Jodoh Pilhan Paman (Part 3)
#Tagursiana H-5
.
Video yang berdurasi lebih kurang dua menit itu memperlihatkan Rion dengan seorang wanita berada di sebuah kafe. Latar kafe tidak asing bagiku, kafe tempat Rosa bekerja. Mungkin video itu diambil diam-diam oleh Rosa.
Mataku nanar menatap video tersebut. Wanita yang ada di video itu sangat aku kenal. Dia tante Sisil, seorangg janda kaya yang tinggal di komplek perumahan kami. Ngapain tante Sisil dengan Rion berduaan di kafe ?. Kenapa Rion mengusap-usap tangan Tante Sisil ? Kenapa mereka kelihatan sangat mesra ? Ada apa diantara mereka ?
[Yang sabar ya, Wa. Nanti aku cari informasi lebih lanjut] tulis Rosa di pesan whatsappnya mengiringi video itu.
Aku tidak membalas chat Rosa. Kepalaku mendadak pusing. Baru saja aku tadi berusaha meyakinkan mama kalau Rion sudah berubah dan bisa bertanggung jawab, kenapa aku harus melihat video ini ?
“Kamu kenapa, Wa ? Kok terlihat pucat ? Kamu sakit, Nak ?” Mama menatapku cemas.
“Awa baik-baik saja, Ma. Mungkin agak lelah.” Aku menjawab cepat. “Awa istirahat dulu ya, Ma.”
Mama menganggukan kepala. Setengah berlari aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan mama dengan keheranan di wajahnya.
*****
[Sayang, lagi ngapain ] chat dari Rion aku terima malam itu.
[Bagaimana, kapan kamu ke Jakarta ? Apa kamu perlu aku kirimin ongkos ?] lanjut chat Rion.
Jujur aku mau menanyakan tentang tante Sisil pada Rion, tapi aku ragu. Aku belum punya bukti yang banyak. Biarlah Rosa menyelidiki Rion dulu.
[Aku harus membujuk mama dulu , Rion. Mama belum mengizinkan aku ke Jakarta] akhirnya aku membalas chatnya.
[Oke sayang, aku tunggu jawaban kamu, ya] Rion mengakhiri chatnya.
Tumben kali ini Rion hanya sebentar chatingan denganku. Biasanya dia tahan berjam-jam membalas chat ku.
Aku tidak bisa tidur malam ini. Perubahan sikap Rion dan video yang dikirim Rosa masih menuansakan tanya di benakku. Apa yang terjadi dengan Rion? Semuanya membuatku susah untuk memejamkan mata.
Dari tadi aku hanya membolak-balikan badan saja di tempat tidur. Aku baru bisa memicingkan mata setelah gardu listrik dipukul dua kali oleh petugas ronda.
*****
“Mamamu ada Zalwa ?” Suara laki-laki mengagetkanku yang lagi menunggui warung mama siang itu. Seorang laki-laki yang sudah agak berumur berdiri di dapan warung.
Aku menjumpai laki-laki tersebut dan menyalaminya. Dia abang mama yang paling tua. Kami memanggilnya Mak Adang.
“Mama pergi ke sawah, Mak Adang. Mau lihat air sawah. Silakan duduk, Mak Adang.” Aku mempersilahkan beliau duduk.
Mamaku lima orang bersaudara. Mama satu-satunya perempuan. Yang paling tua, Mak Adang. Umurnya sudah lebih setengah abad. Mak Adang orangnya pendiam tak banyak bicara. Dia disegani oleh adik-adiknya.
Dua orang anak perempuannya sudah menikah. Yang bungsu tinggal dengan dia, lain desa dengan kami. Yang paling besar ikut suaminya merantau di Batam. Mak Adang tidak memilki istri lagi. Istri beliau meninggal sewaktu anak bungsunya masih di SMA. Aku tidak begitu mengenal istri Mak Adang.
“Silahkan minum, Mamak.” Aku meletakan secangkir kopi di depan Mak Adang.
“Terima kasih, Zalwa.” Laki-laki itu berkata sambil mengangkat gelas kopi dan menyeruputnya.
“Kalau kamu tak sibuk, pergi main-mainlah ke rumah mamak. Ada kakakmu di sana. Kamu bisa cerita-cerita dengan dia.” Mak Adang berkata lembut padaku
“Tutup kepalamu mana, Wa?” Mak Adang bertanya tiba-tiba melihat rambutku yang tergerai bebas.
Aku menunduk. Aku memang tidak pernah memakai selendang atau jilbab seperti kebanyakan gadis-gadis seusiaku di kampung ini. Karena bagiku rambut adalah mahkota yang perlu diperlihatkan. Dulu mendiang papa juga sering menegurku. Tapi aku tidak pernah mempedulikannya.
“Rambut itu aurat, Zalwa. Tidak boleh nampak. Seeloknya kamu tutup.” Mak Adang berkata masih dengan intonasi yang lembut.
“Besar dosanya bagi perempuan yang memperlihatkan auratnya kepada yang bukan mahramnya. Bukan perempuan saja yang akan dapat dosa, orang tua dan saudara laki-lakinya juga kena dosa.” Lanjut Mak Adang.
“Ya Mak, nanti Awa pakai jilbab.” Aku berkata sambal menunduk tak berani menatap sorot mata laki-laki paruh baya yang berwibawa itu.
Mak Adang mengajakku bercerita. Beliau menceritakan kebiasaan masyarakat di sini. Aku mendengarkan cerita Mak Adang. Aku memang tidak mengetahui adat istiadat daerah kelahiran orang tuaku. Mama dan Papa dulu juga tidak pernah bercerita.
“Zalwa, Mak Adang pulang dulu. Besok mamak ke sini lagi. Sampaiikan ke mamamu kalau tadi mamak singgah di sini.” Laki-laki itu pamit setelah menunggu cukup lama di warung. Selembar uang diletakkanya di bawah gelas kopi.
“Mamak, nggak usah dibayar.” Aku mengembalikan uang itu ke tangan Mak Adang. Beliau menolak.
“Itu untuk kamu, Zalwa. Jangan lupa ya, main ke rumah mamak. Uni Laila kangen padamu. Dia mau ke sini belum bisa. Karena anaknya masih kecil.” Mak Adang berkata sambal menaiki motornya yang parkir di depan warung. Setelah mengucapkan salam dan aku menyalami tangannya, Mak Adang berlalu dari warung kami.
*****
[Zalwa…., aku sudah dapat info mengenai Rion] pesan whatsapp dari Rosa aku terima siang itu.
[Bagaimana caranya?] aku menjawab penasaran.
[Kamu masih ingat Beno, kan ? Aku sekarang lagi dekat dengan Beno. Tapi Beno sekarang sudah berubah, Rosa. Dia sudah mulai rajin kuliah] Rossa menulis cepat
Yah, aku ingat Beno salah seorang teman Rion. Dia juga tiggal satu komplek denganku. Aku tahu, sudah lama Beno menyukai Rosa. Jadi meraka sekarang jadian.
[Dari Beno aku tahu, Rion memang pacaran dengan Tante Sisil. Mulanya Rion menolak, tapi Tante Sisil mengejar Rion terus. Akhirnya Rion menerima juga cintanya tante genit itu. Tapi kata Beno, Rion hanya mau uang Tante Sisil saja] begitu tulis Rosa.
[Sekian dulu ya, Beib. Nanti ada info lagi aku khabari ] Rosa menutup chatnya.
*****
“Awa, mau ke rumah Uni Laila ya Ma ?” Aku minta izin siang itu kepada mama mau ke rumah Mak Adang. Mama terlihat senang aku sudah mau mulai main ke rumah saudaraku.
Sudah sering mama menyuruh aku agar jalan-jalan ke luar rumah. Tapi aku tidak pernah gubris. Bahkan pergi menemani mama belanja untuk isi warung saja aku malas. Aku enggan ke mana-mana.
“Titip ini buat Laila ya, Wa.” Mama menitipkan pisang di dalam kantong untuk kemenakannya yang belum lama melahirkan itu.
“Hati-hati di jalan. Kamu tahu jalan ke rumah Mak Adang bukan ?” Lanjut beliau.
“Awa kan naik ojek, Ma. Semua orang di sini siapa yang tak kenal Mak Adang.” Aku menjawab sambil tertawa.
Mamakku orang yang cukup disegani di kampung ini. Wawasannya yang luas sering dimanfaatkan orang tempat bertanya.
****
Rumah Mak Adang cukup besar, khabarnya Uni Husna anak beliau di Batam yang merenovasi rumah tersebut. Uni Husna dan suaminya memilki toko pakaian yang cukup besar di Batam.
Sewaktu gempa melanda daerah ini, rumah Mak Adang kena gempa. Rumah itu hampir roboh. Anak perempuan dan menantunya mengirim uang dan membangun kembali rumah mereka.Lebih bagus dan lebih besar dari rumah semula.
Aku mengetuk pintu. Seorang perempuan dengan hijab yang agak lebar menyambut kedatanganku. Wajahnya yang ramah dengan senyum yang menyejukan hati membuatku terasa nyaman.
“Zalwa…, Uni kangen .” Dia memelukku hangat. Aku membalas pelukannya. “Ayok masuk, Dek.” Dia menarik tanganku. Aku mengikuti Uni Laila masuk ke dalam rumah.
bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ibu Lili remedi??
Ibu bun ... Remedi setelah dihari ke 420.... Jadi d jemaahnya pak ceo saia....he. he..