Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
Tante Masih Belum Cantik

Tante Masih Belum Cantik

Tante Masih Belum Cantik

#Tantangan Menulis 30 Hari

#tantangangurusiana

Hari Ke-17

Ini perjalanan kereta pertama buat Arya. Jadi jangan heran kalau anak itu kelihatan begitu antusias sejak pertama kuberitahu kalau kami akan berkereta menuju Jakarta. Pagi ini anak enam tahun itu dengan sabar duduk di peron menunggu ketibaan kereta dari timur. Tidak mengeluhkan udara yang sedikit gerah. Tidak cerewet meminta dibelikan jajanan yang biasanya menggoda matanya. Padahal kereta, seperti biasa, terlambat menghampiri stasiun Tasikmalaya.

Ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan.

Sejak kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan peron, Arya tak henti mengamati sekeliling. Dari jendela kereta dia berusaha melongokkan kepalanya. Melihat petugas stasiun memberikan aba-aba dan meniup peluit. Membalas lambaian tangan para pengantar ketika gerbong bergegas ke arah utara. Menunjuk-nunjuk beberapa anak kecil yang menonton keberangkatan kami. Padahal tak seorang pun dari mereka melambai kepadanya. Arya begitu bersemangat. Mukanya secerah matahari, sesekali dia melonjak menebarkan energi.

Perjalanan dengan rute yang berbeda, menyusuri rel panjang kereta api, bunyi roda kereta beradu dengan besi panjang rel dan bantalannya, gerbong-gerbong membelah bentangan hijau sawah, meliuk di antara kebun, menyusup ke celah perkampungan, menyeberangi sungai, melintasi jalan raya. Orang-orang dan semua kendaraan lain harus bersabar mengantri di perlintasan. Semuanya memesona bagi anak bungsuku itu.

Aku harus meladeni rentetan pertanyaan yang meluncur dari mulut mungilnya. Tentang kereta api yang begitu panjang, berbeda dengan bus atau mobil lainnya. Terbuat dari apa? Kok panjang sekali, Yah? Kenapa kereta api harus jalan di atas rel? Gimana kalau tiba-tiba keretanya mogok? Kalau bensinnya habis, keretanya berhenti di pom? Anak itu juga menanyakan nama-nama tempat yang dilewati. Kok nggak masuk terminal? Ini sudah masuk Garut, Yah? Mana Garutnya? Masih lama nyampe ke Jakarta-nya, Yah?

Hampir-hampir gadis kecilku lupa dengan keadaan di dekatnya. Matanya mengembara ke pemandangan di luar gerbong. Melahap semua lukisan serba seru di luar jendela.

Lebih dari satu jam Arya merayakan perjalanan kereta apinya. Sekarang kudapati dia mulai bosan dengan pemandangan sawah, sawah dan sawah. Lagi pula aku mulai menanggapi pertanyaannya dengan jawaban-jawaban pendek. Aku takluk dengan serangan kantuk, penyakit langgananku setiap duduk di kendaraan umum.

Arya mulai terduduk di kursinya. Tapi belum berhenti bergerak. Diam-diam kulirik dia mulai mengamati isi gerbong. Menoleh ke segala arah. Dan mengoceh sendiri. Meneliti bentuk kursi-kursi yang terlihat masih baru, berbaris rapi berkelompok dua-dua, dipisahkan oleh lorong pada bagian tengahnya. Melihat orang-orang yang duduk pada tempat mereka masing-masing. Arya sampai harus berdiri dari kursinya dan memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Menghitung kepala-kepala yang sebagian terkantuk. Sebagian lagi sedang berbisik mengobrol.

Terakhir, barulah dia memusatkan pandangannya ke arah penumpang yang duduk menghadap lurus menentang kami. Sepasang lelaki dan perempuan. Yang lelaki beberapa tahun lebih muda dariku. Mirip denganku, dia juga sedang berusaha menghindar dari obrolan teman sebelahnya. Menyahut serba singkat. Memilih menyilangkan kedua lengan di dada, menyandarkan tubuhnya ke belakang dan menutup kedua matanya demi bermigrasi ke alam mimpi.

Temannya, seorang perempuan, lebih muda beberapa tahun dari si lelaki. Pakaiannya bergaya, busana muslim pink model terbaru, hijab warna serasi. Perhiasan kilau-kilau pada pergelangan lengan dan jemari. Merasa jadi sasaran pengamatan, perempuan itu membalas perhatian Arya dengan santun.

“Baru sekali ini naik kereta, Sayang?”

Arya mengangguk. “Iya, Tante.”

“Suka dengan perjalanannya? Seru, ya?”

Arya mengangguk lagi.

“Namanya siapa, Sayang?” senyum perempuan itu.

“Arya. Aryana Wulandari,” Wiiih, anakku paling suka menyebutkan namanya. Dengan lengkap. Siapapun yang mengajukan pertanyaan.

“Tante juga baru sekarang naik kereta?”

Si Tante itu menggeleng. ‘Tante sudah sering naik kereta. Sebulan sekali.”

“Mau ke Jakarta juga?”

Ramah sekali Si Tante meladeni. “Betul, Sayang. Ke Jakarta juga. Eh, di Jakarta Tante punya keponakan cantik yang seumuran kamu. Namanya Melisa.”

Dari caranya menatap lekat-lekat, aku tahu Arya tengah menemukan obyek pengamatan baru. Sasaran rasa ingin tahunya yang sering meluap-luap. Tak mudah dibendung.

“Tante lagi ngapain?”

Kali ini aku membuka mataku lebih lebar. Haruskah aku menghentikan pertanyaan Arya?

Kulihat penumpang di depanku mengeluarkan beberapa perangkat make-up dari dalam tas kecil oranyenya. Sebentuk wadah kecil. Ternyata bedak. Dan kaca cermin seukuran ponsel pada salah satu sisi wadah itu. Hmm, khas perempuan. Dia mulai menepuk-nepuk mukanya dengan bantal bedak hingga rata. Mematut dirinya di depan cermin kecil. Mencari-cari bagian mana lagi yang harus ditutupi bedak.

Arya memandangi Si Tante yang baru dikenalnya dengan tekun. Yang dipandangi kini memoles bibirnya dengan kuas kecil.

“Tante lagi ngapain?” Arya mengulang.

Kali ini interupsi kecil itu ditanggapi oleh Si Tante.

“Tante lagi merapikan riasan bedak dan pemerah bibir.”

Ooh. Arya membentuk lubang dengan mulutnya.

“Supaya apa, Tante?”

Tante itu tersenyum dengan sabar. “Sayang, Tante merapikan riasan-riasan supaya Tante jadi kelihatan tambah cantik.”

Ooh lagi. Arya manggut-manggut. Dia terus mengamati gerakan penumpang di hadapannya dengan sangat seksama. Si Tante memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Bedak dirapikan sedikit lagi. Ditepuki spons. Diusap dengan ujung jemari. Sepertinya selalu ada yang belum rata. Mulut dimonyongkan di depan cermin. Mata didekatkan dengan cermin kecil itu. Bahkan juga sebarisan gigi.

“Sudah, Tante?” Arya melihat si Tante berhenti berhias.

“Gimana, Sayang. Sudah cantik kan?”

Butuh beberapa detik bagi anak gadisku itu untuk melakukan penilaian. Bak juri kontes kecantikan. Tertegun sesaat sebelum akhirnya dia menggeleng.

“Hm, nggak berhasil, Tante. Masih belum cantik. Masih kayak tadi, Tante masih jelek.”

Selesai sudah.

Pertemanan Arya dan Si Tante berakhir dengan tragis.

@18022020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"ujaran kebencian" terkadang jujur adanya

24 Feb
Balas

tidak ada kebencian, pak.

25 Feb

Betul sekali,bpk....Krn itu,sy kasih tanda petik. "Ujaran kebencian" yg sy maksud adlh, tragisny ending cerita tsb. "Ujaran kebencian" bukan dlm arti yg sebenarny,tsb hanya hiperbola semata.

25 Feb
Balas



search

New Post