Aaaaaaaaaaa aku menjerit tanpa suara. Saat itu aku nyaris ingin pinsan. Tubuhku lemas menahan ngilu di dada. Ulu hati terasa nyeri. Punggungku terasa tak bertulang. Air mata perlahan mengalir tanpa terasa. Mulut pun menganga tak kuasa menahan lara.

"Ya Allah, Astagfirullah al 'adzim. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun. Maafkan aku ya Allah. Aku yang telah dzolim. Sehingga Engkau memberikan ujian tak seberapa ini. Namun sakitnya luar biasa. Aku tak bisa menahannya. Akhirnya aku pun menangis ketika ayahnya anak-anak keluar dari kamar tidurnya.

"Kenapa mah? Kok menangis?" Tanya suamiku.

Aku menceritakan kejadian yang telah menimpaku beberapa saat lalu. Tak kuasa tangisku semakin jadi. Kusandarkan kepalaku di dada bidangnya. Begitu perhatianya dia membelaiku, memberiku motivasi. Sabar hanya ujian. Siapa yang hambanya lolos uji. Maka naiklah derajatnya. Ungkap nya dengan sentuhan kasih sayang. Dibopongnya aku ke kamar tidurku.

"Tunggu di sini, ayah buatkan obat pereda nyeri.

Akupun mengangguk pasrah.

Kemudian suamiku beranjak menuju dapur. Entah apa yang dibuatnya. Sejurus kemudian dia membawa racikan di tangannya dengan dibalut kain. Kemudian ditempelkannya obat tersebut diatas kuku jempol kakiku. Aku pun menjerit menahan panas.

"Aaaaaaaaaa. Aaaaaaa dan air mataku tak terbendung lagi.

"Tahan". Seru suamiku. Sebentar ayah balut dulu dengan kain.

"Itu apa yang ayah balutkan di kakiku?" Tanyaku penasaran.

"Itu parutan jahe panas, biar tidak hihileudeun" terangnya.

"Hah" Rupanya kuku kaki jempolku membiru terkena jatuhan gelas dari atas wastafel tadi pagi.

Serang, 9 Januari 2021