Icha Hariani Susanti

Icha adalah alumni Unesa yang sekarang menjadi guru bahasa Inggris di SMPN 4 Bojonegoro. Sebelumnya, selama belasan tahun dia pernah mrngabdi di SMPN 2 Kedungad...

Selengkapnya
Navigasi Web
RINDU IBU

RINDU IBU

Siang pukul 11.26 WIB. Saat ini sedang puncak musim kemarau. Tuban sedang panas-panasnya. Sengatan matahari yang sangat terik ditambah dengan hembusan angin laut musim kemarau semakin menambah gerah suasana. Aku menghempaskan tubuhku di atas spring bed di dalam kamarku. Lelah sekali aku hari ini setelah sepanjang pagi tadi aku menghadiri kegiatan parenting di sekolah anak-anakku. Kuraih remote AC dan segera kunyalakan AC. Wuss... tak lama kurasakan hembusan hawa dingin menerpa tubuhku. Sejenak aku pejamkan mata menikmati kesejukan serasa di surga.

Di luar kamar, di ruang tengah aku dengar suara anak-anakku sedang bermain bersama beberapa orang temannya, gaduh sekali. Aku biarkan saja mereka gaduh, asal tidak berantem. Sekali lagi kucoba memejamkan mata, berusaha tidur barang sejenak.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara penjual es puter. Ting...ting...ting... Semakin lama semakin jelas dan kian mendekat. Lalu tanpa kusadari muncullah bayangan itu.

***

Ting...ting...ting... Suara gerobak es puter terdengar mendekat. Seorang gadis kecil yang manis, berusia 7 tahunan, berlari-lari kecil ke arah ibunya.

"Bu, pak Di datang. Belikan es puter ya." rengek gadis kecil itu.

"Yaudah beli sana. Ambil uangnya di dompet ibu di atas meja." jawab ibunya.

"Beli 2 ya, Bu."

"Hlo banyak amat tho, Nduk?" tanya ibunya.

"Ya Bu. Aku mau dua, satu pake cumcum¹) dan satu pake roti. Makasih ya Bu..." belum sempat sang ibu menjawab, gadis kecil itu sudah lari membawa uang 100 rupiah. Tak lama dia kembali membawa dua macam es puter di tangan kanan dan kirinya.

***

Gadis kecil itu adalah aku. Mendengar ting ting suara gerobak pak Man, pikiranku jadi melayang-layang ke masa kanak-kanak. Setiap hari jam 12 siang aku selalu menunggu pak Di pejual es puter langgananku. Begitu aku dengar suara ting ting aku pun berlari menyambutnya. Dengan sabar ibu selalu penuhi kemauanku. Meski terkadang mauku suka berlebih. Tidak hanya satu kadang aku minta dua, dan ibu seperti biasa, tidak kuasa menolaknya. Mengingat itu semua, segala kebaikan dan kasih sayang ibu, mataku jadi berkaca- kaca. Air mata pun meleleh di pipiku. Sungguh aku sangat merindukan wanita itu. Wanita tangguh yang tak pernah mengeluh dan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat kami anak-anaknya.

Suara dering HP membuyarkan lamunanku. Dengan agak malas aku raih HPku dann kulihat siapa yang memanggil di siang bolong. Tertera tulisan Mbak Nur calling. Rupanya kakak perempuanku yang meneleponku. Segera aku tekan tombol OK.

"Halo..."

"Halo. Assalamu alaikum. Kamu sedang apa, Dik?" sapa kakakku dari seberang sana.

"Wa alaikum salam. Sedang santai beristirahat. Ada apa?"

"Hmm...kalau bisa kamu pulang sekarang juga. Ibu kritis." Hati-hati sekali kakakku berucap kabar. Tapi tetap saja kabar itu mengejutkanku. Bagai disambar petir di siang bolong.

"Hahh?? Kritis gimana maksudnya? Bukankah beberapa hari yang lalu ibu baik-baik saja ketika aku telepon?" bertubi-tubi aku berondong kakakku dengan pertanyaan. Sedikit tidak percaya.

"Ceritanya panjang. Nanti aja aku ceritakan. Sekarang kamu segera bersiap-siap aja. Bisa kan segera pulang hari ini juga?" kata mbak Nur.

"Insya Allah. Aku usahakan."

"Yaudah kalau gitu. Ndak usah gugup. Insya Allah ibu baik-baik saja. Hati-hati di jalan ya. Assalamu alaikum."

"Wa alaikum salam."

Aku tutup percakapan dengan perasaan tidak menentu. Segera aku telepon suamiku yang sedang dinas ke luar kota.

"Halo, assalamualaikum, Aa" sapaku sambil berusaha menahan isak tangis.

"Wa alaikumsalam. Ada apa Yank, kok suaranya terdengar aneh?"

"Ibu Mas...ibu..."

"Ada apa dengan ibu? Coba, ngomong yang jelas" tanya suamiku dengan sàbar.

"Ibu kritis Aa. Barusan mbak Nur meneleponku. Aku diminta segera pulang."

"Hahh? Kritis? Gimana ceritanya?"

"Entahlah A’. Mbak Nur belum sempat cerita banyak. Aku menelepon Aa untuk minta ijin. Kalau boleh aku berangkat ke Surabaya sekarang juga. Aku kawatir terjadi sesuatu pada ibu. Boleh kan Aa?" pintaku setengah memohon.

"Ya gapapa lah sayang. Malah Aa akan marah kalau kamu gak segera pulang. Tapi kamu berangkat sendiri aja ya. Anak-anak biar di rumah sama mbak Tun. Nanti sore Aa pulang. Besok pagi kami susul ke Surabaya.”

Aku pun segera bersiap-siap. Aku bawa beberapa helai baju dan perlengkapan lain. Tak lupa aku bawa alqur'an untuk menemaniku di perjalanan nanti. Sebelum berangkat aku memberi pesan mbak Tun, pembantu di rumah kami. Aku minta dia menjaga anak-anak dan menemani mereka hingga ayahnya datang nanti. Kepada anak-anakku aku katakan kalau aku ada sedikit urusan di luar rumah dan meminta mereka agar menurut pada mbak Tun. Sengaja aku tidak menceritakan apa yang sedang terjadi agar mereka tidak resah, terutama untuk menghindari si kecil agar tidak rewel.

Segera aku berangkat menuju terminal bis. Syukurlah, tak berapa lama menunggu, bis AKAP jurusan Semarang-Surabaya pun tiba. Bis agak lenggang hari ini. Aku segera mengambil tempat duduk. Sepanjang perjalanan aku tidak bisa membuang rasa gelisahku. Untungnya aku tadi membawa alqur'an kecilku. Aku baca ayat-ayat suciNya agar hatiku bisa lebih tenang.

Setiba di rumah ibu aku segera bergegas menuju kamar ibu. Aku cium tangan dan kening ibu sambil kubisikkan sebait kata-kata bahwa aku sudah ada di sini, di sisinya. Ibu hanya terbaring lemah tak berdaya. Matanya tertutup rapat. Begitu pula mulutnya, tak mampu berkata apa-apa. Hanya air mata yang aku lihat mengalir dari kedua ujung matanya. Sungguh aku tidak tega melihat keadaan ibu seperti ini. Air mataku mengalir tiada henti. Tidak tahan melihat kondisi ibu, aku pun bergegas keluar kamar. Aku temui mbak Nur dan menanyakan kronologis kejadiannya.

Menurut mbak Nur, malam sebelumnya ibu baik-baik saja. Tapi tiba-tiba menjelang subuh ibu drop. Sepanjang pagi ibu menanyakan aku. Aku memang satu-satunya anak perempuan ibu yang tinggal terpisah jauh di luar kota. Setelah sepanjang pagi menunggu kehadiranku ibu pun tak sadarkan diri. Akhirnya kami pun memanggil dokter langganan keluarga kami. Dokter menyarankan agar ibu dibawa ke rumah sakit. Ibu perlu mendapat perawatan lebih intensif. Tanpa berpikir lama, adik laki-lakiku segera menelepon ambulance. Setengah jam kemudian ambulance datang. Suara raungannya mengagetkan para tetangga. Mereka pun datang berbondong-bondong menanyakan apa yang sedang terjadi. Setelah sedikit berbasa-basi menjawab pertanyaan tetangga, -sembari menunggu para petugas medis menangani ibu- aku, kakak dan adikku segera meluncur ke rumah sakit bersama ambulance yang meraung-raung.

Setiba di rumah sakit, dokter jaga segera mengambil tindakan di ruang IRD. Sebelumnya, dokter menanyai adikku tentang kronologis kejadian serta riwayat penyakit ibu. Adikku menjelaskan pada dokter apa yang terjadi pada ibu. Ibu memang punya riwayat stroke. Dua tahun yang lalu stroke menyerang otak kirinya. Serangan stroke pertama sempat membuat ibu lumpuh selama beberapa bulan.Tapi setelah perawatan intensif, ibu berangsur-angsur sembuh dan bisa berjalan normal lagi meskipun dengan bantuan tongkat. Sejak saat itu kami lebih ekstra mengawasi kesehatan ibu dan berusaha semaksimal mungkin menjauhkan ibu dari berita-berita negatif yang bisa menambah beban pikiran beliau. Setelah mendengar penjelasan adikku, dokter segera masuk ke ruang IRD kembali untuk melakukan check up pada ibu. Kami bertiga menunggu di luar ruangan dengan penuh rasa cemas. Setelah lebih dari satu jam menunggu, dokter pun keluar ruangan.

"Keluarga ibu Sari..." terdengar suara dokter memanggil kami. Segera aku bergegas menemui sang dokter.

"Saya anaknya, Dok. Bagaimana keadaan ibu saya?"

"Ibu anda sangat kritis. Nampak stroke sudah menyerang otak kanannya. Untuk memastikannya, kami perlu melakukan CT scan dan photo torax. Kami harus mendapat ijin anggota keluarga sebelum melakukan hal ini" jelas dokter panjang lebar.

"Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk ibu saya. Apapun itu dan seberapapun besar biayanya akan kami tanggung."

"Ini bukan sekedar masalah biaya, Bu. Terus terang, pasien yang sudah dua kali kena serangan stroke, terlebih di kedua bagian otaknya, kemungkinannya sangat kecil untuk bisa sembuh. Ibu berdoa saja, kami tim medis di sini akan melakukan yang terbaik semaksimal mungkin."

Lemas rasanya melihat ibu didorong ke ruang CT scan. Ibu, wanita yang selama ini selalu tegar dan tangguh di hadapan anak-anaknya, kini tiba-tiba jadi begitu lemah. Beliau nampak begitu tua, keriput tak berdaya. Matanya rapat terpejam, tubuhnya diam tak bergerak. Kami bertiga mengikuti paramedis menuju ruang khusus. Selesai dengan segala macam tes ibu dipindahkan ke ruang perawatan sambil menunggu hasil tes keluar. Segala macam jarum dan selang dimasukkan ke dalam tubuh ibu. Lewat lengan, kaki bahkan hidung. Miris sekali aku melihatnya. Tak ada makanan padat yang bisa diasupnya. Hanya susu dan sari buah yang yang bisa masuk dalam lambungnya tiga kali sehari. Itu pun harus diberikan lewat hidung. Sungguh sesak rasanya dadaku melihat keadaan ibu.

Keluarga dan para tetangga silih berganti datang menengok ibu. Kami enam bersaudara pun bergantian menjaga dan merawat ibu. Menyeka, mengganti selimut dan menyuapi kami lakukan dengan sepenuh hati. Tiada henti kami bisikan kalimat-kalimat tauhid atau sekedar kata-kata penguat penuh cinta di telinganya. Sering aku lihat air mata mengalir dari kedua ujung mata ibu. Mata dan mulutnya memang terkatup rapat. Tapi telinga dan mata hatinya selalu terbuka dan mampu mengenali suara kami. Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Hanya tiga hari ibu bertahan dengan keadaan itu. Hingga suatu pagi di hari empat opname, kondisi ibu semakin drop. Tekanan darahnya semakin lama semakin menurun, 100...80...60...40...hingga sampai pada titik terendah...20. Kami panik. Aku hanya bisa menangis sambil mengucapkan kalimat talqin di telinganya. Laa ilaha ilallah...

Keadaan ibu semakin tidak stabil. Kepanikan terjadi di ruang rawat inap ibu. Dokter dan beberapa perawat pun segera melakukan tindakan medis sesuai prosedur. Mereka mengambil alat kejut jantung lalu ditempelkan ke dada ibu. Tubuh ibu terhempas ke atas layaknya orang terkejut. Tindakan itu dilakukan beberapa kali, hingga akhirnya tiitt..... Alat deteksi jantung berhenti bekerja. Yang nampak di layar hanyalah garis panjang. Dokter memeriksa denyut nadi ibu untuk memastikannya.

"Maaf, nyawa ibu anda tidak bisa tertolong. Relakan kepergiannya."

Jlegarr... Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Segala yang datangnya dari Allah akan kembali ke Allah jua. Ibu telah berpulang ke rahmatullah. Meskipun sejak awal kami sudah siap dengan kondisi terburuk yang akan menimpa ibu, tak ayal kepergian ibu membuat kami berduka dan tak mampu menahan linangan air mata. Ibu...satu-satunya orang tua kami yang tersisa, yang selama ini menjadi panutan kami laksana keramat di dunia, kini telah pergi meninggalkan kami. Selamat jalan ibu. Hanya doa yang bisa kami berikan untuk mengiringi kepergianmu. Semoga engkau tenang di sana, di sisiNya. Jasadmu memang telah pergi meninggalkan dunia tapi kenangan indah akan cinta kasih dan keikhlasanmu selama membesarkan kami akan terus terpatri di sini di lubuk hati kami. Kami mencintaimu, Ibu.

***

Siang itu aku baru saja menemui tamu yang datang ke rumah ibu untuk mengucapkan bela sungkawa. Ibu sudah dimakamkan kemarin sore tapi tamu masih juga datang silih berganti. Jam di dinding menunjukkan pukul 11.30 WIB. Tamu terakhir baru saja berpamitan pulang. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara gerobak es puter ting...ting...ting... Dua orang anakku berlarian ke arahku sambil tertawa riang. Mereka masih belum cukup dewasa untuk memahami makna berduka cita.

"Ibu...ada es puter datang. Belikan ya, Bu" rengek si kecil.

"Aku ambil uang di dompet ibu, ya?" sahut si sulung.

"Aku mau yang cone..."

"Kalau aku mau yang cup..."

Mereka segera berlari dengan ceria setelah mendapat apa yang mereka pinta. Tinggal aku tercenung di sini sendirian. Mulutku tercekat, lidahku kelu tak mampu berkata-kata. Hanya airmata yang mengalir deras di pipiku. Ibu, baru sehari kau pergi meninggalkanku, aku sudah merindu. Ibu, sungguh aku rindu.

***

Tuban, 5 Desember 2012

mengenang 100 hari kepergian ibunda tercinta.

Catatan:

Cumcum = istilah yang lazim digunakan di kampong-kampung untuk es krim/ es puter yang menggunakan CONE.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren mbak

13 May
Balas

Terima kasih....Sedih, ditinggal ibu.

13 May



search

New Post