Ida Nusraini

Menulis adalah tentang kesungguhan untuk memulai dan konsistensi untuk tidak berhenti....

Selengkapnya
Navigasi Web

DILEMA ADZAN AWAN SUPIT

Akhir-akhir ini Leman makin terganggu dengan adzan dari menasah kecil dekat rumahnya, kampung Jejerun di kaki Bur Lungun. Setiap adzan berkumandang, Leman menutup telinga rapat-rapat agar suara Awan Supit tidak merusak gendang telinganya.

“Kenapa sih harus teriak-teriak,? udah serak, parau, batuk-batuk lagi, nggak ada yang bagusan apa?”, omelnya.

Awan Supit adalah sosok sepuh yang menjabat muadzin, marbot dan imam menasah sekaligus, bertugas sudah sangat lama karena belum ada yang sudi menyandang tiga jabatan penting itu. Usianya yang tak lagi muda membuat suaranya serak dan kerap batuk-batuk sebelum adzan selesai dikumandangkannya.

“Mak...kenapa sih harus Awan Supit yang adzan setiap hari ? ‘kan banyak yang bisa adzan dikampung kita..”

“ Entahlah Man, mamak juga nggak ngerti, setiap diadakan rapat pemilihan imam menasah selalu Awan Supit yang terpilih,” sahut Mak Leman sambil merapikan kerudung.

“Sepertinya ada yang tidak beres nih, jangan-jangan Awan Supit berambisi mempertahankan jabatannya” batin Leman. Sesuatu melintas dipikirannya.

“Leman kerumah Ma’el Mak ya?” pamit Leman. Mak Leman mengangguk. Leman bergegas kerumah karibnya diseberang kebun.

“El, kita kerjain Awan Supit, yuk?” hasut Leman. Kening Ma’el berkerut. Leman memaparkan rencananya. Intinya , Awan Supit harus dilengserkan. Keduanya bersalaman tanda sepakat.

Siang itu adzan zhuhur tidak terdengar. Awan Supit adzan tanpa pengeras suara. Leman dan Mael menyusup ke menasah dan memutuskan kabelnya. Yes, misi berhasil. Misi-misi selanjutnya juga berjalan mulus. Menyembunyikan tongkat, memutuskan sandal, mengempeskan ban sepeda dan misi lainnya berhasil membuat Awan Supit terlambat sampai kemenasah dan tidak sempat mengumandangkan adzan, terkadang terdengar iqamahnya saja. Leman lega, pasti Awan Supit menyerah dalam waktu tidak berapa lama.

Benar saja, awan Supit tidak pernah adzan lagi sudah lebih dari tiga hari, bahkan di menasahpun tak pernah muncul lagi. Menasahpun sepi. Kadang-kadang ada Mpun Biah yang adzan, namun suaranya malah lebih parah dari Awan Supit. Besoknya ada Tok Mansur, suaranya bagus tapi bacaannya amburadul. “sehadu ala ilaha illallaaaaaaaaaah” pekiknya pede. Warga kampung Jejerun urut dada. Bisa-bisa miring aqidah kita. Akhirnya adzan semakin jarang terdengar, kadang sehari sekali, malah sering tidak terdengar sama sekali. Gecik Onot Aman Sangut juga angkat bahu tanda tak berdaya.

Bukannya merasa senang, Leman malah tidak enak hati. Ada sesuatu yang hilang dibatinnya. Lebih spesifiknya rasa bersalah mulai mengusik jiwanya. Ini bukan tentang suara serak Awan Supit , bukan juga tentang batuknya, tapi tentang kenangan indah yang juga turut hilang bersama gema adzan yang dilantunkannya.

Sedegil-degilnya Leman dan komplotannya, sering juga mereka shalat berjamaah bersama Awan Supit . Awan Supit bersama teman-temannya seperti Mpun Biah, Aman Dempo, Tok Sripah, Ceh Dolah, Tok Mansur, Aman Derham, dan Mpun Selamah mempunyai pesona tersendiri dalam keseharian kampung Jejerun. Biasanya setiap pagi selepas shalat subuh rombongan kecil itu lewat didepan rumah Leman sambil bercerita tentang apa saja menuju Warung Cek Selman di ujung jalan. Kerap Leman, Ma’el, Gerhul, dan komplotannya mendengar cerita perjuangan melawan penjajah, perlawanan DI TII, juga sejarah nabi dan sahabatnya dari Awan Supit dan teman-temannya. Sekarang mereka juga tidak pernah terlihat lagi, seperti sehati dengan Awan Supit.

Menjelang sore Leman mengajak Ma’el mendatangi rumah Awan Supit. Suara batuk yang berat menyahut salam mereka.

“Wa’alaikum salam....” Awan Supit muncul dibalik pintu.

“ Ooo Leman, Ma’el...mayo Win,” Leman dan Ma’el mengikuti Awan Supit.

“ Awan sakit ?” Leman membuka pembicaraan.

“ Itulah kumpuku, akhir-akhir ini batuk Awan makin parah, tidak sanggup lagi pergi ke menasah,” keluh Awan Supit disela batuknya yang makin merajalela. Leman mengumpulkan keberanian menanyakan hal yang yang dipendamnya sejak lama.

“ Memangnya kenapa harus Awan yang adzan? Apa tidak ada orang lain yang menggantikan Awan?,” akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Awan Supit diam, menatap Leman dan Ma’el bergantian. Leman tertunduk, khawatir skenario jahatnya terbongkar. Awan Supit menarik nafas panjang.

“Muadzin itu bukan orang sembarangan, Win. Muadzin adalah orang yang memanggil hamba Allah yang mempunyai iman agar segera menyembah Tuhan, mengetuk kesadaran untuk meninggalkan apapun ketika waktu shalat tiba..” batuk kembali menghentikan kalimat Awan Supit. Leman semakin tertunduk, Ma’el disampingnya mulai gelisah.

“Kau lihat, Win, seberapa banyak orang yang memperdulikan adzan, yang langsung datang kemenasah dan mesjid menunaikan shalat diawal waktu. Tapi kebanyakan mereka tetap dengan kesibukannya mengejar dunia, seolah rugi jika meninggalkan pekerjaan untuk shalat sebentar saja. Adzan itu panggilan iman, Win. Makin kuat iman seseorang, makin segera ia memenuhi panggilan adzan.” Awan Supit mengatur nafas. Leman merasakan dadanya sesak.

“Adzan itu panggilan cinta, siapa yang cinta Tuhannya, dia akan meninggalkan apapun untuk cintanya, akan datang secepat apapun ketika yang dicinta memanggilnya” suara Awan Supit kian bergetar.

“ Itulah mengapa Awan masih menjadi muadzin walaupun sudah lama Awan ingin berhenti. Sebenarnya Awan ingin ada yang menggantikan Awan menjadi muadzin, tapi kau lihat sendiri, Win, jangankan mengumandangkan adzan, menyahuti adzan saja orang tidak mau. Padahal adzan sudah pakai alat pengeras suara, terdengar sampai kemana-mana. Kekebun, kesawah, dalam rumah, kantor, sekolah, kedalam hutan sekalipun. Tidak mungkin tidak terdengar kecuali mereka tidak punya telinga.” Awan Supit terdiam. Matanya berkaca-kaca, sementara Leman merasakan pelupuk matanya kian memanas.

“ Sebenarnya bukan tidak punya telinga, tapi hati mereka yang tidak lagi peka, menganggap dunia jauh lebih penting dari ruku’ sujudnya. Semoga Allah belum mengunci mati hati mereka, sehingga masih mau memenuhi panggilan adzan bagaimanapun sibuk dan berat pekerjaannya”.

“ Awan ingin seperti Bilal, Win. Budak hitam yang begitu dicintai Rasulullah karena mengumandangkan adzan dengan setia. Tak pernah alpa disetiap waktu sampai Rasulullah tiada. Rasulullah sangat mencintainya begitu juga sebaliknya. Saking saling cintanya, Rasulullah menjaminkan syurga baginya, dan Bilalpun tak lagi berkenan adzan ketika Rasul sudah tiada,” Awan Supit mulai sesunggukan.

“ Awan ingin tetap adzan sampai Awan menghadap Allah nanti. Awan tetap Adzan walaupun tidak ada yang peduli. Awan tetap adzan walau sebenarnya tidak sanggup lagi, tetap adzan walau banyak yang tidak suka dan sangat membenci......”

Leman menubruk Awan Supit, merengkuh dan menciumi tangannya, tangisnya pecah tak terbendung..

“ Maafkan Leman, Wan,..” dipangkuan Awan Supit Leman menumpahkan segala cerita, rencana dan kelakuan jahatnya, memohon maaf setulus hati sepenuh jiwa. Awan Supit mengelus lembut punggungnya.

“ Ajarkan Leman adzan,Wan, agar Leman bisa menggantikan Awan...” pintanya disela air mata.

“ Alhamdulillah......terima kasih ya Allah..” Awan Supit memeluk Leman dalam tangisan haru.

Saat adzan maghrib berkumandang, Mak Leman sedikit heran. Menautkan alis sambil menajamkan pendengaran. Untuk lebih memastikan sampai Mak Leman keluar ke halaman. Ada yang lain dengan suara muadzin di menasah.

“ Aman Leman, siapa itu yang adzan?. Seperti suara Leman? “ Aman Leman yang sedang membersihkan kaki disamping rumah agak terkejut, menyimak adzan dengan seksama. Tak lama kemudian mengembang senyumnya.

“ Ambilkan sarung dan peci, Mak, saya mau ke menasah,” pintanya agak tergesa. Mak Leman segera masuk dan kembali membawa benda yang diminta suaminya. Hatinya berbunga menatap punggung suaminya yang bergegas. Mengucap syukur atas karunia Tuhannya.

Awan Supit telah menemukan penerusnya.

Catatan :

Awan : Kakek

Win : Anak laki-laki

Aman Leman : Bapak/Ayah dari Leman, laki-laki yang sudah mempunyai putra/i di Gayo dipanggil dengan menyebutkan nama anak pertamanya.

Mayo : Masuk

Bur : Bukit/gunung

Gecik : Kepala Desa

Kumpu : Cucu

Dimuat di : http://lintasgayo.co/2015/09/10/dilema-adzan-awan-supit

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post