Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
KEIKO DAN RIZAL - bagian pertama
sumber gambar: Tamako Love Story

KEIKO DAN RIZAL - bagian pertama

#Tantangan Menulis 30 Hari

#tantangangurusiana

Hari Ke-22

Ijinkan pada hari ini saya berbagi fragmen cerita panjang saya.

BAGIAN 1: KEIKO

Nah, ini dia bagian dari ritual pindahan yang aku paling nggak suka. Berdiri sendirian di depan kelas dan diminta buat ngenalin diri. Di depan segitu banyak wajah baru, bakal temen-temenku. Yang hampir semuanya keliatan nggak sabar menunggu aku nyebutin nama. Kenapa sih bukan Pak Guru Harun itu yang langsung saja baca surat pengantar dari Bagian Administrasi yang aku sodorin barusan?

“Halo, nama saya Keiko.”

Sebagian menjawab “halo”, “hai”, ada juga yang “halo Keiko”. Gak jelas yang mana. Masa aku harus ngeliatin mereka satu-satu. Anyway, not bad at all, sebagian besar keliatannya ramah. Coba kalau di tempat lamaku, wah bakal di-bully habis. Syukurlah. First impression will last, I hope.

“Cukup ya. Yang lainnya nanti saja diceritakan. Sekarang kamu boleh duduk di kursi yang kosong. Itu sebelah Euis saja.”

Thanks, God. Pak Guru Harun yang jangkung ini ternyata baik. Dia menyuruh aku meninggalkan depan kelas dan jalan menuju kursi yang kosong. Selamet, selamet. Sedari tadi aku sudah males banget berdiri canggung di depan kelas kaya tadi. Kursi kosongnya ada di baris kedua sebelah kanan. Sebelahnya ada cewek berhijab berkacamata bertahi lalat di pipi kiri. Aku simpan tas ransel merahku di atas meja lalu menjatuhkan pantatku seakan sudah seharian jalan dan berdiri dan sekarang sangat butuh istirahat.

“Halo, assalaamu’alakum. Saya Euis Kartika,” sapanya ramah sambil mengangsurkan tangan. Sunda banget sih suaranya.

“Hai, aku Keiko,” jawabku singkat. Pasang senyum.

“Kamu yang tinggal di Sukajadi Atas itu kan? Yang baru pindahan tiga hari kemarin?” si Euis nanya lagi.

“Kok kamu udah tahu?” tanyaku aneh.

“Saya juga tinggal di Sukajadi, cuma yang bawah. Tapi di sini kalo kedatangan tetangga baru itu pasti bakal cepet pisan beredar. Sudah banyak yang tahu kamu, kok.”

“Oh ya?”

“Bapak kamu tuh Pak Yusup kan?” kata Euis lagi. “yang kerjanya di kedutaan.”

Small world, ya?” Si Euis ini sudah kenal bokapku juga. Maksudnya Yusuf kali, bukan Yusup. Di kedutaan, hmm... itu dulu. Aku baru sadar pindah ke kota kecil yang kabar kepindahanku gampang sekali nyebar. Ini semacam kecamatan kecil. Selatan Kuningan. Beda banget dengan Bogor. “Syukurlah kalo gitu. Jadi aku nggak usah cape-cape ngenalin diri lagi sama semua orang,” kali ini kupelankan suara. Pak Harun sudah mulai kembali fokus ke materi pelajaran. Euis Kartika senyum-senyum mengerling dan menggeser buku Kimia ke tengah supaya aku juga bisa ikutan membaca.

Diam-diam aku mulai memperhatikan sekitarku. Nice lab. Bercat biru laut, kesukaanku, dengan kusen-kusen jendela serbaputih seperti langit-langitnya. Didekorasi tempelan beragam gambar peraga materi fisika, kimia juga biologi. Ada lemari display di kiri depan. Rak penyimpanan alat mengawal di bagian belakang. Wastafel dan bak cuci di sepanjang sisi kiri di bawah jendela-jendela. Meja kita juga khas lab, lebih lebar dan lebih panjang. Kursi-kursi kayu dengan dudukan bundar seperti biskuit marie. Kursi tepat di depanku ada dua cewek berhijab. Di baris depan sebelah kiri juga cewek-cewek berhijab. Di depan kanan juga mereka hijaban. Hmm, dominan sekali hijab di ruangan ini. Di belakangku persis, meski nggak terlalu perhatian, duduk dua cowok. Belum semua bisa kulihat dengan jelas dari tempatku duduk, kecuali kalo aku menoleh penuh ke belakang. Banyakan ceweknya di kelas ini, mungkin.

“Baiklah, kita lanjutkan pembahasan kita mengenai Termokimia. Kita kembali mengingat Hukum Kekekalan Energi....” Pak Harun mulai mengajak kita semua kembali ke materi Kimia. Termokimia, aku sempet bahas bab ini di kelasku di Bogor seminggu kemarin.

“Hey, Keikoo...,” ada suara bisikan dari belakang. Waktu kutengok, cowok yang duduk di belakangku keliatan lagi nyengir sambil menyodorkan tangannya. “Nepangkeun, saya Deden.”

“Halo, Deden.” Aku berusaha ramah sama anak ini. Juga sama anak yang duduk di sebelahnya. Yang satunya menyebutkan namanya lebih kalem: Iwan. Cowok pertama, Si Deden ini kayaknya rada kocak juga. Keliatan dari nyengirnya yang kayak kuda. Sehabis memajang senyum semanis mungkin, aku buru-buru balik lagi menfokusi Termokimia, sebelum Pak Harun berubah sikap.

***

Sambil berjalan beriringan dengan teman-teman meninggalkan Lab menuju ke kelas, aku mulai bisa mengenali beberapa cewek sekelasku. Selain Euis yang duduk sebangku, ada Yuyun yang tadi posisi duduknya persis di depanku. Juga Melati. Mereka saling berkomentar dan berbagi cerita tentang aku, jadi aku tinggal mengangguk atau ngasih tanggapan sedikit-sedikit.

“Jadi beneran kamu teh setengah Jepang?” Yuyun penasaran sekali.

“Beneran atuh. Masa kamu nggak percaya?” itu Euis yang jawab. “Ayahnya kan Pak Yusup orang asli sini. Nikahnya sama perempuan Jepang. Bener kan, Kei?”

Aku cuma senyum aja membenarkan. Half-Japanese? Sebersit kesadaran muncul, kenyataan bahwa kenanganku tentang ibuku sedikit sekali.

“Terus sekarang kamu tinggal di sebelah mana rumah si Euis?”

“Aku tinggal di rumah peninggalan Aki Ruhiyat. Sukajadi Atas. Sama Mang Ujang, kamu kenal kan, Is?”

Euis mengangguk membenarkan. “Nanti kita main ke rumah itu, Yun. Biar bisa kenal deket sama Keiko. Pasti banyak cerita unik tentang Jepang dari Keiko. Eh, Kei. Kamu teh punya banyak sodara di sini, lho. Yang sama di kelas sebelas. Ada Mia di SOS-1. Ada Rizal di kelas sebelah.”

Sudah sampai ke depan pintu kelas XI-MIA-1. Ada beberapa cewek yang menyapa, mendekatiku dan ngajak kenalan. Beberapa cowok sepertinya melihat dari jauh. Aneh banget kali ya penampilanku?

Pelajaran Inggris dan Sejarah hari itu kulalui biasa-biasa aja. Kecuali aku mengenal makin banyak teman di kelas. Ada Wahyudi, si ketua kelas. Juga Lisa, bendahara yang langsung menjelaskan besaran kewajiban uang kas kelas. Yang lainnya, aku belum hapal nama mereka. Sopan-sopan. Sepertinya anak-anak daerah memang lebih beradab dibanding anak kota. Pasti ada saja yang nakal, yang berandalan. Tapi beda lah.

Wajar dong kalau hari pertama aku belum bisa pulang sendiri, dijemput Mang Ujang. Berusaha tampil biasa diliatin banyak anak yang juga bubaran. Di depan gerbang sekolah sempat kulihat ada ribut-ribut. Anak-anak cowok bergerombol. Dari suara anak-anak yang samar kutangkap, aku tahu ada dua cowok adu mulut. Berantem. Tapi nggak jelas. Aku keburu masuk mobil dan pulang.

***

.

.

BAGIAN 2: RIZAL

Budiman nyaris setengah berlari menghampiriku di depan kantin. Agak tersengal napasnya waktu dia menepuk pundakku dan memberikan laporan. Aku dipanggil guru atau ada yang lebih parah? “Jay, ada anak baru di kelas sebelah, Di XI-MIA-1. Geulis, sumpah beneran geulis.”

Langsung anak-anak cowok di kantin bereaksi. Mengerumuni Budiman dan menunggu dengan tidak sabar penjelasan anak itu. Si Budiman malah ngeloyor masuk ke dalam, menemui Bi Kantin dan mengambil sebotol teh dingin. “Pokoknya cantik pisan. Beda ini mah. Bukan anak Kuningan.”

Aldi yang kelihatan paling bernafsu langsung bertanya, “Cantik gimana ini teh, Bud? Sing jelas atuh ngomong na.”

“Putih. Jangkung. Matanya sipit.”

Tah, cewek putih mah bagian uing, euy.”

“Eh, teu bisa kitu, Di. Belum juga diliat.”

Sigana mah turunan Cina.”

“Ah, mana mungkin turunan Cina mau bareng sekolah di kampung sama-sama kita. Mirip Cina meureun,” Komar mengomentari.

“Ah, kamu belum liat sih. Jadi we nggak percaya,” Budi tidak mau disalahkan. “bisa saja atuh.”

“Bukan Cina.” kataku memotong. “Setengah Jepang dia.”

Kontan anak-anak menoleh ke arahku. Kompak sekali memandang ke arahku seakan aku ini makhluk aneh. Duh, keceplosan. Tadi itu aku tidak sadar menyeletuk. Si Aldi cengar-cengir mendekatiku. Budiman dan Cecep juga keheranan. “Jay, kok kamu sudah tahu duluan? Ketemu di mana sama anak baru itu? Kok nggak cerita sama kita? Saha ngaranna cenah? Kamu sudah kenalan, ya?” Ramai, anak-anak menyerangku dengan ragam pertanyaan.

“Nggaak,” aku berusaha menghindar. “Kebetulan saja aku denger obrolan di ruang administrasi tadi pagi. Waktu aku minta surat ijin masuk kelas, aku dengar Pak Wawan ngomongin anak pindahan.”

Budiman terkekeh. “Si Rizal memang langganan telat masuk kelas.”

“Kamu ketemu orangnya?” tanya Aldi penasaran.

Aku menggeleng. Waktu Aldi dan Cecep mendesak lagi dengan tambahan pertanyaan, aku mengibaskan tangan dan bergegas meninggalkan kantin.

Dan ketika waktu jeda tiba, beberapa cewek sekelasku mulai menoleh ke kelas sebelah. Kebetulan anak-anak XI-MIA-1 sedang berjalan meninggalkan lab menuju ruangan kelas. Dan mulailah komentar mereka ramai di sekitaran halaman sekolah. Namanya Keiko Harada Yusuf. Pindahan dari Bogor. Putih. Sipit. Cantik. Pinter. Rumah di Sukajadi.

Basi semuanya.

Beberapa cewek yang penasaran menghampiri kelas. Kenalan. Memang sih, jarang sekali sekolah ini kedatangan anak pindahan dari kota. Maklum SMA di daerah. Dan yang ini penampilannya memang unik. Lumayan unik.

“Mirip Haruka, ya.”

“Haruka yang mana? Temannya Naruto?”

“Anime, meuruen. Jadi-jadian.”

“Huss.”

“Mirip anak-anak JKT48, bener.”

“Ramah, ya. Kirain anak kota mah balaga.”

Pembicaraan tentang si Keiko juga menjalar sampai ke meja guru. Bisa-bisanya Ibu Mia membuka pelajaran di kelasku dengan komentar beginian. “Nilai rapornya bagus-bagus. Kalian tahu, Ibu yang ngusulin dia masuk kelas XI MIA-1. Nanti bisa Ibu rekrut untuk tim olimpiade fisika.”

Pelecehan ke kelasku si Ibu Mia mah.

“Bisa nyanyi juga, bu?” tanya si Prita, anak ekskul seni.

Pada saat bubaran sekolah, aku bergegas menuju area parkir motor di sebelah gerbang utama menembus selapis kerumunan anak-anak. Dan tanpa sengaja aku berjalan dekat sekali dengan si Agung, anak IPS-6. Anak songong itu juga sepertinya terbawa suasana kemunculan anak baru. Dan teriak-teriak. “Rame euy barudak ngomongkeun si Keiko. Nggak, nggak mirip Haruka. Diliat-liat dia mah lebih mirip Miyabi. Tau kan Miyabi?”

Salahkan angin, suara Agung mampir ke telingaku. Dan saat itulah tanpa kusadari, spontan sekali, aku langsung merangsek ke depan si Agung. Mencengkeram kerah kemejanya. “Ngomong apa kamu, Gung? Sok, ulangi sekali lagi. Ngomong apa kamu tentang anak baru itu?”

Bukannya mundur, Si Agung malah meronta memaksa tangan kiriku lepas dari kerah bajunya dan melotot marah. “Naon ieu teh? Jangan turut campur, Jay. Aku cuma bercanda. Heureuy. Aku cuma bilang si Jepang itu mirip Miyabi. Miyabi terkenal, kan? Sok, salah naon urang?”

Dan tinju kerasku seketika bersarang di wajah si Agung. Tepat di depan area parkir motor si Agung tersungkur.

Belegug.

Suara motor anak-anak meraung-raung.

***

(BERSAMBUNG)

@23022020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah hebat bikin penasaran terusannya...

23 Feb
Balas

Terima kasih. Ada saran atau kritik, bu Ratih?

24 Feb



search

New Post