Eko Imam Suryanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
GURU KEREN ADALAH GURU YANG  MENULIS

GURU KEREN ADALAH GURU YANG MENULIS

Ketika seorang anak sedang belajar mengeja, maka yang sedang dilakukannya bukan sekedar belajar membaca, melainkan juga sedang membangun sebuah fondasi peradaban. Dari belajar mengeja, suatu saat anak itu akan memiliki keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca dan menulis akan mengantarkannya memiliki kemampuan dalam berkomunikasi, memecahkan masalah dan menciptakan karya. Semua hal tersebut berkaitan dengan budaya literasi.

Secara sederhana, literasi didefinisikan sebagai keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis. Terlepas dari berbagai konsep fungsionalnya, inti dari literasi adalah seseorang terbebas dari buta huruf. Individu memiliki kemampuan (ability) dan kemauan (will) membaca dan menulis. Jika mengutip dari Guru Digital, Literasi secara umum diketahui sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dari dua pengertian diatas maka, literasi punya cakupan yang sangat luas dalam pengertiannya. Literasi juga bukan bakat. Ia adalah keterampilan yang perlu dilatih sebagai modal untuk menjalani hidup yang lebih baik.

Jika diukur dari segi kemampuan (ability), keterampilan membaca dan menulis masyarakat Indonesia cukup tinggi, meskipun masih terdapat angka buta huruf yang perlu diperhatikan. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), angka tingkat buta huruf nasional (secara akumulatif) pada tahun 2020 adalah 1,78 persen. Namun jika diukur dari segi kemauan (will), misalnya akses ke perpustakaan, baik secara online maupun offline, minat baca masyarakat Indonesia berada pada posisi sedang. Berdasarkan Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2020 diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia masuk dalam poin 55,74 persen atau berada dalam kategori sedang. Jika dikaitkan dengan kemauan (will) dalam mengakses ke perpustakaan tentunya kemampuan membaca dan menulis mempunyai keterkaitan. Biasanya orang yang mempunyai kemauan mengakses perpustakaan cenderung kebiasaan membacanya (reading habit) nya pasti lebih baik.

Lalu bagaimana dengan kemampuan Literasi khusus para pelajar di sekolah ? Pertanyaan ini cukup menggelitik, sebab sekolahlah yang sebetulnya berperan sangat penting bagi peningkatan kemampuan literasi.

Dikutip dari pikiran-rakyat.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut tingkat kemampuan literasi siswa Indonesia berada di kisaran 61%. Hasil Survey yang dilakukan di Bulan Juli 2020 tersebut diklaim cukup bagus dan menjadi penanda bahwa minat membaca siswa Indonesia juga meningkat. Angka 61% itu muncul dari hasil penelitian terhadap 6.500 siswa kelas 10 yang tersebar di 34 provinsi. Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud, Dadang Sunendar mengatakan bahwa penelitian tersebut melibatkan 68 peneliti yang mengambil sampel dari total 298 sekolah perwakilan seluruh provinsi. Menurut Pak Dadang penelitian yang dilakukan Kemendikbud lebih komperehensif dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assessment (PISA). Pasalnya PISA hanya mengambil sampel dari sekolah di 2 kabupaten, tidak mewakili seluruh provinsi di Indonesia.

Jika merujuk dari data dari Kementerian diatas, kita patut lega karena menunjukkan perbaikan dan peningkatan kemampuan tingkat kemmapuan Literasi siswa. Tetapi, timbul pertanyaan lagi, bagaimana jika dibandingkan dengan Negara lain?

Sebelum kita menjawab pertanyaan diatas, mari kita lihat standar Membaca yang dibuat oleh UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuwan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa). Menurut Badan ini bahwa Indeks Kegemaran Membaca yang baik adalah tiga buku baru setiap tahun per orang’. Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, China, rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang. Artinya, walaupun data yang disajikan Kemendikbud cukup melegakan, tetapi jika dibandingkan dengan negara negara maju di Asia Timut, kita masih sangat ketinggalan. Tentunya ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan kita semua, pegiat Literasi untuk mencari cara meningkatkan Indeks Kegemaran Membaca Siswa.

Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Tahun 2019 merilis data yang menyebutkan hanya sekmitar 13,02 % penduduk usia lima tahun keatas yang datang ke perpustakaan . Bahkan dominasi bacaan mereka ketika mengunjungi perpustakaan adalah buku pelajaran (80,23%) selain kitab suci (73,65%). Dari data ini dapat disimpulkan disamping perlunya ditingkatkan kunjungan perpustakaan , kurangnnya ragam bahan bacaan yang dibaca siswa juga berdampak pada rendahnya aktivitas literasi membaca secara nasional. Selain itu, kurang beragamnya bahan bacaan memberikan gambaran bahwa rasio jumlah buku juga sangat kecil. Data dari PISA (Programme fo International Student Assesment) tahun 2019 menunjukan total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.

Merujuk dari data diatas, maka untuk meningkatkan keragaman bahan bacaan yang bermuara meningkatkan indeks kegemaran membaca, maka salah satu cara adalah mendorong kegemaran untuk menulis.Menulis dengan berbagai ragam genre dan berbagai jenis bidang. Kegiatan ini bisa diawali dengan mendorong kegiatan menulis dari sekolah. Baik itu Guru, Siswa maupun seluruh stake holder yang ada di sekolah. Lalu mengapa sekolah yang nota bene Lembaga Agen Perubahan dan Lembaga Pembangun Peradaban, Hasil Karya Tulisannya sangat minim? Ada beberapa Faktor Penyebabnya :

1. Guru dan Siswa mungkin reading habitnya rendah. Karena apapun ceritanya menulis adalah pekerjaan intelektual yang membutuhkan bahan adan asupan gizi otak yang hanya dipenuhi dengan banyaknya referensi dan bahan bacaan

2. Kurang keberanian dalam menulis, takut jelek, takut salah, tidak pede dan lain sebagainya

3. Kurangnya dorongan dari pihak pimpinan sekolah untuk membuat program program yang berhubungan dengan Literasi khususnya tentang menulis.

4. Masih banyak anggapan bahwa ketrampilan menulis tidak bisa dijadikan Profesi yang menghasilkan uang.

5. Menulis bagi Guru dianggap beban karena sudah terlalu banyak tugas.

Dari beberapa permasalahan diatas, Sekolah dengan dipimpin oleh Kepala Sekolah bisa membuat Program dan Apresiasi bagi tulisan tulisan warga sekolah. Contohnya : Program SEJAKIM (Sejenak Membaca dan Menulis), Choching Penulisan, Group WA menulis, Resensi Buku Mingguan, Apresiasi Tulisan Mingguan. Lomba Menulis Hari Hari Guru di Media Sosial

dan lain sebagainya. Dari contoh kegiatan sedrehana ini, minimal ada karya karya tulis yang bisa dihasilkan pihak sekolah untuk menambah keragaman bahan bacaan di sekolah. Dan pasti kalau sekolah bisa membukukan karya karya di sekolah, pastinya Sekolah itu akan menjadi Keren (meminjam istilah anak sekarang).

Program program tentang kepenulisan di sekolah, memang harus melibatkan seluruh stake holder, Tetapi yang paling utama adalah bagaimana Guru sebagai Motivator dan Dinamisator menjadi contoh bagi siswanya. Para Guru sebagai insan akademis dan dianggap banyak ilmu harus menulis untuk menunjukkan bahwa guru adalah insan intelektual dan contoh bagi siswa siswanya. Memang setiap orang mempunyai hobi dan kecerdasan masing-masing. Ada yang cerdas mengolah tubuh, ada yang cerdas mengolah kata, ada yang cerdas mengolah suara, dan masih banyak lagi. Namun, bagaimana jadinya jika semua kecerdasan itu tidak dituliskan? Terkait dengan hal itu, ada nasihat orang bijak : “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Menulis menjadi kegiatan aktualisasi diri dan semangat untuk mengabadikan diri . Sebagai mesin utama pembangun peradaban, guru pun harus menulis. Guru harus mengawetkan setiap pengetahuan sebagai warisan untuk generasi masa depan. Terkesan lucu jika bekerja sebagai mesin pencerdas bangsa, guru malah ogah untuk menulis dengan dalih tidak berbakat menulis. Walaupun bukan pekerjaan utama,paling tidak sekali dalam setahun, guru harus mengabadikan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Berdasarkan fakta yang ada saat ini, banyak guru tak mau menulis. Jika pun menulis, sejauh pelacakan saya, tulisan tersebut lebih beraroma salin-tempel (copy-paste), yakni berupa PTK yang beredar di internet. Artinya, aktivitas menulis cenderung masih sebagai kewajiban dibandingkan dengan kemauan, apalagi pengabdian. Menulis belum menyatu dengan jiwa para guru sehingga dianggap sebagai beban. Padahal, menulis bukan beban, melainkan justru peringan beban.

Ada banyak penelitian yang membuktikan hal itu. Menurut Graves (dalam Akhadiah, dkk., 1988), setidaknya ada empat manfaat menulis yang dapat menunjang profesionalisme guru.

Pertama adalah menulis untuk mengasah kecerdasan. Tentu menjadi kewajiban guru untuk selalu mengasah kecerdasannya sebelum mencerdaskan anak didik. Apalagi, kemudian kecerdasan tak pernah menyentuh garis akhir sebagaimana pengetahuan selalu berkembang tiada henti. Artinya, berhenti mengasah kecerdasan sesungguhnya adalah berhenti mengajar.adalah menulis untuk Kedua adalah menulis mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Citra Sufiani Alamsyah (2016) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa inisiatif seorang guru sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan dan kreativitas siswa. Berkaitan dengan itu pula, kreativitas merupakan roda yang kuat untuk mengantarkan kita ke tujuan pendidikan. Bahkan, Costa Berthur menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kreatif merupakan sumber yang amat vital bagi suatu bangsa. Sungguh mengerikan membayangkan apabila sebuah negara miskin inisiatif, apalagi kreativitas! Jika guru sudah kreatif, setidaknya kesenjangan usia dan pencapaian siswa tidak akan terlalu lebar.

Ketiga adalah, menulis juga ternyata bermanfaat untuk menumbuhkan keberanian. Karena mengingat pentingnya keberanian itu, pemerintah lantas menstimulasinya melalui program Merdeka Belajar. Namun, jika mengutip Doni Koesoema, justru ada kecenderungan ketakutan dari guru untuk menerapkan Merdeka Belajar. Karena itu, menurut Doni lagi, guru perlu belajar untuk merdeka. Satu semangatnya adalah agar guru berani untuk tidak hanya menuntut haknya, tetapi juga berani untuk mencari cara lain dalam menunaikan kewajibannya. Menurut Buchari Alma, tanpa meningkatkan keberanian, mutu pendidikan itu tetap akan rendah, bahkan merosot.

Keempat, yaitu menulis dapat mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Pendidikan idealnya adalah pekerjaan ilmiah. Karena itu, seharusnya hasil belajar mesti lebih baik dari tahun ke tahun. Ibaratnya, siswa kita tahun ini adalah sampel bagi guru untuk memperbaiki bagaimana mendidik siswa pada tahun berikutnya. Dengan demikian, informasi terkait dengan siswa pada tahun ini mesti diamati dan direfleksi sebagai pijakan untuk melakukan pendekatan pembelajaran pada periode berikutnya. Bahkan, pada tahun yang sama, kita bisa membuat kelas lain sebagai kelas pembanding untuk sebuah kelas kontrol.

Akhitnya, dari tulisan ini kita mengajak para guru untuk berani menulis, berani menuangkan ide, berani berkarya dan menghasilkan karya, sehingga keberadaan kita sebagai guru tidak sia sia, sebagai mesin utama pencerdas bangsa dan pembangun peradaban masa depan. Dengan Menulis, kecerdasan kita terawatt. Dengan Menulis Kita akan meng Abadi. Dengan Menulis, Alam Semesta akan Mengenal Kita. Dan dengan menulis, kita menjadi Guru Keren yang dikagumi siswa.

Selamat Menulis!!!!!!! Salam Bahagia. Selamat Berkarya

#WongNdeso

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bapak yang keren menewen. Yang punya wawasan global. Salam sehat ya pak

06 Sep
Balas

Wkkkk

08 Sep

Wkkkk

08 Sep

Mantap ulasannya.

01 Sep
Balas

Makasih Ibu. Masih harus terus belajar

05 Sep

Makasih Ibu. Masih harus terus belajar

05 Sep

Mantap ulasannya sangat mencerahkan.

31 Aug
Balas

Makasih Bu Nanik . Saya masih perlu belajar banyak

05 Sep
Balas



search

New Post