
Guruku Killer, Guruku Sayang
Tepat pukul 07.00 WIB Dio terbangun. Diperhatikan sekeliling ruangan kamar Asrama Ibrahim, tak ada seorang pun lagi di sana. Hanya deretan tempat tidur dan lemari yang berbaris rapi. Ruangan itu benar-benar sudah bersih. Semua isi kamar tersusun rapi ditempatnya masing-masing. Hanya selimut dan tempat tidur Dio yang masih berantakan.
"Semua sudah pergi? kenapa tidak ada yang membangunkanku. Awas saja kalau ketemu mereka akan ku hajar satu persatu." Gumam Dio dalam hati.
Kemudian Dio mengambil handuk yang ditumpuk di atas pakaiannya dalam lemari. Lemari Dio memang tidak pernah rapi berbeda dengan teman-temannya yang lain. Beberapa baju yang ada di sana hanya ditumpuk saja, tak pernah dilipat. Ketika akan digunakan, Dio harus mengeluarkan semua baju dan mempretelinya satu per satu. Selalu saja dio keluar kamar dengan baju kusut. Teman-temanya sudah sering menasihatinya tapi selalu ditanggapi dengan kemarahan. Tak jarang tangannya yang kekar itu melayang ke badan temannya. Wali kamarpun sudah beberapa kali menasihati Dio. Akan tetapi nasihat itu masuk di telinga kanan dan keluar ditelinga kiri tak berbekas sama sekali bagi dirinya.
Dio sudah dua tahun berada di Pondok Pesantren. Sejak awal dia tidak pernah mau bersekolah di sini. Namun orang tuanya tetap memaksa. Bapak dan Ibunya bercerai sebulan sebelum Dio mondok. Dia tidak ada pilihan lain, selain mengikuti keinginan kedua orang tuanya. Lagi pula di sini dia tidak membayar penuh. Pihak pesantren memberikan potongan biaya karena orang tua Dio alumni pondok. Orang tuanya tidak akan sanggup membayar penuh uang sekolah yang jumlahnya tidak sedikit sementara bapaknya hanya kerja serabutan dan sekarang sudah beristri lagi. Ibunya juga tak bisa diharapkan. Setelah perpisahan dengan Bapaknya Dio, ibunya menikah lagi dengan seorang pedagang sembako yang pelitnya minta ampun.
Setengah jam sudah berlalu. Dio masih berada di kamar, tengah mematut-matut diri di depan cermin. Tak ada rasa cemas dan takut sedikitpun tergambar di wajahnya. Dengan santai Dio keluar kamar. Kali ini dia terlambat 30 menit, sama seperti hari-hari sebelumnya. Anehnya, tidak ada yang berani menegurnya. Di perjalanan dia berpapasan dengan beberapa guru asrama, tapi tak satupun yang menegur ketidakdisiplinannya. Semua orang seolah-olah tak melihatnya. Beberapa petugas piket yang biasanya berjaga di gerbang perbatasan sekolah dan asrama juga tak terlihat. Alhasil, Dio melenggang santai menuju ruangan kelas. Langkahnya mulus bebas hambatan seperti jalan tol Jagorawi.
"Dio! lagi-lagi kau terlambat!" Suara Ustzah Fatma menggelegar di ruangan kelas XI IPS putra. Logat Bataknya terdengar begitu kental saat marah. Ustazah Fatma naik pitam mendapati Dio masuk kelas terlambat dan nyelonong begitu saja.
"Ustazah tidak akan memberimu toleransi lagi! Sini!" Sebuah kunci inggris mendekam di pinggang Dio.
"Au..au.. sakit Ustzah. Usatazah apa-apan sih, pakai kekerasan. Awas nanti saya laporin Ustzah ke Komnas HAM" Dio meringis dan menjawab dengan ketus.
"Apa Komnas HAM? Kau mau melaporkan Ustazah ke Komnas HAM? Kau sudah gila ya, Dio?
Aku ini gurumu, bukan musuhmu. Komnas HAm yang mana? Ayo tunjukkan!" Dikit-dikit Komnas HAM, memangnya ada bekas luka di badan Kau? Lagi pula Ustzah tidak takut. Ustazah hanya takut kepada Allah saja. Dio terdiam. Kepalanya yang tadi terdongak sekarang hanya bisa tertunduk. Amarahnya berkobar, tapi ia tak berkutik. Matanya terus menatap ubin kelas yang retak akibat gempa seminggu yang lalu.
"Dunia apalah ini, anak didikku saja ingin memenjarakanku. Apa aku biarkan saja kau datang sesuka hatimu. Apa aku tak berhak menegurmu? Atau kubiarkan saja kau jadi anak tak beretika. Tak menghargai guru yang telah mendidikmu! Begitu Dio?? Kau kemanakan nilai-nilai yang sudah diajarkan di pesantren ini, ha?! Kalau sudah mulai bicara Ustzah Fatma akan susah untuk dihentikan. Seketika kelas hening dan mencekam.
Sama halnya dengan Dio, seluruh teman sekelasnya juga hanya bisa tertunduk diam. Tak ada yang berani menatap guru yang terkenal sangat killer itu, apalagi menyanggah ucapannya. Ustzah Fatma tidak pernah takut pada siapa pun. Ia sangat tegas pada semua orang. Jika ada hal yang dianggapnya salah maka ia tak segan-segan memberi sanksi tegas pada pelaku tanpa pandang bulu. Ia tidak peduli yang bersalah itu anak jendral, anak anggota DPR, atau anak Pimpinan Yayasan sekalipun, apalagi hanya anak seorang buruh serabutan seperti Dio.
"Sekarang juga, kau bersihkan semua kaca jendela depan yang ada di lantai 3 ini. Jika kudapati ada yang tidak bersih jangan pernah kau masuk ke kelasku. Paham!! Dan Kalian, jangan pernah membantunya. Setiap orang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat."
Selama menjalani sanksi dari Bu Fatma, Dio terus mengomel sendiri. "Aku benci dia. Aku benci Bu Fatma. Lihat saja aku akan balas semua ini." Dio menendang pot bunga yang tersusun di bawah jendela kelasnya. Seketika pot plastik itu pecah, tanah-tanah berserakan dilantai. Beberapa orang temannya mendekat untuk memberikan bantuan, tapi justru menjadi sasaran kemarahannya.
Hari ini Dio kembali belajar matematika di kelas Bu Fatma. Ia datang lebih awal dari biasanya. Sebelum pukul tujuh, Dio sudah berada di kelas. Kelas masih sepi. Sudah lebih 30 menit Dio berada di kelas, tidak ada tanda-tanda teman-temannya akan datang. Hanya satu dua orang siswa dari kelas XI IPA putra yang melewati teras kelas Dio. Ustazah Fatma si guru Killer itu juga tidak muncul.
"Syukurlah, guru killer itu tidak datang, jadi hari ini aku bisa bebas. Gara-gara dia tidurku jadi tergangggu. Sebuah senyuman sinis mengembang di bibir Dio. Dia serasa terbang di angkasa saat mengetahui tidak ada pelajaran matematika hari itu. Dia mulai mengambil ancang-ancang untuk tidur di kelas. Baru saja, dio mulai terlelap. Dia tersentak. Samar-samar dia mendengar beberapa orang temannya yang baru datang bicara sambil berbisik membicara kejadian yang terjadi pagi ini. Mulanya Dio tidak tertarik, tetapi begitu mendengar nama Bu Fatma disebut, telinganya langsung berdiri.
"Apa? apa yang kalian katakan? Bu Fatma kecelakaan?" Tanya Dio pada Andi dan Ridwan.
"Ya, itu benar." Senyum bahagia kembali terukir di bibir Dio.
"Kenapa kau senyum-senyum? Kau senang ya, mendengar berita ini?" Suara Ridwan terdengar meninggi. Dio terkejut melihat sikap Ridwan. Si bintang kelas ini terkenal sangat sabar dan tidak pernah marah. Tiba-tiba sekarang dia naik pitam.
"Aku? Tidak! Aku tidak senang. Aku hanya sedikit lega karena hari ini tidak belajar matematika.
"Kau memang tidak punya perasaan, Dio." Andi menimpali. Tangannya sudah terkepal hendak memukul Dio. Untung saja Ridwan segera mencegah.
"Kau pikir kami tidak tahu, ini semua gara-gara perbuatanmu!! Kemarin kami lihat sendiri apa yang sudah kau lakukan di parkiran motor. Kau memutus rem motornya Bu Fatma, kan? Kami sudah melaporkan perbuatanmu ke Wakil Kesiswaan. Seluruh guru sudah sepakat untuk mengeluarkanmu dari sekolah ini karena tidak ada manfaatnya kau di sini, uang sekolah saja kau tak mampu bayar." Ridwan mengungkapkan rasa kesalnya dengan memukulkan tangannya ke meja.
Dio terkejut. Rasanya seperti mimpi. Kedua temannya yang biasanya selalu memberikan nasihat dengan baik tiba-tiba berubah menjadi harimau sumatera.
"Kalian ini bicara apa? jangan asal tuduh, ya!" Dio berusaha membela diri.
"Kami tidak asal tuduh, perbuatanmu sudah terekam di CCTV."
Dio terhenyak. Dia lupa kalau seluruh kawasan di Pondok Pesantren ini sudah dipasang CCTV.
"Tapi, Kau tenang saja, Kau tidak akan dikeluarkan dari sekolah ini. Ustzh Fatma yang meminta kepada kepala sekolah agar kau tetap sekolah. Padahal beliau sedang terluka parah sempat-sempatnya beliau memikirkanmu. Ustzah Fatma sangat menyayangimu, Dio." Suara Ridwan melunak.
"Itu tidak mungkin, Ustzah Fatma tak pernah menyayangiku. Kalian pasti mengada-ada. Dia membenciku. dia selalu menghukumku. Kalian hanya ingin membuatku terlihat bersalah, bukan. Kalian ingin aku berlutut padanya dan meminta maaf? Tak akan pernah. Itu takkan pernah kulakukan. Ustazah Fatma guru Killer. Dia benci padaku. dia sangat membenciku! Pergi kalian dari sini! Dio mengusir kedua jawara kelas itu.
"Baik!! Kami akan pergi tapi kau harus mendengar kebenaran ini!" Ridwan mulai tersulut emosi
" Aku tidak mau dengar apa pun! Pergi kalian! Dio menjadi kalap dia melemparkan buku-buku ke arah Ridwan dan Andi. Meja dan kursi pun jadi sasaran tendangan kakinya yang besar sebesar kaki gajah itu.
Andi dan Ridwan mundur beberapa langkah.
"Kau memang tidak tau terima kasih! Andi angkat bicara.
"Kau harus tau Dio, Ustzah Fatma menghukummu agar kau mengerti arti disiplin, agar kau paham pentingnya menghargai waktu. Ustzah Fatma menghukummu agar kau bisa menghargai orang lain. Tidak hanya kau, kami juga akan diperlakukan sama jika kami melakukan kesalahan yang sama."
" Dengar Dio, Ustazah Fatma sangat menyayangimu, kau ingat saat kita akan mengikuti kegiatan field Trip ke Padang, kau hampir saja tidak jadi ikut karena orang tuamu tidak sanggup membayar biayanya. Tapi seorang guru menjadi donaturmu, kau tau siapa? Bu Fatma. Guru yang kau benci. Kau pikir siapa yang membayar uang seragam baru untukmu saat bajumu sudah kekecilan. Bu Fatma, dia yang peduli. Bahkan, Ibumu sendiri tak lagi mempedulikanmu. Itulah kebenarannya Dio."
"Ya, itu benar." Arman yang dari tadi hanya mengamati di balik pintu kelas berusaha meyakinkan Dio.
"Apa?"
Air mata Dio tiba-tiba mengalir deras. Bendungan kesombongan yang selama ini berdiri kokoh sekarang jebol. Dia sengaja menutupi semua kekurangan dalam dirinya dengan menjadi sosok yang angkuh. Sosok yang kasar. Dia menjadikan dirinya sosok yang ditakuti teman-teman hanya untuk menutupi ketidakmampuan orang tuanya. Dia melakukannya untuk menutupi kehancuran keluarganya. Dia ingin menunjukkan eksistensinya dengan melakukan aksi yang salah. Hanya Bu Fatma si guru Killer yang mampu memahami itu.
" Ridwan! Ada berita baru tentang Bu Fatma! Tiba-tiba salah seorang teman sekelas Ridwan datang menerobos kerumunan di kelas itu. Nafasnya naik turun tak beraturan. Dia berusaha tenang.
"Kabar apa, ayo katakan!"
Perlahan anak itu menarik napas. Dia kesulitan mengatur napasnya.
"Bu Fatma.. Bu Fatma meninggal dunia."
"Tidaaaak! Itu tidak mungkin. Aku akan menemui Bu Fatma, aku akan minta maaf padanya" Dio bangkit dan mendorong semua orang dihadapannya. Ridwan berusaha mencegatnya tapi tenaga Dio jauh lebih kuat. Ridwan terdorong dan terjatuh.
"Kejar Dio, dia bisa terluka, dia sedang kalap" Ridwan memberi perintah kepada kawan-kawannya.
"aaaaa!!!! "
Bruuuk....
Terlambat. Dio terpeleset di ujung anak tangga. Dio jatuh dan berguling-guling hingga ke lantai dasar. Darah bercucuran di anak tangga yang dilalui.
Teman-Temannya berlari mengejarnya.
"Ridwan...A..Aku a...a...kan mi...min...minta maaf" Dio bicara terputus-putus saat Ridwan mendekapnya.
"Ridwan, aa...ku...sa..yang...us..ta...zah Fat....." tiba-tiba Suara Dio terputus.
"Diooooooo.........!! Ridwan tak kuasa menahan kesedihan. Dia mengguncang-guncang tubuh Dio. Tubuh itu tak lagi bergerak. Tak ada ada lagi suara keangkuhan dan kebencian. Yang tersisa hanyalah kesunyian.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Terim kasih pak. Salam literasi pak
Keren Bu ceritanya. Banyak pembelajarannya. Sukses selalu Bu
Alhmdulillah, smga kita selalu bisa memberikan pembelajaran lewat tulisan ya bu
Alhmdulillah, smga kita selalu bisa memberikan pembelajaran lewat tulisan ya bu
Alhmdulillah, smga kita selalu bisa memberikan pembelajaran lewat tulisan ya bu