Ibnu Rusdi Handono

Lahir di desa Pajaran, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, pada tanggal 25 Juli 1969. Lulus SDN Genengwaru Rembang th 1981, SMPN 1 Gondang Wetan P...

Selengkapnya
Navigasi Web

Berpikir Besar (Visi Lebih Penting daripada Pengetahuan -Albert Einstein)

Suatu siang di sebuah taman kanak kanak. Ibu guru meminta anak-anak menggambar bebas. Ada yang menggambar pemandangan. Ada gunung dan sawah. Ada sungai dan pantai. Ada buah, sayuran, dan bunga. Ada hewan piaraan dan hewan liar. Ada yang menggambar suasana, bercerita tentang pengalaman berkesan. Dan beberapa gambar lain yang ‘biasa-biasa’ saja.

Seorang anak laki-laki di kelas itu berbeda dengan yang lain. Dia penuhi kertas gambarnya yang berukuran A3 dengan sapuan crayon hitam. Hanya hitam. Hitam seluruhnya, sepenuh bidang kertas itu. Kemudian, dia mengambil kertas berukuran sama dan lagi-lagi menyapunya dengan crayon hitam sepenuhnya. Gurunya tercenung. Belum sempat bertanya, bel pulang berbunyi. Bu guru meminta anak-anak untuk melanjutkan gambarnya di rumah dan mengumpulkan karya mereka mingggu depan.

Di rumah, anak nyeleneh ini meneruskan keanehannya. Berlembar-lembar kertas ukuran A3 dipenuhinya dengan sapuan warna hitam. Hingga ibunya harus berkali-kali membelikan kertas A3 dan satu set crayon. Dan ia hanya memakai crayon hitam. Hari-harinya dalam seminggu, setiap ada kesempatan dan waktu ia gunakan untuk menambah karya hitamnya. Tumpukan kertas karyanya membuat ayah dan ibunya cemas. Mereka mengontak sekolah dan akhirnya memutuskan untuk mendatangkan tim psikiater anak.

Para psikiater itu melakukan penelitian. Mereka mengamati perilaku dan kriya aneh si anak di laboratorium mereka. Pengamatan para ahli selama berjam-jam tak menghasilkan diagnosis dan analisis apapun. Sampai akhirnya si anak tersenyum dan berkata, “Aah..” Dia telah menyelesaikan sejumlah 400 gambar di atas kertas A3. Semuanya hitam. Dan ternyata, ada beberapa yang tak hitam seluruhnya.

Para psikiater itu menata ke-400 kertas itu dilantai, sesuai instruksi si anak. Ini ternyata puzzle. Ukurannya 20x20 kertas A3. Menakjubkan!! Ternyata hasilnya, gambar seekor anak paus bongkok tepat sesuai ukuran hewan aslinya!!!

Si anak terkekeh puas dan bangga. Para psikiater itu takjub dan geleng-geleng kepala. Anak ini berbeda, tak seperti anak yang lain. Ia ingin gambar karyanya sesuai ukuran hewan sebenarnya. Ia berpikir besar. Awalnya ia dianggap nyleneh dan bermasalah. Tapi akhirnya, semua orang mengapresiasi karya besarnya.

Begitulah resiko berpikir besar. Disalahpahami. Lalu, pada akhirnya dikagumi.

Berikut ini, sebuah cerita inspiratif yang dinukil dari 50 Bedtime Stories. Cerita tentang dua sahabat, di suatu pagi yang cerah si ulat dan si siput sedang menelusuri tembok taman.

“Dunia ini besar, ya enggak?” tanya si ulat sambil melihat sekeliling.

“Besar dan luas.” timpal si siput, pikirannya berkecamuk.

“Ini membuatku merasa begitu kecil.” Si ulat bergumam gelisah.

Si siput dengan bijak berkata, dengan nada menghibur: ”Aku tahu cara merubah ini semua.”

Kemudian ia mengajak sahabatnya untuk mengumpulkan benda-benda terkecil yang terdapat di sekitar mereka. Maka, dihadapan mereka terkumpullah beberapa benda yang lebih kecil daripada tubuh mereka sendiri.

“Lihat! Kamu tampak sangat besar, teman!” berseru si siput.

“Benar katamu. Yei.., kecil amat benda-benda ini,” si ulat terkekeh, “dan lihatalah betapa besar diriku!”

Dua fragmen cerita di atas berbeda latar belakang. Yang pertama adalah fakta empiris ilmiah. Yang kedua adalah fabel naratif. Namun, keduanya sama-sama bersifat inspiratif positif. Pada kasus pertama, awalnya ketika kita mengikuti suatu hal tanpa proses pengetahuan (kognisi) maka akan mengakibatkan salah persepsi, salah duga bahkan salah tindakan. Pada kasus kedua, bagaimana pengalaman, memori dan pengetahuan menjadi bekal (kapasitas) dalam menggalih (bahasa Jawa) berarti memikirkan dan mempertimbangkan dengan sangat mendalam. Hasilya adalah persepsi yang membangun.

Tempat proses dan hasil menggalih dalam bahasa AlQur’an disebut ‘fu-ad’ (bahasa arab) berarti ‘ruang berpikir’ atau ‘hati dan pikiran’ atau ‘manah’ (jawa) . Fu-ad jika dikaitkan dengan kekinian lekat dengan persepsi. Artinya, hasil olah pikir itu digunakan untuk memandang berbagai kenyataan yang sedang dihadapai. Jika ia mengembara ke masa depan, maka ia menggandeng visi. Sampai disini, tampaklah benang merah antara persepsi dan visi.

“Visi”, kata Albert Einstein,”jauh lebih penting daripada pengetahuan.” Mengapa? Pengetahuan bersifat lampau, sudah berlalu, dan terbatas. Sedangkan visi adalah masa depan yang tak terbatas. Visi lebih besar daripada sejarah, lebih besar daripada beban kita, lebih besar dari luka nestapa emosi masa lampau. Dengan visi, kita membangun sebuah gambaran ideal dalam perspektif jangka panjang. (Disadur dari Salim A. Fillah, dalam Jalan Cinta Para Pejuang)

Kau ciptakan malam - aku nyalakan pelita

Kau ciptakan lempung -kubentuk piala

Kau ciptakan belantara – kutata taman bunga

(Muhammad Iqbal, Payam-i-Mashriq)

Selanjutnya, jika kita kaitkan dengan kondisi ‘Indonesia’ kekinian. Visi kita ‘Indonesia apa’, apakah ‘habis gelap terbitlah terang’ (door duisternis licht) atau ‘dari kegelapan menuju cahaya’ (minadh-dhulumaati ilan nuur)? Bagaimana menurut anda?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Dari terang menuju cahaya.

13 May
Balas

Anda benar. Terima kasih.

15 May

Nunggu tulisan berikutnya

15 Aug
Balas

Apik..apik..apik. Semoga anda sekeluarga sehat dan senantiasa dalam ridhoNya

16 Aug



search

New Post