu seterusnya dan berulang kali, sampai akhirnya radio itu benar-benar rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi, barulah radio itu saya serahkan ke bapak saya agar diperbaiki dan kalo masih tetap rusak juga saya pun minta kepada bapak saya agar radio saya diganti dengan radio yang baru. 

Astaghfirullaahal adziim, inikah maksudnya, "mendidik siswa ala radio rusak". Ya, selama ini tanpa sadar saya mendidik siswa - siswi saya bagaikan saya memperbaiki radio rusak. Tatkala ada perilaku atau akhlak siswa siswi saya yang menurut saya kurang pantas dan tidak sesuai norma atau bahkan dikatakan rusak oleh sebagian orang, yang saya lakukan pertama kali adalah emosi (marah) kepada mereka dengan sebuah pertanyaan, " kok mereka bisa ya melakukan hal yang tidak sepatutnya mereka lakukan, apakah ajaran yang saya berikan selama ini tidak bisa berpengaruh terhadap mereka?" . Saya benar-benar emosi dan sangat marah kepada siswa saya tersebut. 

Berikutnya, saya akan panggil siswa tersebut secara empat mata, saya ajak mereka berbicara. Lalu saya pun memukul keras mereka dengan menasehati mereka (lebih tepatnya mengocehi mereka) dengan kata-kata nasehat yang pedas agar mereka mau berubah menjadi lebih baik. Atau tanpa sadar saya pun juga mengucapkan makian untuk mereka saat menasehatinya, karena imbas atas kekesalan saya dengan perbuatan mereka. Jarang sekali saya mau mencari tau sebab kenapa mereka melakukan perbuatan itu. Saya juga tidak mau bersusah payah menjadi guru wali kelas ataupun guru BK mereka, karena bagi saya itu bukan kewajiban saya. Saya merasa gugur kewajiban dengan cukup memukul mereka dan semoga mereka bisa menjadi siswa yang baik lagi. Begitu seterusnya dan berulang-ulang.

Sampai akhirnya, saat dimana siswa tersebut sampai pada gelar yang sangat menjengkelkan, yaitu "siswa nakal dan siswa yang tak layak untuk dipertahankan di sekolah ini". Ya, bahasa kasarnya siswa yang tidak mau dididik di sekolah ini dengan saya sebagai gurunya lebih baik dibuang saja. Ya, bahasa pasrah seorang pendidik seperti saya. Merasa tidak berhasil mendidik siswa nya.

 

Adakah bapak dan ibu guru yang mengalami hal ini? Semoga tidak ada ya. Kalo pun cara mendidik kita masih ala radio rusak, sudah saatnya kita berbenah dan memperbaiki diri. Mungkin ilmu dan kompetensi pedagogik kita belum mumpuni. Yuk, kita belajar lagi dengan para orang tua kita yang berhasil mendidik anak-anaknya. Semoga kelak kita benar-benar memiliki jiwa pendidik sejati. Aamiin yra

-bersambung-

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Insya Allah ya bu,kita samasama berusaha menuju kesana.. doa yang sama juga buat ibu, tabarokallaah

17 Jan
Balas

Terima kasih pak Eko. Sama sama, semoga terus semangat

21 Jan
Balas

Berusaha jadi guru yang baik Bund. Sukses selalu dan barakallahu fiik

17 Jan
Balas

Keren bu tulisannya.Mengingatkan kita sebagai guru untuk senantiasa memperlakukan anak diduk kita seperti anak kita sendiri.Walaupun mulut memarahi anak kita,namun hati kita tetap menyayanginya...

18 Jan
Balas

Iya Bu Ela. Sepakat...hati kita tetap orang tua yang menyayangi mereka..Terima kasih Bu Ela sudah mampir kemari

19 Jan

inshaa Allah,sudah bu..tetap semangat

21 Jan
Balas



search

New Post