Himmah Mufidah

Himmah Mufidah guru MA Almaarif Singosari. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tantangan Menulis di Gurusiana (78)
Doa dan Perjuangan

Tantangan Menulis di Gurusiana (78)

Catatan Harian ke 78

Perjuangan Ghumaishah

(Bagian 1)

"Baiklah aku terima pesanan ini," begitu jawab Ishah sambil bernafas panjang.

Meski tidak mudah, ia tetap menerima pesanan yang tidak mungkin ia selesaikan dalam waktu singkat. Biasanya butuh waktu satu minggu untuk menyelesaikan 10 potong gamis.

Namun tidak kali ini. Kebutuhan dapur dan biaya ujian serta transport suaminya tidak sedikit. Demi sejumlah rupiah, Ghumaishah nama lengkap perempuan muda tersebut.

Sejak pernikahannya lima bulan yang lalu, ia baru menyadari bahwa suaminya adalah calon sarjana yang tengah menyelesaikan tugas akhir. Jangankan gaji yang harus ia terima setiap bulannya, justru perempuan desa, dengan ketrampilan terbatas tersebut harus bekerja keras untuk menambah pemasukan.

"Shah, emak ke pasar dulu ya, untuk menjual telur-telur ayam ini ya," teriak perempuan paruh baya dari dalam dapur. Sementara Ishah sedari pagi-pagi buta sudah konsentrasi di depan Janome butut, yang ia beli dari pasar rombengan. Pasar yang menyediakan barang-barang bekas.

Perempuan yang biasa ishah panggil emak adalah ibu yang mengasuhnya sejak usia dua tahun.

Karena perceraian kedua orang tua kandungnya, ishah ikut bapak. Tidak lama kemudian bapak menikah lagi dengan Khadijah, perempuan berumur yang belum juga menikah.

Khadijah sangat senang menikah dengan bapak, meski ia langsung merawat dua anak sekaligus. Ya, Ishah dan Khalim ikut bapak. Sementara ibu kandung Ghumaishah telah menikah lagi.

Bapak adalah pekerja keras, penjual batik keliling dari rumah ke rumah. Sementara Khadijah adalah pedagang kelontong kecil-kecilan di pasar. Semenjak menikah dengan bapak ia berhenti berjualan. Sengaja ia beternak ayam di rumah sambil menjaga dua orang putra dan putri yang masih balita.

Perjodohan Ishah dan Ahsan diharapkan dapat menjadikan kehidupan ishah lebih baik. Ishah yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sangat beruntung bisa menikah dengan Ahsan yang tidak lama lagi lulus sebagai sarjana.

Setiap orang menilai pernikahan itu tidak sekufu, Ishah gadis desa lulusan pesantren salaf dan Ahsan putra terpelajar. Semua tamu wanita mengagumi Ahsan saat hadir di acara pernikahan mereka. Tinggi gagah berkulit putih bersih. Sementara Ishah gadis sederhana bertubuh mungil, wajahnya yang kalem dan tak banyak bicara sungguh bertentangan dengan Ahsan yang aktifis kampus.

Setelah tiga hari tiga malam nyaris Ishah tidur hanya sebentar saja, istirahat hanya untuk makan, mandi dan sholat. Akhirnya ia bisa menyelesaikan pesanan Haji Amir. Pedagang konvensi di kampung sebelah. Alhamdulillah, ia membawa sejumlah uang. Selain untuk kebutuhan dapur ia biasa membayari ongkos suaminya untuk ke kampus. Kampus yang letaknya di luar kota, tentu tidak sedikit biaya yang harus ia keluarkan.

Sambil menyelesaikan studi, Ahsan mencoba melamar pekerjaan di beberapa lembaga pendidikan. Namun, ikhtiar tersebut belum juga berhasil. Semenjak menikah, orang tuanya berhenti mengirimkan sejumlah uang seperti dia berstatus mahasiswa.

Keduanya bukanlah pasangan sempurna. Namun keduanya bersinergi untuk menutup kekurangan masing-masing. Terkadang orang lama tidak menikah mencari yang sempurna. Padahal pernikahan adalah sebuah penyatuan dua insan dengan niatan ibadah dan saling melengkapi dan menutupi kekurangan pasangan.

Bulan keenam pernikahan Ishah di nyatakan positif hamil. Sebuah kabar bahagia bagi keluarga kecil tersebut. Emak sangat bahagia, dan selalu wanti-wanti2 (berpesan) kepadanya untuk tidak bekerja terlalu keras. "Istirahat shah, ingat kandunganmu masih muda, banyak istirahat nduk," begitu pesan emak suatu hari.

Ishah, bukannya mual, muntah atau tidur-tiduran saat dinyatakan hamil muda. Namun, perempuan tersebut semakin bersemangat untuk menyelesaikan pesanan Haji Amir. Ia selalu berdoa di ujung malam, supaya diberi kekuatan dalam mengemban amanah, merawat orang tua, suami juga calon bayi yang dikandungnya.

Baginya, pernikahan ini adalah perjanjian agung dengan Tuhan. Apa pun keadaannya dia harus terus berjuang dalam menjaga kepercayaan yang sudah ia jalani. Sebagai istri, ia berusaha tetap menghormati suaminya meski belum bisa sepenuhnya memberi nafkah. Selain itu kedua orang tuanya, juga bagian dari keluarga yang juga harus tetap dijaga dengan baik.

"Dek, bangun yuk untuk sholat tahajud bersama," dengan lembut Ahsan membangunkan istrinya. Sepertinya Ishah baru saja terlelap, setelah ia menyelesaikan pesanan seharian bahkan hingga larut malam.

Dengan mata yang masih mengantuk ia mencoba bangun. Dibimbingnya Ishah ke sumur belakang guna mengambil wudlu. Sementara Ahsan menimba air, untuk memenuhi bak air. Setelah keduanya mengambil wudlu, dilanjutkan dengan menggelar sajadah di ujung malam menjelang fajar.

Tidak lama kemudian, adzan subuh berkumandang. Keduanya berjamaah dan berdoa semoga pernikahan ini membawa berkah dan di beri kehidupan yang lebih baik dari hari ke hari. Begitupun bayi yang ada dalam kandungan Ishah senantiasa sehat sampai lahir nanti.

Sementara emak sudah di dapur sedang memasak, Ishah pun langsung membantu dengan mencuci piring sisa makan malam. Dilanjutkan dengan menggoreng ikan asin sambil menunggu ia memotong sayuran.

"Nduk, airnya sudah mendidih tuh, segera bikin wedang buat bapak sama suamimu," kata emak

"Iya mak, sebentar ku selesaikan goreng ikan dulu," jawab Ishah sambil membalik ikan di penggorengan.

"Jangan ditunda nduk, kasihan bapak dan suami mu menunggu, tidak baik lho," sini emak yang goreng ikan, buatkan minuman dulu."

Begitulah emak, selalu mengajarkan kepada saya untuk senantiasa menghormati laki-laki. Tidak membuatnya menunggu dan patuh terhadap semua perintahnya. Surga istri itu ada pada suami, jadi selalu diingat ya nduk, jangan pernah membuatnya kecewa.

Sebenarnya Ishah mengerti tentang bagaimana harus menghormati suami. Karena ia memang menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di pesantren. Tentu saja, ia pernah mengkaji bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga secara Islami.

Emak yang tidak terlalu baik wawasan keagamaannya, namun begitu patuh sama bapak. Suatu hari beliau juga pernah bilang, "Garwo kuwi artine sigarane nyawa," ( suami itu setengah dari nyawa kita, jadi patuh dan hormatilah selalu suamimu. Emak tahu dan bisa merasakan kekecewaan kecil yang sempat Ishah rasakan. Memiliki suami pengangguran di awal pernikahan tidaklah mudah.

Ishah menjalaninya dengan legawa (berbesar hati) meski hati kecilnya ingin berontak. Dalam diamnya ia selalu berusaha dan berdoa semoga hari-harinya lebih baik, apalagi setelah dinyatakan postif hamil. Karena setiap anak insya Allah membawa rejeki masing-masing.

(Bersambung)

#stayathome

#tantanganmenulisdigurusiana

#catatanhariankehidupanke-78

#menulisembilanpuluhhari

#MediaGuruIndonesia

#Rabu,01042020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sabar memiliki suami yang belum bekerja itu enak2 sakit Enaknya banysk waktu untuk bersama Sakitnya ya gak punya duit hi hi

01 Apr
Balas

Iya jg seh, tp bahagia kan tdk harus dengan uang

03 Apr

Semoga sabar Ishah berbuah manis

01 Apr
Balas

Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian....

03 Apr



search

New Post