hizkiana mintarningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BAB V.  Cerita Yu Warsih
Bagian Novel

BAB V. Cerita Yu Warsih

Di kantor, Yu Warsih cepat tanggap situasiku. Secepat kilat ia menarikku ke ruang PKK, dan tanpa memberi kesempatan aku berfikir. Yu Warsih langsung menyodorkan sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang menyudutkanku.

“ Jadi kamu sudah tahu to Ras ? Selama 1 ( satu ) bulan ini Kuncoro selalu ke rumahku. Ia menceritakan problemnya. Kadang berjam-jam ia melamun tanpa seorangpun mampu menghiburnya. Tetapi hebatnya, ia tidak pernah memperlihatkan kegelisahannya di orang lain. Kamu marah Kuncoro ya Ras ? Kasihan dia !”

Mendengar celoteh Yu Warsih, aku justru menjadi kaget sekali.

“ Jadi Yu Warsih lebih tahu masalah ini dari pada aku to ? Dan Yu Warsih tidak menyampaikannya kepadaku ? Teganya !!! Yu Warsih dan Kuncoro sama – sama jahat. Nggak pernah tulus berteman denganku. Bayangkan, masalah sebesar ini kok dianggap main-main. Memangnya Yu Warsih menganggap aku apa ? Patung !? Batu !? Atau binatang yang nggak punya hati !? Aduh Gusti kok teman-teman baikku tega menghancurkan aku. Kejam sekali. Ini yang namanya sahabat ? Bagaimana Yu Warsih bisa bilang bahwa Kuncoro sangat kasihan. Bagaimana dengan aku ? Bagaimana Yu !!? Bagaimana ?!!!”

Belum sempat Yu Warsih menjelaskan lebih lanjut, aku sudah berlari keluar ruangan dan menuju ruangan BIMAS. Untuk saat itu Hana belum masuk kantor, karena harus menghadiri sunatan keponakannya di desa Randu, 20 km kearah utara. Pasti senin depan baru ia masuk kantor.

Setelah menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat, isakku tak terbendung lagi. Bagai bendungan yang jebol . Rasanya aku ingin menjerit sepuasku. Tapi aku malu pada pegawai kecamatan . Takut jadi buah bibir. Kasihan Bapak. Makanya walau kesal dan sakit hati, aku tidak akan meraung-raung.

Bersamaan isakku, aku dapat membayangkan bagaimana perasaan Yu Warsih setelah aku tinggalkan sendiri bersama kemarahanku. Dia pasti gelisah dan merasa bersalah. Tetapi jujur, aku sangat kecewa dengan Yu Warsih. Padahal kemarin kami baru pulang dari kegiatan dan ia mendengar sendiri pesan Bapak tentang Kuncoro. Mengapa Yu Warsih tega membiarkan aku menanggung masalah begini besar. “ Mengapa kalian sepengecut ini? “

Aku mendengar pintu BIMAS diketuk perlahan-lahan.

“ Ras ! Ras ! Tolong buka pintunya. Aku mau ngomong sebentar. Tolong jangan biarkan aku merasa bersalah begini. Aku Tidak menyangka kamu sangat marah padaku. Biasanya kamu tegar Ras. Tolong buka pintunya .”

Berulang-ulang pintu diketuk dari luar. Tapi aku tak membiarkan Yu Warsih masuk dan mempengaruhi putusanku, untuk tidak memaafkan mereka. Hatiku amat sakit, dan ingin muntah rasanya. Hingga sepanjang jam kerja aku tetap menyendiri di ruang BIMAS. Ketika semua pegawai kecamatan bersiap-siap pulang ke rumah, aku masih tetap ada di dalam ruangan. Sesekali aku keluar agar tidak menimbulkan pertanyaan di antara pegawai. Aku bertekad hanya Yu Warsih saja yang tahu masalahku. Makanya setiap berpapasan dengan pegawai kecamatan lainnya, aku hanya tersenyum dan mengatakan aku tidak duduk-duduk dengan mereka karena ada pekerjaan yang harus segera aku selesaikan. “ Untung Hana tidak ada. Terima kasih Tuhan , engkau telah mengatur segala sesuatunya dengan indah !”

Pukul 16.00 aku membuka pintu ruang BIMAS, dan langsung mencari Bapak. Yu Warsih tidak aku beri kesempatan bicara denganku. Sepertinya Bapak mengerti benar situasinya. Tanpa menunggu Marto , Bapak langsung tancap gas. Biasanya sebelum pulang selalu memberi ceramah singkat kepada Pak Marto; tutup pintulah, lihat kebersihanlah, dan materi kuliah lainnya yang isinya instruksi harian yang harus dilakukan oleh Marto tanpa cacat.

Setengah jam kemudian kami tiba di rumah. Seperti biasa , Ibu selalu menunggu kami di depan pintu rumah. Ibu paling hafal kapan Bapak dan aku tiba di rumah. Ibu tipe ibu rumah tangga yang menganggap keluarga adalah sorga. Kesetiaannya kepada Bapak dan keluarga luar biasa. Aku kadang bertanya dalam hati, “ Apa Ibu tidak memiliki keinginan lain selain mengabdi kepada kami ? “ Perkawinan Bapak dan Ibu sudah cukup lama. Hampir 30 tahun. Tetapi Ibu tidak pernah berfikir, bahwa rumah tangga adalah penjara bagi kehidupannya.

Seperti yang terjadi hari ini. Begitu Bapak menginjakan kaki di teras rumah, ibu langsung menyongsong Bapak dengan satu cangkir besar air putih sambil memperlihatkan senyum khasnya. Ibu memang wanita special bagi kami. Jarang kami mendengar keluhan dari rautnya yang sabar. Makanya Bapak juga tidak tega berkata kasar atau keluar rumah sesuka hati . Bapak sering bilang : “ Aku kasihan Ibumu Ras . Setiap hari di rumah saja, jadi biar kalian pergi duluan, nanti Bapak menyusul. Bapak harus pamitan Ibu dahulu “ Demikian Bapak selalu memberi alasan setiap kali kami harus melakukan pertemuan di lokasi penerima program kecamatan. Bapak tahu, bahwa tidak mungkin bapak pulang tepat waktu.

“ Harus pamit Ibumu dulu !” Kata Bapak tegas.

Setelah mencium tangan Ibu, aku langsung menuju kamar. Terus terang sulit untuk terlelap. Tetapi aku malas keluar kamar untuk bercengkerama dengan Bapak dan Ibu seperti biasanya. Tiba-tiba pintu diketuk.

“Ras ayo bangun , ada nak Kuncoro !”

Plaaas ! Tiba-tiba kaki tanganku gemetar. Hati yang mulai aku tata kembali bergolak dan meretakkan pertahananku. Aku hampir pingsan dibuatnya. “Tetapi aku harus kuat. Tidak boleh lemah. Harus tegar!”

Setelah merapikan penampilanku aku langsung menemui Kuncoro di ruang tamu. Seperti biasa, Bapak menemani Kuncoro hingga aku keluar untuk menemuinya. Kuncoro ganteng sekali sore ini. Melihatku keluar, ia bangkit dan tersenyum. Tidak ada yang berubah dari sikapnya. Ini justru menyakitkan aku. Senyum dan sorot matanya memiliki perbedaan makna. Matanya menacarkan ketidakberdayaan dan luka yang sangat dalam. Keletihan jiwa nampak tergambar dari sorot matanya. Tiba-tiba iba ku menyeruak. Rasanya ingin aku memeluk dan menghiburnya; seperti yang dia lakukan kepadaku selama ini, saat aku membutuhkan hati kuatnya Kuncoro. Tetapi aku bertekad tidak boleh terpengaruh oleh perasaan iba yang akan mengombang-ambingkanku. Kuncoro bukan milikku lagi. Aku harus sadar hal itu.

“ Bagaimana kabarmu Ras?”

Ia membuka komunikasinya dengan ragu-ragu . Aku tahu sulit berhadapan dengan seseorang yang pernah menjadi bagian hidupnya selama bertahun-tahun, lalu berpisah karena bukan kesalahan yang kami harus saling bermaaf-maafkan. Aku mencoba memahami sikapnya.

“ Baik ! Bagaimana dengan kamu sendiri ?” Kuncoro membalas pertanyaanku dengan tersenYum kecil yang limbung.

Hampir 10 menit, kami berbasa-basi. Lalu akhirnya Kuncoro menyodorkan tawaran,

“ Ras bisa kita keluar sebentar ? Aku mohon ! “ Aku tidak segera menjawab. Dan Kuncoropun nampaknya memaklumi pikiranku.

“ Memang aku salah Ras, aku paham kalau engkau tidak akan pernah memaafkanku. Aku telah menyeretmu ke dalam masalahku. Tapi tolong dengarkan penjelasanku.”

Kuncoro menghiba dan berusaha menarik empatiku. Tetapi aku tidak ingin mengikuti sarannya. Yang aku tahu, keputusan Kuncoro memilih Nuri tidak akan berubah. Karena amanat orang tua bagi Kuncoro mutlak harus dipenuhi.

“ Sebaiknya, kita berusaha menyembuhkan sakit kita masing-masing Kun. Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Semua sudah jelas. Kamu memilih Nuri, dan aku akan berusaha untuk tetap menghormatimu !“ (Kalimat terakhirku, menyatakan sisi lain dari pribadiku yang acuh dan dingin)

Mendengar kalimatku, Kuncoro sadar bahwa tidak ada lagi masalah yang bisa dibahas denganku. Jiwaku sudah tersakiti dan tidak mungkin ada satu kalimatpun yang bisa membujukku. Waktu saja akan membahasnya denganku. Mungkin perlu satu hari, seminggu, satu bulan atau lebih. Aku tidak tahu. Untuk sementara aku tidak ingin berhandai-handai. Perjalanan hidupku masih terlalu panjang . Banyak lembar buku yang belum aku buka. Aku akan mencoba membiarkan lembar demi lembar terbuka dan memberikan manfaat bagiku. Aku yakin, cerita hidupku belum tamat. Masih ada puluhan lembar yang harus aku baca. Hingga hasil akhirnya akan aku nikmati.

Sepekan setelah kunjungan Kuncoro, aku menerima undangan pernikahan dari Kuncoro. Sebuah undangan sederhana berwarna biru. Pilihan warna yang anggun. Warna kesukaan Kuncoro. Aku masih ingat, ketika kami pergi ke kota, kami terpaksa menghabiskan waktu untuk mencari kemeja berwarna biru sesuai ukurannya. Kami sempat putus asa dan hampir menyerah. Tetapi akhirnya kami mendapatkannya setelah menjelang sore. Peristiwa itu amat berkesan. Sebab setelah pencarian kemeja yang sulit itu, Kuncoro menyampaikan isi hatinya kepadaku, dengan melingkarkan cicin di jari manisku. “ AAh! sebuah kenangan tentang warna biru . Maknanya amat dalam bagi Kuncoro dan aku. Tetapi warna biru yang sekarang ada ditanganku adalah warna biru sembilu. Warna biru undangan pernikahan . Warna kemenangan orang lain. Apakah aku sedang hancur ?

“ Ras ! Nak Kuncoro mau kawinan. Apa kamu sudah tahu ?”

Ibu bertanya tanpa pernah tahu bagaimana perasaanku. Karena memang aku tidak pernah menceritakan masalahku dengan Kuncoro pada Ibu. Bapak selama ini hanya menebak-nebak hubungan Kuncoro dengan aku. Jadi Bapak tidak mungkin membahasnya dengan Ibu tentang hubunganku dengan Kuncoro. Bapak Itu orang tua yang demokratis. Selalu menghormati pendapat orang lain; termasuk pendapatku. Jadi kalau aku tidak menceritakan apapun tentang hidupku, Bapak tidak pernah mencampurinya. Tetapi bukan berarti Bapak kurang perhatian. Itu hanya cara Bapak untuk mendidikku menjadi dewasa. Makanya aku tumbuh menjadi anak yang tegar. Bapak dan Ibu menjadi heran kalau melihatku menangis dan gelisah. Karena itu bukan sifat atau kebiasaanku. Makanya kalau aku menangis, Bapak dan Ibu menjadi kebingungan.

“ Terima kasih ya Tuhan, Engkau ijinkan aku lahir sebagai anak mereka “

Aku baru saja naik di atas pembaringan, ketika suara Yu Warsih memberikan salam dari balik pagar. Rasanya aku tidak ingin menemuinya. Aku sangat kecewa. Tetapi aku ingin Yu Warsih tahu tentang sikapnya terhadapku. Agar ia tidak mengulanginya lagi.

Sebelum aku turun dari pembaringan, tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Secepat kilat aku merasakan pelukan amat erat disertai isakan tangis yang tertahan.

“ Ras ! Sungguh aku tak bermaksud mencurangimu. Aku pikir kamu sudah mengetahui masalah ini sebelum aku. Aku takut membahasnya denganmu, takut menyinggung perasaanmu. Tetapi ternyata kamu justru belum tahu Ras. Aku minta maaf! Sungguh aku tidak sengaja menyakitimu ! “

Berulang-ulang Yu Warsih meminta maaf; menangis sambil memelukku erat. Aku menjadi tidak tega. Dengan perlahan aku jauhkan tubuhku dari dekapannya sambil berujar :

“ Sudahlah Yu, aku sudah memaafkanmu. Nggak perlu dibahas lagi “

Sesungguhnya aku sedang berbohong kepada Yu Warsih. Sebab lima menit yang lalu aku masih belum bisa memaafkan Yu Warsih. Coba kalau ia tidak datang sore ini, sudah tentu aku masih tetap kecewa

Setelah agak tenang, Yu Warsih mulai menceritakan riwayat Kuncoro dan Nuri. Menurutnya, Yu Warsih dulu tinggal bersebelahan dengan mereka. Ketika usaha orang tua Kuncoro pailit, orang tua Nuri menjadi juru selamat ekonomi orang tua Kuncoro. Sedikit demi sedikit orang tua Kuncoro bangkit dari kehancurannya. Sebagai orang yang tahu membalas budi, ayah Kuncoro berinisiatif untuk mengikat tali persaudaraan kedua keluarga dengan tali perkawinan. Awalnya Kuncoro tidak tahu menahu tentang perjodohan mereka. Sampai pada dua bulan terakhir; sesudah orang tua Nuri meninggal tragis , baru Kuncoro tahu. Itu juga karena surat amanat ayah Nuri yang ditujukan kepada ayah Kuncoro, terbaca olehnya. Awalnya Kuncoro merasa mampu mengatasi masalah tersebut dengan memberi pengertian kepada orang tuanya, bahwa membalas budi bukan harus melalui ikatan perkawinan saja. Ada berbagai cara.

“Aku tahu Ras, Kuncoro amat mencintaimu !”

Ini dikatakannya berulang-ulang kepadaku ! Tetapi semuanya menjadi berubah total ketika Nuri ternyata mencintai Kuncoro. Yu Warsih terdiam sejenak . Nampak wajahnya sangat murung. Nuri sangat marah ketika mengetahui Kuncoro ternyata mencintai wanita lain; yaitu kamu Ras. Dia mendesak orang tua Kuncoro mengurus perkawinan mereka. Kuncoro berusaha mengulur waktu dan ingin membicarakan hal ini denganmu. Tetapi ia tidak tega menyakitimu. Kuncoro sempat ke rumahku, dan berhari-hari mengurung diri di kamar tamu. Aku tidak tega Ras.

Mendengar tutur Yu Warsih di sela-sela esaknya, aku menjadi serba salah. Bingung, menyesal, dan bercampur kepedihan yang amat dalam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini.

Yu Warsih berhenti sejenak ketika melihat Ibu menghampiri kami , sambil menawarkan makan malam kepada kami.

“ Bapak dan Ibu duluan saja. Nanti Rasti dengan Yu Warsih belakangan”.

Kataku sambil menghantar Ibu menuju meja makan.

Setelah Ibu tidak ada, Yu Warsih melanjutkan ceritanya.

“ Tapi ketika sore itu kalian keluar, justru Kuncoro menjadikan semuanya berantakan. Kamu marah, tanpa mendengar penjelasan darinya, dan ia akhirnya datang di rumahku, dengan putus asa. Minggu lalu ia mengumpulkan kekuatan hatinya; memberanikan diri menemuimu. Maksudnya, apabila engkau mengatakan tidak ingin kehilangan dirinya, Ia akan bertekad untuk memberi pengertian kepada orang tuanya. Apapun resikonya. Tetapi kenyataannya, kamu tidak mau mendengarkannya. Ucapan awal bahwa ia ingin menikahi Nuri adalah pancingan untuk mendengar tekadmu. Ternyata kenyataannya, kalimat itu yang menghancurkan kalian.

Mendengar penjelasan Yu Warsih, bagai ada halilintar yang menyambar kepalaku. Tiba-tiba ruangan sekitarku menjadi gelap pekat. Aku tidak percaya telah melakukan kesalahan begitu besar. Aku membuang harapanku untuk hidup dengan Kuncoro, hanya keras kepalaku.

“ Lalu sekarang bagaimana Yu ? Aku tidak mengerti mengapa semuanya ini terjadi ?” Tiba-tiba tangisku meledak. Aku tidak dapat membendung gejolak yang mampir di dadaku. Seperti bongkahan batu berton-ton menindih . Tapi nasi telah menjadi bubur. Semuanya telah hilang. Tak mungkin waktu berputar kembali.

“Ras akhirnya kamu tahu yang sebenarnya. Kuncoro tidak bersalah. Kamu harus tegar menerima akibat dari kesalahpahaman ini. Mungkin Kuncoro bukan jodohmu! Aku mohon kita akan tetap berteman dan menghadiri undangan pernikahan Kuncoro.”

Setelah menghabiskan kalimatnya, Yu Warsih langsung berpamitan denganku dan Bapak/Ibu yang ada di ruangan tamu. Walaupun aku menahannya untuk tidak meninggalkanku dengan alasan ibu telah menyiapkan makan malam kami.

Sepeninggalnya Yu Warsih, hatiku kaya dicabik-cabik. Rasanya aku ingin berlari menemui Kuncoro dan mencabut seluruh kebodohanku kepadanya. Aku sesenggukan sendiri; di kamarku. Rasanya aku ingin berteriak dan menenggelamkan diri di sebuah dunia asing, hingga mencuci seluruh perjalanan hidupku.

Hingga tengah malam, mataku masih tetap terpicing. Tidak sanggup aku menghadapi rasa sepi yang panjang di hari-hari mendatang. Tetapi yang pasti, semuanya adalah kenyataan. Meraung tidak ada gunanya, sayapku patah, dan jiwaku retak. Aku tidak yakin akan mampu pulih dari rasa bersalah seperti ini. Aku kalah tanpa musuh di depanku. Tanpa saingan ! Dirikulah yang mengalahkan aku.

Dari ruang tamu aku mendengar jam berdentang satu kali. Artinya pagi telah menjelang. Tetapi mata dan hatiku tidak mau terpejam. Mengembara ke negeri antah berantah. Ke negeri asing, tak ada teman dan handaitaulan yang aku kenal untuk berbagi rasa. Hatiku letih sekali. Tetapi tidak mungkin aku lari dari masalah ini. Semua harus aku hadapi. Harus aku selesaikan. Paling tidak, aku harus berdamai dengan diriku sendiri. Sulit rasanya menyelesaikan masalah dengan orang lain, tanpa ketenangan atau berdamai dengan jiwa.

Berada dalam situasi seperti ini, aku diingatkan oleh nasehat Ibu Ratih, Guru Matematikaku setika di SMA. Waktu itu aku baru saja terpilih menjadi ketua OSIS. Aku merasa tidak mampu memikul tanggungjawab sebagai pimpinan. Aku hanya seorang perempuan yang tidak terlalu cerdas. Aku lebih suka bila jabatan ini aku serahkan kepada si Adi, teman se kelasku. Adi selain cerdas ia juga pandai bergaul. Teman Adi banyak. Tetapi mengapa Ia bisa aku kalahkan dalam pemilihan ketua OSIS. Terus terang dari informasi yang berkembang, Aku adalah kandidat ketua OSIS yang tidak diunggulkan. Tetapi mengapa hasil akhirnya justru aku yang terpilih. Masalah itu hingga sekarang belum pernah terjawab. Masih misteri bagiku hingga sekarang.

Hari itu aku ke ruang Ibu Ratih. Beliau salah satu guru favorit kami. Sikapnya yang penuh perhatian menjadi salah satu alasan kami mengidolakan Bu Ratih.

“ Ras, memang benar, orang pinter senantiasa memiliki teman banyak. Tetapi yang benar-benar teman bagi mereka tidak banyak. Sebab banyak orang mendekati orang pinter karena berharap sesuatu. Berharap numpang tenar, berharap mendapat bantuan, berharap mendapat perhatian, dan berbagai harapan untuk kepentingan diri. Ketika mereka dituntut untuk melakukan komitmen; memberikan dukungan kepada si Pinter, mereka lari. Apalagi kalau si Pinter memiliki kebiasaan meremehkan orang . Menganggap orang lain tidak sepinter dirinya. Maka mereka akan kehilangan dukungan dari teman yang selama ini mengelilinginya.”

Sejenak Ibu Ratih diam. Beliau memberiku kesempatan untuk merenungkan setiap kalimatnya.

“Dan teman-teman menilai sikapmu selama ini. Supel dan siap membantu . Diam-diam mereka mengagumimu. Kenapa kamu tidak popular ? karena kamu sering bersembunyi dari mereka; menyembunyikan kelebihanmu. Tetapi mereka tahu, bahwa kamu memiliki kemampuan untuk popular. Hanya kamu itu tipe orang yang sulit berdamai dengan dirimu. Artinya, sulit memaafkan diri sendiri ketika ada masalah yang timbul yang melibatkan kamu “.

Mengingat nasehat ibu Ratih , aku merasa dikuatkan. Aku harus tahu apa yang aku inginkan dan yang terbaik bagiku. Lalu perlahan aku mengambil diaryku dan menuliskan berbagai kerisauan dan harapan yang sedang lalu lalang di benakku.

“ Diary, selamat malam” ( Aku menuliskan kalimat awal di dalam diaryku ). “ Maafkan Aku, baru hari ini aku menemuimu “.

Selanjutnya kalimat curahan hati mengalir memenuhi bait demi bait tulisanku. Dan itu menjadikan aku lega dan hatiku sedikit ringan. Salah satunya adalah bagaimana caranya agar aku bisa bertemu kuncoro dan memperbaiki seluruh cerita kami yang telah rusak karena keegoisanku. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari . Kehilangan sesuatu yang berharga tanpa pernah berusaha meraihnya kembali. Hanya pasrah.

Hari ini 20 Agustus. Artinya telah 4 bulan Kuncoro dan Nuri menikah. Selama itu pula aku tidak bertemu dengan Kuncoro dengan Nuri. Terakhir bertemu mereka adalah malam hajadan perkawinan mereka. Meriah ! Itu kesimpulanku. Setelah itu aku tidak peduli lagi dengan kehidupan mereka. Di samping meneruskan usaha keluarga, aku dengar Kuncoro melanjutkan kuliah di kota. Artinya setiap hari ia harus bolak-balik antara kota dan desa kami. Selain kabar itu, tidak ada kabar lainnya yang aku dengar.

Lonceng jam diding di rumah panggung Pakde Sibri berdentang 4 kali. “sudah pagi spontan aku melompat dari tempat tidur. Ibu belum bangun. Tetapi di sudut ruang tamu, bayangan Bapak sudah nampak, seperti siluet

Biasanya sebelum ke kantor Bapak akan menuliskan agenda kegiatan Pak Camat dan kegiatan Bapak.

“ Maklum Nduk, Bapak sudah mulai pikun. Tetapi mengagendakan seluruh kegiatan kita juga akan bermanfaat untuk membuat laporan kerja, Nduuk”

Itu yang Bapak biasa nasehatkan kepadaku setiap kali Bapak meliat aku menatapnya saat menulis di sudur ruang tamu tersebut!

Sambil memasak air untuk mandi, aku menyiangi sayur dan mengupas bawang. Lima belas menit lagi pasti Ibu sudah bangun, dan giliranku menyapu lantai rumah dan halaman depan. Karena Bapak hanya cocok dengan sayur olahan Ibu. Selain Ibu, bapak akan mengkritik semua masakan yang terhidang di meja makan. Seperti keasinan, tawar, kepedasan, atau mungkin sayur yang kurang empuk. Pokoknya macam-macamlah.

Pagi ini Ibu memadukan tumisan sayur bayam dengan tempe bacem, kesukaan Bapak. Di tambah sambal tomat mentah dan lalap daun kemangi. Kami anak-anak kurang suka paduan lauk itu. Dan Ibu yang paham dengan kesuakaan kami selalu menambah menu telur ceplok khusus untuk kami.

“ Wah, anak-anak dimanja ya ?” Celetuk Bapak sekedar bergurau.

Pukul 7:30 WIB, Bapak sudah mengeluarkan motor dari teras rumah. Artinya saya sudah siap pula:

“ Bu…! Kami berangkat !” Seru Bapak dari halaman rumah. Dan semenit kemudian Ibu sudah berlari-lari dengan bekal di tangan untuk makan siang Bapak. Sedangkan aku lebih suka bersantap siang di warung soto Mbah Rejo di pojokan kantor Kecamatan.

Tiba di kantor Pak Camat belum tiba. Raut wajah Bapak Nampak lega. Secepatnya Bapak mencari si Parto. Segala tetek bengek tentang tugas Parto menjadi sasaran pertanyaan Bapak.

“Air di Jeding pak Camat sudah penuh? Bunga sudah disiram? Halaman sudah disapu? Dan….dan…..dan” Kalau sudah begitu, aku dan Parto akan saling main mata, dan senyum dikiiit ! Hehehe…! Bapak, Rasti masuk dulu ya ?!

“ Ya sana, ….keburu siang. Lihat Jadwal, ada rencana keluar tidak ? Kalau mau berangkat, kunci di laci meja Bapak.

“Inggih Bapak !”

Tiba di ruangan Yu Warsih sudah ada di ruangan. Segelas kopi, dan sebungkus *gethuk pisang ada di depannya.

“Dasar, Yu Gethuk !!” Selorohku pada Yu Warsih sambil meletakan tas di atas meja.

“ Lha di kampung ya nggethuk lah. Kalau mau cari roti, sana di kota. Mau…?” Sambil menyodorkan bungkusan gethuknya. Aku tolak alasan aku sudah sarapan.

“Yu!” Sambil membolak balikan catatan yang aku tulis kemarin. “Hari ini keta ke Pucang to? Tempatnya Carik Dirjo. Tak ada jawaban. Karena lama tidak ada jawaban, aku menoleh kea rah Yu Warsih duduk.

“ Yu….! Kamu itu sedang mikir apa ya? Dari tadi kok bengong. Diajak omong tidak gubris. Ada apa sih Yu…?” Sambil duduk menjajari Yu warsih.

“Ora opo-opo Kok Ras. Mung lagi tidak enak badan. Ya sudah. Hayo, berangkat keburu didahului warga”. Yu Warsih mengakhiri kalimatnya sambil, berjalan ke arah pintu; sesudah sebelumnya menghabiskan komi panasnya

Sepanjang jalan menuju alamat Pak Carik Dirjo, Yu Warsih tidak banyak bicara. Seperti ada yang dipikirkan. Mungkin ada masalah di rumahnya.

Karena Yu Warsih tidak banyak bicara, terpaksa aku belajar jadi orang ramah dan cerewet. Aku geli sendiri memikirkannya; menjadi orang lain, agar Yu Warsih menjadi cerewet lagi ( Hehehe…lucu). Aku mentertawai pernyataanku sendiri.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap bu

02 Jun
Balas

Hati yangvterluka okehbkesalahpahaman, membuatku ingin ikut menangus tenggekamndalam akur ceritamu. Mantao.

02 Jun
Balas



search

New Post