Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
Membaca memang Aktivitas Berbahaya

Membaca memang Aktivitas Berbahaya

Mana yang lebih keren, membaca atau menulis? Kalau seseorang menanyakan tentang aktivitas kesukaanmu dan dengan ragu-ragu kamu menjawab “membaca”, maka kamu menganggap membaca bukanlah hobi yang bisa dibanggakan. Bukan “hobi yang itu”. Seakan membaca adalah hobi yang terlalu biasa, remeh atau asal menjawab.

Padahal tidak semua orang bisa membaca. Saya tidak akan membeberkan bukti survey. Tapi percayalah, tidak semua orang kerasan membaca. Beri seseorang buku, atau mintalah dia memilih salah satu buku dan membacanya. Apakah dia akan bertahan membaca dalam, katakanlah, sepuluh menit? Tidak semua orang bisa bertahan. Tidak banyak orang bisa bertahan. Matanya akan terasa pedih, kepala mulai berpusing. Bandingkan dengan seorang kutu buku yang bisa melahap novel realisme magis Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez (yang versi bahasa Indonesianya setebal 488 halaman) dalam satu hari.

Padahal membaca adalah pekerjaan berbahaya. Membaca akan menimbulkan suatu keresahan, memancing ketidaksetujuan atau bahkan protes atas realitas di depan mata yang tidak sama dengan yang terdeskripsikan di dalam buku. Buku yang baik akan meracuni pembacanya dengan terjangan kebenaran-kebenaran baru, yang seringkali bahkan meruntuhkan keyakinan lama. Betapa banyak buku yang menjadi awal perjuangan besar sebuah bangsa dan mengubah sama sekali catatan sejarah dunia. Lebih parahnya, dengan membaca kamu juga menjadi sadar bahwa sebetulnya kamu bodoh, ketinggalan informasi, selama ini salah konsep atau bahkan tidak layak menyandang gelar sarjana dan membanggakan profesi kamu saat ini. Seperti pepatah populer: “Kalau kamu merasa bodoh, membacalah. Kalau kamu merasa pintar, bacalah lebih banyak.” Barangkali karena itulah, sebagian orang lebih suka menghindari aktivitas membaca.

Lagipula, aktivitas membaca serupa serbuan virus. Sekali terkena¸ ia akan menjangkitimu dalam waktu lama. Tak mau berhenti. Membuat ketagihan. Memabukkan. Menerbangkan. Membuatmu mampu mengelana ke tempat-tempat jauh melewati batas-batas apapun.

Lebih keren menulis dari pada membaca? Salah. Bukankah untuk bisa menghasilkan tulisan yang memikat, penulis harus memiliki banyak referensi? Membacalah lebih banyak agar kamu bisa menghasilkan tulisan yang bernas. Menulis adalah perkara berpikir dan untuk bisa berpikir dengan baik kita butuh membaca banyak buku yang bagus. Jadi, seperti saran saya pada tulisan sebelumnya, sediakan waktu satu jam dalam sehari untuk menulis. Kini saya tambahkan: sediakan waktu sepuluh jam dalam sehari untuk membaca. Tidak sanggup?

Lalu ada seorang teman yang menyombong, dengan mengumumkan ia mengoleksi banyak buku. Saya kira, kebiasaan membeli banyak buku bukan hal yang cukup baik. Cenderung konsumtif. Bermewah-mewah. Sekedar status sosial. Kamu membeli buku yang sedang hype, memasang foto diri bersama sampul buku pada media sosial, kemudian membaca sinopsis pada sampul belakang, menambahi dengan menggugel reviunya sebagai bahan obrolan. Sedang naskah lengkapnya tidak kamu baca, bukunya tidak kamu sentuh - disimpan di rak depan. Seakan perpustakaan.

Dan pajangan buku menjadi bagian dari tren terkini aksesori interior ruang tamu. Dari sisi baiknya, perpustakaan yang keren adalah perpustakaan yang berisi deretan buku-buku yang belum dibaca. Kira-kira inilah yang ingin disebutkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam The Black Swan sebagai antilibrary (a collection of books one owns but hasn't yet read - these represent a corpus of potential learning). Kita tidak memandang buku sebagai properti atau label status melainkan sebagai perangkat riset atau bahan rujukan tulisan kita. Sesudah selesai kita baca, donasikan bukunya. Atau paksa teman untuk membacanya.

Lagipula, tidak semua orang punya akses ke toko buku dan membeli buku yang diidamkan. Ini perihal harga buku. Atau rumah berada jauh dari perpustakaan. Sewaktu masih siswa SMP saya sering menahan keinginan jajan dan menabung uang saku sehari demi sehari demi membeli novel Agatha Christie atau serial Trio Detektif atau Imung Detektif Cilik. Kini harga buku melambung-lambung seperti balon gas dan saya cuma bisa membayar satu sambil nelangsa mengusapi plastik transparan pembungkus lima buku lainnya. Dulu mudah sekali menemukan buku bagus, buku langka di gelaran kaki lima, kini bahkan satpol PP pun tidak begitu suka dengan teman-teman penjual buku bekas.

Ini dia solusinya: mencuri buku. Serius, ini adalah perbuatan paling cool yang pernah saya bayangkan. Bukan di toko buku, saat ini mereka menyimpan kamera di hampir semua sudut. Try this: Diam-diam mengambil buku di perpustakaan sekolah atau kampus, lalu berpura-pura lalai mengembalikan seraya berharap pustakawan sekolah lebih sibuk dengan pekerjaan administrasi lainnya dan melupakan catatan pengembalian buku. Risiko terburuk adalah membayar denda keterlambatan mengembalikan buku agar selamat dari ancaman tak bisa ikut ujian akhir. Sangat setimpal dengan kesenangan yang kita dapatkan. Blues untuk Bonnie-nya Rendra bisa bertahan di rumah saya selama enam bulan dengan cara seperti itu. Isn’t that cool?

Lalu dengan konyol saya menuliskan pepatah penting di kamar saya: Sebodoh-bodohnya orang adalah yang meminjam buku tapi buku tersebut kemudian dikembalikan.

Bahkan Chairil Anwar pun pernah mencuri buku. Sebuah buku terkenal Also Sprach Zarathustra karya filsuf Friedrich Nietzsche. Di sebuah toko buku terkenal milik orang Belanda. Ditemani sahabatnya Asrul Sani.

Jadi, membaca memang aktivitas yang berbahaya. Ia bisa memberikan pengaruh buruk. Seperti saat ini. Sebagian isi artikel ini memang potensial berpengaruh buruk, tidak patut disetujui, tapi semuanya terpulang kepada pikiran masing-masing pembaca.

25 Desember 2018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Berpikir kritis dan obyektif memang diperlukan asal tidak berlawanan dengan hati nurani dan etika. Tulisan yang berbobot dan inspiratif. Terimakasih atas pembelajarannya. Sukses selalu. Salam literasi.

25 Dec
Balas

Terima kasih. Hati nurani dan etika.

25 Dec



search

New Post