Husain Yatmono

Husain Yatmono fb:husain.yatmono email: [email protected] Blog: http://menulisdimedia.blogspot.com http://duniapendidikanchannel.blogspot.com ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pilkada Ilusi Demokrasi

Pilkada Ilusi Demokrasi

Penulis: Husain Yatmono –

(Pemerhati Sosial dan Politik)

https://www.visimuslim.net/2017/02/pilkada-ilusi-demokrasi.html

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentk di seluruh Indonesia telah selesai dilaksanakan tanggal 15 Februari yang lalu. Beberapa hasil hitung cepat (quick count), telah menunjukkan pasangan yang meraih hasil suara maksimal. Secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil rekapitulasi suara pada tangal 16-27 Pebruari 2017, sebagaimana dilansir dalam websitnya http: www.kpujakarta.go.id.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) RI Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Pilkada, bahwa hasil suara pasangan calon Kepala Daerah harus memperoleh suara lebih dari 50 persen untuk menjadi pemenang. Ini artinya untuk menjadi pemenang, calon harus memperoleh suara lebih dari 50 persen plus 1 suara. Bagi sejumlah daerah yang tidak memenuhi standar 50 persen lebih, maka akan digelar pemilihan umum putaran kedua untuk menentukan siapa yang menang.

Tentu saja dana yang dihabiskan untuk menggelar Pilkada putaran kedua ini, tidak sedikit. Ini adalah pemborosan anggaran, yang akan membenani APBD/APBN yang merugikan rakyat. Di tengah-tengah kemiskinan yang ada di kota Jakarta, Ibu Kota Negara, dan daerah-daerah lainnya, dana milyaran rupiah dibahiskan untuk sebuah pergolakan akbar perebutan kekuasaan.

Apakah pesta Pilkada yang menghabiskan anggaran trilyunan rupiah, akan membawa manfaat buat rakyat? Jauh panggang dari api. Coba perhatikan, di Jakarta saja, berapa banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan? Berapa banyak orang yang tinggal di Jakarta tidak memiliki rumah? Berapa banyak penduduk Jakarta yang tidak bisa bekerja karena tidak memiliki modal usaha? Berapa banyak anak jalanan yang mengantungkan hidupnya dari hasil kerja di jalan?

Apakah kondisi ini hanya terjadi di Jakarta saja? Tentu saja tidak, di semua propinsi dan kabupaten di Indonesia kondisinya tidak jauh berbeda. Hidup sejahtera masih menjadi barang langka di negeri yang gemah lipah loh jinawi ini. Begitu mudahnya kita menemukan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Pengganguran yang terus bertambah seiring dengan jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi setiap tahun. Apakah kehadiran Kepala Daerah hasil Pilkada tersebut, yang dipilih dengan menghabiskan dana trilyunan rupiah mampu memperbaiki kondisi ini?. Bagaimana pula dengan para petani, profesi lain, apakah mereka juga terlayani oleh Kepala Daerah hasil Pilkada? Sudah berapa kali Pilkada di gelar, dan kita bisa menyaksikan bagaimana hasil kinerja Kepala Daerah tersebut. Padahal mereka memperoleh suara terbanyak dari penduduk suatu daerah.

Mengharapkan Kesejahteraan pada Sistem Demokrasi sebuah IlusiKepala Daerah hasil Pilkada, program mereka bukan untuk melayani rakyatnya, tetapi lebih banyak untuk melayani para investor atau pengusaha. Karena dalam pandangan mereka, pengusahalah yang mampu menggerakkan ekonomi di daerahnya. Maka Kepala Daerah berlomba-lomba mengundang para investor menanamkan modalnya di daerah mereka. Berbagai kebijakan untuk memudahkan masuknya investor dibuat, bahkan jika ada yang menghambat akan dicabut. Karpet merah telah terhampar untuk menerima para investor baik dalam negeri (PMDA) maupun investor asing (PMA). Tak jarang calon Kepala Daerah berkolaborasi dengan para pengusaha untuk menyediakan biaya politik mereka. Hasil akhirnya sudah tentu barter proyek.

Padahal sejatinya ini adalah sebuah kejahatan dan pencurian kekayaan alam yang dilegalkan oleh penguasa. Bahkan negara tertentu dalam investasinya, mensyaratkan all in one, artinya semua bahan baku dan tenaga kerja mulai level top manajemen hingga kuli untuk pelaksanaan investasi tersebut, harus berasal dari negara mereka. Bukankah ini namanya negara koloni atau tidak mau disebut dengan negara jajahan.

Tingginya biaya hidup yang harus ditanggung rakyat terjadi di semua daerah. Mereka merasakan biaya pendidikan mahal, kesehatan mahal. Bahkan muncul anekdot orang miskin nggak boleh sakit dan sekolah. Pelayanan umum yang mestinya menjadi kewajiban negara untuk menyediakan bagi rakyatnya, justru kini berubah menjadi lahan bisnis. Dengan jumlah rakyat yang berjibun, menjadi sumber penerimaan negara untuk “membiaya pembangunan”. Lalu kemana hasil kekayaan alam negara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke?

Kalau kita perhatikan, sebagian besar pengelolaan sumber daya alam kita, diserahkan kepada swasta asing dan aseng, negara hanya puas mendapatkan bagi hasil dan pajaknya. Itupun belum lagi jika mereka ngemplang pajak (tidak mau bayar pajak) sebagaimana Freeport. Inilah kesalahan dalam menggurus negara, kesalahan dalam memandang kehadiran investasi swasta (asing/aseng/dalam negeri) sebagai dewa penolong yang akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Sehingga mereka harus diberikan pelayanan khusus, untuk menjadi penggelola kekayaan alam yang ada di daerahnya. Mempermudah ijin yang dibutuhkan, membantu kebutuhan mereka. Seolah mereka mengatakan “Silakan pilih mana yang anda inginkan, kami akan berikan”.

Dalam terori kapitalisme, dikenal dengan teori tripple down effect (efek menetes ke bawah), kehadiran investasi swasta/asing di sebuah daerah akan bisa menggangkat pertumbuhan di sektor lain, termasuk lapangan kerja, kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi dan lain-lain.Fakta di lapangan berbicara lain, semakin banyak investasi swasta/asing yang masuk ke suatu daerah semakin tersingkirkan masyarakat sekitar. Penyerapan tenaga kerja yang diharapkan dari kehadiran PMA ternyata sangat kecil, kalaupun ada mereka sebagai tenaga kerja level bawah, tidak ada transfer keahlian dari kehadiran PMA tersebut kepada tenaga kerja lokal. Tak ubahnya mereka sebagai kuli yang harus rela bekerja untuk menggambil kekayaannya yang dengan ikhlas diserahkan kepada majikan. Sungguh ini suatu penghinaan dan merendahkan kemampuan sumber daya tenaga kerja lokal.

Kepala Daerah harus berdiri di garda terdepan menjalankan program unggulan daerahnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kepala Daerah bukan berperan sebagai mandor atau bos yang hanya menerima laporan saja. Tetapi harus terjun langsung di lapangan memastikan proyek berjalan dengan tepat, bermanfaat bagi rakyat. Jikalau Kepala Daerah harus memanfaatkan jasa swasta, baik asing maupun dalam negeri, maka sebatas kontrak kerja. Artinya ketika proyek tersebut selesai dikerjakan mereka (investor) tidak memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang ada.

Sumber daya alam tersebut sepenuhnya dikelola Kepala Daerah dengan melibatkan rakyatnya, sehingga memiliki rasa memiliki karena mereka juga bisa menikmati hasilnya.

Pemilihan Kepala Daerah yang menghabiskan dana triyunan rupiah tapi tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat harus dievaluasi total. Harus diganti sistem pemilihan yang biaya murah dan menghasilkan Kepala Daerah yang kredibel, mampu bekerja dan berjuang untuk melayani rakyat demi kesejahteraan mereka.

Jika proses Pilkada masih terus berlangsung seperti sekarang, jangan berharap kesejahteraan bagi rakyat akan datang. Kepala Daerah hanya berfungsi sebagai manajer, yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swastas jelas akan memberikan manfaat bagi penguasa dan investor. Makanya tak heran jika kebijakan yang dibuat Kepala Daerah dalam rangka menarik investor. Kasus suap menyuap yang dialami oleh banyak Kepala Daerah yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka transaksi proyek, baik sebelum maupun sesudah mereka berkuasa. Tidak ada makan siang gratis tentunya, uang yang telah pengusaha keluarkan dianggap sebagai bagian dari investasi mereka, sebagai imbalannya proyek-proyek yang ada menjadi milik para pengusaha. Masihkah anda percaya pada sistem demokrasi yang berbiaya mahal, tidak memberikan manfaat yang berarti bagi rakyat.

Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan petunjuk dalam memilih pemimpin sehingga dihasilkan pemimpin yang bertakwa, amanah, memiliki kemampuan, laki-laki, dan muslim. Seorang non muslim / kafir, tidak akan diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Bagaimana mungkin seorang akfir akan menjadi pemimpin, sementara dia tidak percaya, tidak paham hukum Allah? Padahal tugas seorang pemimpin adalah untuk melaksanakan hukum-hukum Allah. Hanya dalam sistem demokrasi, seorang kafir/non muslim bisa menjadi pemimpin. Sudah saatnya beralih ke sistem Islam, biaya murah pasti memberikan kebahagiaan dunia dan akherat. [VM]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post