sri indriyana

Sebagai guru sekolah dasar di sebuah desa pedalaman di pulau madura dengan kota ujung timur,tidak menghentikan kesukaan menulis semua hasrat yang tersirat dalam...

Selengkapnya
Navigasi Web

MAMA, RE PULANG!

"Adek pulang ma!"

"Gak usah! mama gak papa kok!"

Suara mama terdengar lemah di telepon, aku tak percaya mama baik-baik saja. Aku harus pulang! Apapun alasannya harus!

Teman asrama melihat dengan tatapan penuh tanya saat aku memasukkan beberapa buku dalam ransel, semua untuk mengelabui tanya mereka nanti. Aku hanya ingin pastikan perempuanku baik-baik saja.

Ringgit menahan langkahku dengan panggilannya. "Kamu yakin baik-baik saja kan Re?" Tatap matanya menerobos lekat pada manik mataku yang berusaha menutupi gelisah. "Ya, aku baik-baik saja Git!". Aku tahu sahabatku ini tak percaya, tapi ku lihat dia membuka jalan untukku.

Dengan alasan ibuku sakit akhirnya aku dapat ijin pulang dari ibu ketua asrama, padahal biasanya seribu pertanyaan dan alibi harus disertakan setiap penghuni asrama minta ijin pulang. Mungkin karena mengenalku sebagai anak yang tak pernah sekalipun bermasalah dengan kedisiplinan hingga aku bisa lolos dengan mudah.

Jam tangan menunjukkan waktu dua belas tengah hari, sudah sekitar satu jam menunggu angkutan kota di halte ini, udara panas membawa angin berdebu menerpa muka. Beruntung masih sempat ku pasang masker muka karena jika tidak, mungkin wajahku akan merah karena habis ku garuk akibat alergi debu.

Sebuah mobil minibus biru bergerak melambat lalu berhenti di depanku. Segera ku melangkah masuk diikuti seorang ibu yang turut menunggu di halte. Teriakan kenek melajukan mobil ini ke arah terminal bus.

Perjalanan seperti bebas hambatan, kasihan juga jika penumpang hanya berisi empat orang termasuk diriku. Mungkin setoran mereka akan sedikit hari ini, tapi sekilas saja empatiku menyapa karena hati kembali gelisah memikirkan mama.

Tak membuang waktu segera ku mencari bus jurusan kota Sumenep pada deretan bus yang berjejer di ujung terminal. Beruntung bus yang ku pilih segera berangkat.

Aku tak bisa menikmati perjalanan seperti biasa dalam keadaan hati gelisah. Suara seniman jalanan justru membuat jiwaku semakin gerah. Seorang penjaja makanan mencebik melihatku cuek pada makanan yang mereka tawarkan. Cukup!! Yang ku mau hanya diam menikmati gelisah ini pada perjalanan tiga jam ke depan.

Mungkin mata tak bisa seirama dengan hatiku yang gundah. Karena lelah akhirnya mata inipun menyerah, aku tak bisa menahan kantuk dan akhirnya terlelap.

Sentuhan abang kondektur membuatku terjaga. Oh! ternyata sudah hampir tiba. Laju bus memelan dan kemudian bus berhenti. Aku segera melompat turun.

Ku sentuh gawai memberikan info pada jasa ojek online. Secepat sentuhan itu pula aku sudah berada dalam perjalanan menuju rumah.

Rumah berbentuk joglo dengan modifikasi pada bagian teras terlihat sepi. Salam yang kuucapkan tak juga bersambut. Aku langsung mencari mama ke kamar.

Perempuan itu berbaring dan sedikit terkejut begitu aku menyentuh tangannya.

"Duh kamu pulang nak?" Suara mama terdengar tenang walau seperti di paksakan. Perempuan itu memaksa duduk.

"Sudahlah, mama berbaring saja!" Aku menggeser bantal ke belakang kepala hingga mama bisa bersandar dengan nyaman.

"Kemarin aku sudah ke dokter, katanya mama kecapekan saja, cuma demam dan agak sesak "

"Sudah di swab ma? Untuk jaga-jaga saja, kan mama jualan soto di pasar, bertemu banyak orang"

"Untuk apa di swab, nanti hasilnya pasti korona, trus mama di sekap gak boleh ketemu siapapun, nggak ah!"

"Ya belum tentu ma, kalau hasilnya negatif pasti disuruh pulang!"

"Kamu tahu, Si Atun itu kemarin meninggal, katanya korona, trus di bawa ambulan gak boleh di makamkan disini, gak ada keluarga yang urus jenazahnya, ngeri aku dek!" Mama menggeser kain panjang yang tersingkap.

"Lho, Yu Atun meninggal? Kok mama gak bilang?"

Yu Atun adalah tetangga, rumahnya dekat rumpun bambu di seberang jalan menuju rumah. Kerjanya serabutan, membantu apapun yang tetangga butuhkan. Biasanya ia membantu mama mengambil daging ayam untuk bahan soto di rumah Lik Umar. Saat petang ia mengantarnya ke rumah.

" Besok, mama harus di swab!"

"Apapun yang terjadi mama tidak akan pernah mau dek!" Suara mama meninggi.

"Belum ada koronapun orang-orang juga banyak yang mati!" Mama menambahkan dengan nada tak suka.

Aku tahu mama, dia teramat keras hati, sekali tidak sangat sulit untuk berubah. Sejak ayah meninggal mama berubah menjadi strong woman. Ia sangat mandiri hingga bisa menyekolahkan aku di universitas ternama. Walaupun biaya terbantukan dengan beasiswa yang ku dapat.

Hari ke tiga mama hilang penciuman, sungguh aku sangat khawatir. Mama berusaha kuat di depanku. Ku hanya bisa memaksa mama makan yang banyak dan minum vitamin. Setiap pagi ia kuminta berjemur di depan kamar.

Mama yakin ini hanya masuk angin biasa, padahal aku curiga kalau mama terpapar virus korona. Semua ciri-cirinya mama alami.

Namun semangat mama untuk sembuh sangat hebat, ia yakin bahwa ia hanya masuk angin biasa. Dua jempol buat mama.

Hari berikutnya mama mulai beraktifitas lagi setelah hampir setengah bulan istirahat, walaupun masih agak lemah tapi mama sudah mulai memasak soto untuk berjualan besok.

Ku hampiri mama yang sedang menumis daun bawang.

"Ma, besok adek mo balik ke kampus, mama yakin sudah mau jualan?" Aku duduk di dengklek sambil menyeruput teh jahe milik mama.

"Jangan besok dek, nunggu sehari atau dua hari lagi!" Pinta mama sambil membuat biting dari lidi untuk menyemat lontong. Sesekali ia batuk.

"Tapi adek janji balik besok ke ibu asrama".

"Kan bisa di telepon dek, minta dispensasi, bilang saja kalo kamu kurang sehat!" Desak mama, padahal aku cuma merasa sedikit meriang dan masih cukup sehat untuk kembali ke asrama.

Malam hari tubuhku teramat dingin, ku tarik selimut menutupi kepala. Tubuhku menggigil hebat dan napaskupun terasa sesak, hingga ...

Mungkin aku terlalu lama tidur, tubuhku terasa ringan. Alhamdulillah aku sudah sembuh. Tapi kenapa rumahku terdengar ramai?

Ruang tamu tampak beberapa petugas berAPD lengkap, dimana mama?

"Hei! Lepaskan mamaku!" Ku tarik salah seorang petugas yang memegangi mama. Aku terjungkal!

Sementara mama meronta ingin menghambur ke arah sesosok tubuh yang di keluarkan dari kamarku. Para tetangga hanya melihat dari dalam rumah tiada yang berani mendekat. Dimana hati nurani mereka? Mengapa tidak ada yang mau menolong dan mendengarkan seruanku?

Ku pandangi tubuh tertutup pengaman itu, samar-samar ku lihat gelang dengan liontin berinisial R. Bukankah itu gelang pemberian ayah untukku?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post