Nabi merintis dakwah ila al-islam. Mula-mula, keluarga terdekatnya yang menerimanya. Kemudian, menyebar hingga bikin panas kuping-kuping kaum kuffar.

Pada tahap selanjutnya, Islam mampu menembus para pemilik hati sekeras batu, dan kini kaum munafik berselimut benci itu pun merasa terganggu. Tak hanya panas telinganya, namun mendidih batinnya.

Persoalannya, lantaran Nabi menyampaikan yang haq, yang datang dari yang Maha Haq, meski dengan cara lembut. Bukan persoalan cara pada sebenarnya, namun lebih pada apa yang menjadi konten atau bahan yang disampaikannya.

Kalau mereka benci Islam, ya tetap mereka benci walau dengan cara sehalus sutra. Maka, mereka melakukan ragam tipudaya, dengan dasar antipati.

Nabi Saw, misalnya, beliau datang baik-baik ke tanah Thaif, menyampaikan Islam dengan akhlak, bahkan sebaik-baik akhlak, namun karena konten yang beliau bawa itu 'Islam', dan kita tahu, sejak awal mereka alergi Islam, maka lemparan batu demi lemparan tetap Nabi terima hingga dagu dan pelipis Nabi yang agung bercucuran darah.

Kebencian itu sepaket data dengan penolakan, apapun caranya. Kalau mereka, misal, phobi dan benci terhadap konten "A" maka apapun warna "A" dengan dipoles sehalus apapun, seindah apapun, maka "A" tetap mereka tolak.

Sekali lagi, masalahnya bukan karena pada "A"nya, bukan karena si "A" itu buruk. Namun, lebih karena kebencian yang sudah mengakar, tertanam dalam benak mereka. So, sekali phobi tetap phobi, senasib dengan seseorang yang phobi ketinggian, contohnya. Sukar untuk diralat otaknya. Begitu.