Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
Rumah Beku di Atas Bukit

Rumah Beku di Atas Bukit

Rumah Beku di Atas Bukit

#Tantangan Menulis 30 Hari

#tantangangurusiana

Hari Ke-12

Sudah jam enam pagi. Sebentar lagi sebelum September habis.

Aku mencampakkan baju ke kegelapan. Bau keringat entah sejak hari apa. Bau dingin. Udara membasi dan usang. Meraih sweater seadanya, pudar warnanya. Seabu-abu dashboard dan plafon. Empat kaca jendela memburam, dipenuhi titik embun. Kursi-kursi mengeras, seakan butiran salju bertumbuhan pada tiap persegi joknya.

Dunia luar masih mendengkur. Nyenyak sekali. Dan aku mati rasa.

Di kursi belakang masih ada seragam abu-abu. Berapa kali harus kubuang mereka sebelum benar-benar menghilang.

Kunyalakan kipas kaca mobil. Melambai ke kiri dan kanan. Keriut bunyinya.

Mobil reyot ini mengantarku ke sebuah pekarangan. Kosong. Rumah kamu yang menggigil. Langkah kakiku melayang ke lantai atas. Loteng yang langit-langitnya miring dan rendah. Menemukan kamu meringkuk di sofa. Terlalu gampang sentuhan tanganku pada bahumu membangunkanmu. Suaramu nyaris tak bisa kudengar. Tidak ada, katamu. Sudah kubilang semalam, Bunda pergi ke Bandung. Sebelum ayam-ayam terbangun. Jangan tanya Ayah ke mana. Mereka juga tak pernah menanyai kita.

Ayo berkemas.

Berkemas dalam diam. Berangkat dalam diam.

Belia, aku menemukanmu. Kutendang jauh-jauh kata kesendirian. Betapa ajaibnya kita berdua lantas merasa semakin kesepian. Sepasang sepi pada sepasang remaja, ucapmu. Sepi yang menenggelamkan batu-batu. Ke dalam sungai. Hingga ke dasar. Terhanyut ke pantai. Atau entah melarut ke celah ceruk sungai dan ngarai.

Perlahan tenggelam. Suara-suara merdu. Suara batu-batu menggapai meminta pertolongan.

Bangunan putih di atas bukit. Seperti tak ada penghuni. Kabut. Memaksaku tengadah. Aku akan mati di sini, katamu ngaco. Sejam lagi, katamu lagi. Tanpa sebab, kita berpelukan.

“Belia.”

Hampir jam delapan. Waktu tiba juga pada namamu.

“Kamu tunggu saja di luar.”

Aku tergugu di ruang tunggu. Bangku panjang dingin, menyuruhku memegangi jemari sendiri. Matahari menelantarkan aku dan Belia. Hanya uap dari lorong mulut. Membentuk lingkaran-lingkaran. Aku duduk pada lantai teras. Duduk pada area parkir. Duduk di atas batu di bawah pohon beku. Duduk pada kibar lesu ilalang. Dengan pikiran tentang sebuah batu yang terjatuh ke sungai. Batu yang jatuh, tenggelam dan hilang.

Tidak mungkin aku membeli bunga. Tak ada. Hanya batu-batu.

Bunga untuk perayaan atau penguburan?

Belia, lihatlah. Jangan mati dulu. Bukankah kita akan kedatangan tamu? Atau apa sebutannya, yang seenaknya kamu khayalkan. Di dalam bangunan putih di atas bukit ada kamar-kamar. Kamu ada di dalam salah satu kamar itu. Entah yang mana. Bersama dokter, perawat, pembantu perawat dan hantu-hantu. Pisau-pisau. Bau obat. Irisan-irisan. Amis darah. Dalam proses mengubah perjalanan kita.

Aku takut darah, bisikmu kemarin. Dasar penakut, padahal ketakutan sedang melanda kepala dan dadaku.

Apakah di dalam salah satu kamar itu mereka ditemani kegugupan? Kita berdua digerayangi kegugupan. Pada setiap gerakan. Sejak dua minggu yang lalu. Butuh selembar selimut atau baju tebal. Susu hangat. Sebatang cokelat. Dan seorang malaikat. Yang tak juga mengulurkan tangan.

Sayup teriakan dari dalam. Dan, tentu saja, tangisan. Mataku menjelma gerimis.

“Sudah selesai. Lancar. Besok sakitnya hilang.” Ringan sekali para penjagal itu mengembalikan kamu.

Kamu berdiri di ambang pintu. Pintu yang pucat. Kamu memegangi perut. Aku memandangi perutmu seraya tanganku memegangi setir. Setir yang bergetar-getar. Gemetar-gemetar.

Ke mana sekarang? Mencari sumur untuk menghabiskan gerimis dari pelupuk mata. Menunggu matahari yang melarikan diri. Mencari sekumpulan batu. Kita adalah batu. Sepasang batu. Kita tenggelam seperti batu yang dilemparkan ke bawah. Meluncur ke lubang sumur yang dalam. Sampai ke dasar gelap yang entah. Pertolongan yang entah.

Di dalam mobil, kita berdua tenggelam. Sebenarnya batu.

@13022020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post