Agus Bandriyati

Guru SD yang tidak punya hobby. Mengawali pekerjaannya sebagai guru SMU, lanjut turun jenjang mengajar di SMP dan " naksir berat" di SD hingga belasan tah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Biarkan Ayah Sakit Hati!
Sumber foto: Blogimsusanti

Biarkan Ayah Sakit Hati!

(Tantangan hari ke-4)

#TantanganGurusiana

Ujian nasional sudah diambang waktu. Setiap siswa semakin mantap mempersiapkan diri guna meraih hasil yang terbaik. Fotocopy, pinjam catatan, browsing, dan bongkar-bongkar soal menjadi rutinitas tambahan saat jam istirahat. Nyaris tak ada satu siswa pun dari kelas XII yang menghabiskan waktu istirahat di kantin.

Tiga hari lagi ujian nasional akan segera dilaksanakan serentak. Saat sedang sibuk di ruang guru untuk persiapan untuk ujian national. Tetiba, Bu Resta selaku wali kelas XII masuk ke dalam ruangan dengan wajah yang menyimpan kekesalan.

"Kenapa, bu? wajahnya agak lecek, mari di gosok dulu biar glowing" canda saya.

"Hadeuh.......siswa kok bisa-bisanya bikin jantung gurunya ga stabil aja" balasnya.

"Wah, ada kejutan apa lagi nih, bu?" tanya ku

"Itu, Irman baru saja menghadap saya, dia bilang tidak mau ikut ujian negara" jawabnya.

Kami pun yang mendengar informasinya ikut terkejut.

"Kok bisa, bu? Apa alasan Irman bisa memutuskan sesuatu yang akan menunjang cita-cita dan masa depannya?" Tanyaku penasaran.

"Dia tidak mau menjelaskan, kita semua tahu kan, bagaimana ngeyel dan sesukanya Irman menyikapi pendidikannya, begitu juga orang tuanya" jawab Bu Resta.

Semua hanya bisa menghela nafas dan Bu Resta pun memasuki ruangan kepala sekolah.

Irman, salah satu siswa yang cenderung anarkis, brutal dan bersikap semaunya, siapapun yang menentangnya akan dilawan. Tapi satu hal yang membuat saya kagum pada siswa ini, sikapnya masih hormat terhadap guru.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di sekolah ini, sempat ingin langsung mundur melihat gelagat yang kurang nyaman, tapi dengan motivasi dari rekan sejawat akhirnya nekad memberanikan diri menjadi guru SMU.

Siswa yang pertama kali melontarkan kata-kata yang kurang nyaman adalah Irman, saat permulaan mengajar.

"Oh......, bu gurunya semampai nih!" Ucapnya dari kursi duduknya. Memang dari segi usia, usia saya dan mereka sebagai siswa hanya terpaut hitungan jari tangan kanan.

"Bu, masih kuliah atau sudah selesai?" Tanya Irman saat jam pelajaran hampir selesai

"Sudah selesai, sudah sarjana, layak mengajar, ada pertanyaan lagi?" Jawab saya dengan suara datar.

"Wussss....! Kecil-kecil galak juga nih guru!" ucapnya sambil tertawa kecil dan berjalan menuju kantin.

Waktu pun berlalu, hingga tahun ketiga, Irman banyak bercerita tentang diri dan keluarganya, Anak yang harus mencukupi kebutuhannya sendiri dengan alasan ingin mandiri dan tidak mau menyusahkan orang tuanya. Tapi ternyata belum semua hal saya ketahui tentang Irman termasuk alasannya tidak ingin mengikuti ujian nasional.

Tak lama berselang, Bu Resta keluar dari ruangan kepala sekolah. "Bu Dian, diminta menghadap kepala sekolah sekarang, saya duluan ke ruangan ya" ucap Bu Resta sambil berlalu menuju ruangannya.

Saya pun bergegas menuju ruangan kepala sekolah.

"Maaf, pak! Bapak memanggil saya?" Tanya saya di depan pintu ruang kepala sekolah

" Oh, iya, bu, mari masuk, silahkan duduk" ucap beliau sambil mempersilahkan duduk

"Jadi begini, bu, sebentar lagi siswa-siswi kita akan menghadapi ujian nasional, tapi ternyata ada satu siswa yang menolak untuk ikut ujian, kita semua sudah tahu siapa siswanya" jelas kepala sekolah.

"Iya, pak, semoga hatinya bisa merubah pendiriannya" ucapku

" Itu harapan kita semua, bu, tapi sepertinya kita perlu memberikan motivasi juga, saya lihat dari sekian guru, hanya Bu Dian yang masih mau di dengarkan oleh Irman, saya minta Bu Dian untuk berkomunikasi dengan Irman" pinta beliau.

"Baik, pak, saya akan coba, semoga Irman bisa merubah pendiriannya" ucap saya sambil mohon pamit.

***

Pagi-pagi sekali saya sudah menunggu Irman di ruang bimbingan. Saya sudah pesan pada Bu Resta, jika Irman hadir agar segera menuju ruangan bimbingan.

"Assalamu'alaykum....! Pagi, bu...!" Terdengar ucapan salam dan ketukan pintu.

"Wa'alaykumussalam....., pagi....boy! Come in, please!" Jawab saya sambil mempersilahkan Irman masuk.

Irman pun masuk dan hanya mematung di depan meja saya.

"Loh, kok bengong, berdiri pula, kamu sudah tinggi, ga perlu berdiri" ucapku

"Ibu belum suruh saya duduk, ga sopan dong kalau saya langsung duduk" jawabnya.

"Oke! Sit_down, please, Irman" Ucap saya

Irman pun duduk dihadapan saya dan belum sempat saya lontarkan pertanyaan, Irman sudah menjawab dan menduga.

"Ibu panggil saya karena kasus kemarin ya? Ga usah repot bu, ngurusin saya, orang tua saya aja cuek, ga peduli, asik dengan kesenangannya sendiri, trus ibu yang orang lain kenapa sok peduli sama saya?" Ucap Irman dan nadanya mulai emosi.

Saatnya saya harus super sabar dan sok bijaksana, diam menatap dan mendengarkan semua keluhan Irman.

"Selama ini saya banyak cerita ke ibu, karena ibu bisa menyimpan semua cerita saya, tapi untuk saat ini, ibu tidak bisa memaksa saya untuk ikut ujian nasional, saya tidak butuh lulus, saya tidak butuh nilai ujian, saya juga tidak bangga bersekolah!" imbuhnya dengan nada yang semakin emosi. Saya biarkan Irman terus bercerita agar semua luapan emosinya yang selama ini tersimpan dapat di keluarkan.

"Pokoknya saya tidak mau ikut ujian, siapapun yang meminta, saya tidak butuh ijazah!" Ucapnya lagi lantas terdiam sambil menunduk

Saya tunggu beberapa menit, hanya hening hingga saya beranikan melanjutkan percakapan.

"Ibu boleh bicara ya? Kita sharing aja" pinta saya untuk menenangkan emosinya yang sedang memuncak.

Irman pun mengangguk meskipun masih tetap tertunduk. Mungkin dia sedang coba menenangkan dirinya.

"Ibu hanya bantu kamu rewind pendidikan mu, untuk masa depan mu. Kamu sudah tiga tahun sekolah, tiga tahun mengisi waktu, berangkat pagi pulang menjelang senja, sekarang saat akhir dari perjuangan mu, kamu lari dari medan perang yang tinggal selangkah lagi kamu akan jadi pemenang" ucap saya pelan.

Irman pun mengangkat kepalanya dan menatap saya, "Bu, saya tidak mau ikut ujian!" Ucapnya dengan nada mulai datar

"Ok, tapi kamu harus punya alasan, karena sekolah pun harus mengisi berita acara sesuai keadaan yang sebenarnya" ucap ku meminta pengertian Irman

"Bu, saya tetap tidak ingin ikut ujian, saya ingin Ayah saya sakit hati jika saya tidak ujian nasional" jawabnya yang membuat ku terkejut.

"What? Kamu tidak mau ikut ujian hanya ingin membuat ayahmu sakit hati? hey.....! Kamu tahu kan, anak yang bersikap seperti itu dikategorikan anak yang durhaka!" Jawab saya panjang lebar

"Dan kamu tahu hukuman di akhirat apa?" Tanya saya

"Saya tahu, bu, mungkin saya akan dianggap anak durhaka, tapi saya mau ayah saya sakit hati, seperti saya sakit hati karena perbuatan Ayah saya!" Jawabnya sambil menahan air matanya.

"Apa yang sudah Ayahmu lakukan hingga kamu jadi dendam begini?" Tanya saya

"Saat tanah kuburan ibu saya masih basah, Ayah ternyata sudah membawa wanita lain ke rumah, saat itu saya kelas V SD, tapi saya ingat semua peristiwa itu, saya dan adik saya akhirnya tinggal dengan nenek karena Ayah mengabaikan kami, saya masih ingat peristiwa itu, bu, saya sakit hati, sekarang saya ingin Ayah merasakan sakit hati yang sama!" Jawab Irman sambil tertunduk menahan isak tangisnya.

Saya pun menarik nafas panjang, ternyata selama ini Irman meyimpan dendam yang tidak pernah tuntas pada orang yang seharusnya sangat dia hormati.

"Baiklah, ibu pun tidak bisa memaksa Irman, jika menurut Irman itu dapat melegakan hati mu, tapi coba dipikirkan kembali, jangan karena dendam, masa depanmu hancur!" Ucap saya sambil mempersilahkan Irman keluar ruangan menuju kelasnya.

***

Saat jam pelajaran usai, kepala sekolah memanggil saya dan Bu Resta selaku guru kelas Irman, menanyakan perkembangan selanjutnya. Saya pun menjelaskan dan Irman tetap pada pendiriannya. Bu Resta pun sudah menemui Ayah Irman, tapi seperti yang Irman ungkapkan, Ayahnya sudah lepas tangan mengurus Irman.

Tiga puluh menit lagi ujian negara segera di mulai, tapi sampai bel pertanda ujian akan dimulai, Irman belum juga hadir. Hingga hari terakhir ujian, Irman tidak pernah lagi hadir di sekolah, entah berada di mana sekarang anak remaja yang sedang berproses menuju dewasa tersebut. Pihak sekolah sudah berupaya menghubungi semua keluarga dan kawan dekatnya, tapi tidak ada satu orang pun yang bisa memberi pencerahan.

Semoga tidak ada lagi Irman-Irman yang lain, karena pengalaman di masa kecilnya yang terekam sangat tajam hingga menghanguskan semua masa depan dan cita-citanya.

***

Jak-Tim, 18012020

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sedih bacanya Bu.....pelajaran juga buat kita sebagai orang tua. Terimakasih Bu sudah berbagi kisah

18 Jan
Balas

Iya, bun...., inspirasi dari kisah nyata saat ngajar SMU, kecewa dan luka yg berkelanjutan hingga memunculkan dendam yang tak usai. Salam kenal, bun...

18 Jan



search

New Post