Himmah Mufidah

Himmah Mufidah guru MA Almaarif Singosari. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tantangan Menulis di Gurusiana (79)
Menulislah Selagi Bisa

Tantangan Menulis di Gurusiana (79)

Catatan Harian ke 79

Perjuangan Ghumaishah

(Bagian 2)

Pagi terhampar muram. Kala mentari enggan tersenyum. Ribuan tetes embun mencoba bertahan. Saat kehangatan tak menyapa seperti biasanya.

Gadis kecil, mencoba bermain tanah di teras rumah. Seperti embun yang enggan mengering. Karena mentari tak hadir. Sekedar untuk mencaiekan suasana. Setelah ibunya membentaknya untuk keluar. Ia tak mengerti. Yang ia rasakan hanya perutnya berteriak-teriak minta di isi.

Sementara dari dalam kamar terdengar tangis bayi tak henti-hentinya. Gadis berambut cepak, mata bulat bibir mungil yang mengering mencoba mendiamkan bayi merah tersebut. Tapi usahanya tak berhasil.

"Ishah..., Liat adikmu di balai-balai, tenangkan dia," Teriak ibunya dari sumur, sekedar memenuhi bak mandi. Sedari petang perempuan berkebaya dan berjarik layaknya perempuan desa sudah berbau asap perapian. Ia harus segera menyelesaikan masakan untuk segera di antar ke sawah.

"Iya bu," jawab Ishah sambil tetap memetik dedaunan yang jadi pagar rumahnya. Sementara tangisan adiknya tak jua berhenti. Meski ibunya terus saja berteriak. Ia sedang asyik "memasak" di teras rumah.

Tentu saja Ishah melakukannya sendiri sambil terus berdialog entah dengan siapa. Gaya khas anak-anak sembari melupakan rasa laparnya. Jangankan secangkir teh panas, sebutir nasi tak ia dapatkan pagi ini.

Begitulah hari-harinya. Tak pernah ia mengerti. Kenapa ibunya selalu marah kepadanya. Seperti bukan putri kandungnya. Karena hanya omelan, bentakan, bahkan cacian yang pernah sekalipun ia pahami. Bahkan mungkin tak perlu ia pahami.

Beruntung ia tinggal di daerah yang padat penduduknya. Tepat di samping kiri adalah rumah bulek. Adik kandung ibunya. Biasanya bila kegiatan dapur bulek usai. Ia bisa dapat sarapan gratis darinya. Sekalian bonus mandi pagi.

"Nduk, Ishah sini ke rumah," sambil melambaikan tangan, bulek Aminah memanggil. Tidak butuh waktu lama, Ishah langsung mendekat.

"Cah ayu mandi dulu ya, habis itu kamu boleh makan apa saja yang ada di meja makan." Jelas bulek Aminah. Perempuan paruh baya, tanpa hadirnya seorang anak setelah lima tahun menikah.

"Injih," jawab Ghumaishah, gadis berusia dua tahun lebih itu. Tanpa diminta ia segera melepas bajunya dan pergi ke bilik belakang rumah. Bak air sudah penuh, pak lek biasanya selalu mengisi semua bak sebelum berangkat ke ladang.

Setelah mandi, dia segera masuk rumah bulek. melewati dapur samping rumah. Dengan polos sambil gigit jari, ia mengadu sama bulek.

"Ishah, pake baju apa?"

"Oh ya, baju kamu sudah bulek cuci, kemarin lusa kan kamu mandi di sini," begitu penjelasan bulek sambil mengeringkan badan Ishah. Setelah ganti baju dan menyisir rambut, ia spontan duduk di meja makan.

Namun tidak serta merta, ia langsung menyantap semua makanan tersebut. Ia diam sambil menatap satu persatu hidangan sederhana yang ada. Ia teringat adiknya yang menangis sejak subuh tadi.

"Ayo di makan," sapa bulek sambil berlalu membawa cucian kotor.

"Iya bulek, apa Ishah boleh mencoba semuanya," tanyanya kembali.

"Tentu saja," jawab bulek.

"Terima kasih," sambil mengambil nasi dan beberapa lauk dan sayur Ishah makan sendiri.

Gadis sekecil itu, biasanya masih di suap. Namun tidak berlaku buat Ishah. Apalagi semenjak adiknya lahir. Ia harus melakukan aktifitas pribadinya sendiri. Terkadang sambil menangis. Tentu saja ia tidak mengerti dengan tangisnya sendiri dan tanpa butiran air mata. Menangis dari dalam hati.

Suatu hari ibuknya sangat marah. Dan mengusirnya dari rumah. "Sana ikut bapakmu saja, bikin repot saja." Anak sekecil itu tentu saja tidak mengerti. Sambil menjauh dari ibunya yang sedang menyusui adiknya. Ishah bermain sendiri di teras rumah di bawah pohon jambu.

Bapak jarang ke sawah. Sebelum menikah bapak adalah pengrajin ukiran di kota Pasuruan. Sehingga beliau lebih banyak membuat meja kursi ukir sendiri setelah menikah dengan ibu. Sementara itu, penjualan hasil kerja bapak tidak langsung laku. Butuh waktu yang lama untuk mendapat uang.

Ibu, memiliki sepuluh bersaudara. Sebagai anak pertama tentu saja ia harus mengasuh adik-adiknya. Sehingga ia baru menikah, ketika usianya tidak lagi muda. Perawan tua, orang desa menyebutnya. Rumiati, Rum biasa orang memanggilnya.

Akhirnya datanglah lelaki yang mau menikahi ibu. Setelah merantau lama di kota lain karena bekerja. Bapak ikut di perusahaan ukir. Setelah pulang dan memiliki sedikit tabungan ia memberanikan diri untuk menikah. Bertemulah dengan Ratih gadis tetangga desa yang setiap hari lewat depan rumahnya. Ratih terbiasa pergi ke sawah untuk mengirim pekerja orang tuanya. Sawahnya sangat luas, tentu saja dibantu beberapa pekerja.

Tidak butuh waktu lama. Ratih menerima lamaran Pardi. Lelaki perjaka yang lama merantau ke kota lain. Usia mereka hanya terpaut hitungan bulan. Kakek pun merestui pernikahan mereka. Berharap ada yang membantu kakek pergi ke sawah. Usia kakek sudah cukup tua untuk tiap hari ke sawah.

Sementara Pardi, berasal dari keluarga sederhana. Ayah ibunya hanya buruh tani. Mereka tinggal Dengan dua adik perempuan Pardi. Keduanya sudah menikah dan memiliki anak. Pardi tidak tahu jika mereka menikah. Hampir sepuluh tahun Pardi memang tak pulang. Bahkan ketika lebaran tiba.

Lelaki pendiam itu pekerja keras. Setiap bulan ia tidak lupa selalu mengirim uang buat keluarganya di desa. Sehingga laki-laki itu terbiasa

Bekerja sebagai mebeler. Bukan bekerja di sawah atau di ladang.

Sebuah pernikahan diharapkan muaranya adalah melahirkan sakinah, ketenangan. Dan pasti berujung bahagia. Namun, dengan perbedaan keinginan itulah, Ratih dan Pardi tak pernah satu kata. Meski sudah dikaruniai tiga orang anak. Tetap saja tak hadir ketenangan apalagi kata bahagia.

Ratih dengan kebiasaannya pergi ke sawah sementara bapak kekeuh dengan kegiatan ukirnya. Kebiasaan itu lah yang selalu bikin ibu marah. Namun bapak tidak pernah membalas sepatah kata pun, setiap ibu mengomel. Setelah ibu puas berbicara dan diam, baru bapak pergi ke samping rumah untuk melanjutkan mengukir kayu.

Dulu bapak, bekerja ikut orang. Setelah menikah bapak bekerja di rumah. Sambil sesekali membantu kakek ke sawah. Atau hanya sekedar membawa kiriman makanan buat orang-orang yang bekerja di sawah kakek. Lantas bapak pulang.

Ishah kecil sering memperhatikan bapak bekerja. Tanpa banyak bicara keduanya saling memperhatikan. Tidak ada sapaan atau apapun yang bisa mereka bicarakan. Bahkan saat makan pun, bapak hanya mengajak mengambilkan makanan. Lantas diam. Dan nasi di piring masing-masing telah habis.

Begitulah bapak yang Ishah kenal. Dan begitulah Ishah yang bapak ketahui. Keduanya dekat namun jarang bercakap-cakap. Hingga hari kelabu pagi itu menyapa mereka.

Ibu tiba-tiba berteriak-teriak sambil menggendong adik yang berusia lima bulan. Sambil melempar semua baju-baju bapak dari almari. Tanpa banyak kata, bapak mengemasi baju-baju kedalam kantong plastik. Tidak semua beliau bawa. Beliau membawa secukupnya.

Sambil menggandeng tanganku, kami pergi. Berjalan ke arah utara. Sampai lelah, lantas kami beristirahat di sebuah musholah di pinggir sawah. Bapak mengambilkan sebotol air minum dari kran musholah. Dan menyuruhku meminumnya. Bapak tahu aku haus.

Tak ada sepatah kata pun selama perjalanan. Bahkan sebutir air mata pun tak kutemukan di retina bapak. Bahkan guratan-guratan penyesalan tak kutemukan di setiap lekuk wajah bapak. Aku, Ishah kecil hanya menurut saja sambil menggandeng tangan kokoh bapak. Bukan karena berotot, tapi totalitas kepasrahan dalam menjalani hidup kuperhatikan diam-diam.

Selesai sholat dan istirahat. Kami melanjutkan perjalanan. Dan sejak saat itu aku tak pernah berjumpa lagi dengan adik dan ibuku. Sementara kakakku, Khalim entah kemana. Sampai suatu hari ia datang berkumpul bersama kami. Bapak, emak, mas Khalim dan aku.

Aku membaca senyum bapak di setiap pagi Hari-harinya adalam senyum terindah yang beliau kabarkan kepada kami. Emak pun tak banyak cakap. Namun beliau sangat menghormati bapak. Emak mengungkapkan cinta bukan dengan kata. Namun lebih banyak penghargaan yang beliau berikan.

Tidak ada kemewahan di harihari kami. Rumah bambu sederhana. Ruang tamu yang tidak luas. Menjadi tampak luas karena hari-hari yang selalu dipenuhi dengan rasa syukur. Ada rasa saling memiliki. Rasa saling membutuhkan satu sama lain.

Meski tanpa canda tawa, kami selalu bahagia dengan sentuhan tangan. Tatapan mata dan hati yang selalu berdoa untuk kebaikan bersama. Emak hadir ibarat bintang di malam hari, bercahaya seperti berlian di hamparan malam. Bapak adalah rembulan yang memancarkan cahaya tanpa pernah diminta meski dalam kata

Semua kurekam dengan baik. Memori masa-masa itu sungguh melekat di otakku. Sampai suatu hari aku terdiam lama di bangku belakang rumah emak. Sambil menatap senja yang tak lama lagi akan datang. Pekarangan emak tidak begitu luas. Namun rimbun dengan beberapa tanaman toga.

Beberapa ekor ayam turut meramaikan suasana santai ini. Aku pun bahagia bersama emak yang juga tak banyak bicara. Sama seperti bapak. Ada kedamaian di rumah kecil ini. Ada cinta yang tak terkatakan. Ada rasa sayang yang tak kan mampu terbayangkan. Aku bahagia.

"Lagi mikir opo to nduk?, kok diam mematung begitu," sapa emak sambil menggiring ayam-ayamnya untuk masuk kandang.

"Ndak ada Mak," Jawab perempuan

Dengan rambut berkepang dua. Sesekali dia memainkan rambut panjangnya. Sambil diam terus saja ia menatap langit yang mulai temaram.

"Ada apa, cerita sama emak" sembari duduk di sampingku emak merapikan ikatan rambutku.

"Mak, Ishah ingin sekolah, seperti Mas Khalim, boleh kan mak?" Tanya Ishah sambil terbata-bata. Jak Khalim waktu itu sudah kelas lima di SD inpres dekat rumah.

"Boleh kan Mak?" Dengan ragu, sambil menatap wajah emak ia kembali bertanya.

"Saya tanyakan sama Bapakmu ya nduk, semoga bapak setuju." Begitu jawab emak. Tidak lama kemudian mega merah telah datang. Dan terdengar adzan magrib dari surau depan rumah.

(Bersambung)

#perjuanganghumaishah

#tantanganmenulisdigurusiana

#catatanhariankehidupanke-79

#menulisembilanpuluhhari

#MediaGuruIndonesia

#kamis,2042020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah...ini bisa jadi novel bunda keren..suasana menguras air mata...semoga sukses..salam dari Bondowoso

02 Apr
Balas

Salam kenal dari bumi arema...Semoga terwujud, meski blm tau jd ap tdk mjd novel. Tp sy ingin...punya sebuah novel...

03 Apr



search

New Post