Hubungan Ibu Mertua dengan Menantu

Tantangan Hari ke-69

#TantanganGurusiana

Tadi sambil makan malam, saya menonton siaran TV cerita mengenai kisah nyata. Ceritanya tentang seorang ibu mertua yang cerewet dan terlalu ikut campur dalam kehidupan rumah tangga anaknya laki-laki. Akhirnya anak dan menantunya pun berpisah. Saya nggak tahu berpisah karena apa, apakah disuruh ibu laki-laki itu atau menantunya sendiri yang minta pisah karena tidak tahan, entahlah. Sebab saya menontonnya sudah separuh jalan. Tapi ternyata ujungnya happy ending. Akhirnya anak dan menantunya itu rujuk kembali, karena ibu mertua sudah insyaf. Ia berkata, bahwa ia lupa kalau dulu pun ia tidak suka kalau ibu mertuanya terlalu mencampuri urusan rumah tangganya. Ia juga baru sadar kalau menantunya itu adalah menantu yang terbaik buat dia.

Memang cerita tentang ibu mertua sama menantu itu jarang akur, bukan rahasia umum lagi. Sejak dulu sampai sekarang cerita yang didengar dari orang-orang yang sudah berumah-tangga kebanyakan hampir sama. Bentrok dengan ibu mertua. Seorang ibu mungkin beranggapan, ‘Itu, kan anakku. Aku yang melahirkannya. Berhak dong mencampuri.’ Sementara sang menantu berpikir, ‘Kami kan sudah berumah tangga. Aku istrinya. Harusnya aku yang mengurusi suamiku dan rumah tanggaku. Bukan ibunya lagi…’ Kedua pihak sama-sama ingin membenarkan diri.

Sebenarnya ada beberapa faktor yang membuat mertua dengan menantu sering tidak akur, antara lain :

1. adanya rasa persaingan di antara mereka untuk mendapatkan perhatian dari laki-laki yang mereka cintai.

2. adanya rasa kuatir dari sang ibu atau curiga kalau menantunya tidak mampu membahagiakan anaknya.

3. keduanya memiliki gaya hidup yang bertolak-belakang.

4. tidak mampu saling beradaptasi dan menerima keadaan satu dengan lainnya.

5. mertua terlalu otoriter sehingga terlalu mencampuri.

6. dan banyak lagi faktor lainnya.

Karena ketidak-harmonisan ini, laki-lakinya yang sebagai anak/suami sering menjadi bingung dalam bersikap. Takut nanti dikatakan berpihak kepada ibunya atau istrinya. Untuk itu, seorang anak ataupun suami dituntut untuk berlaku bijaksana dan menjadi penengah yang baik di antara keduanya.

Saya pribadi selama menikah, hanya beberapa bulan saja merasakan punya ibu mertua. Itu pun tidak satu rumah. Ibu mertua tinggal di kampung, sedangkan saya dan anaknya tinggal di Medan. Masih beberapa bulan kami menjalani bahtera rumah tangga, mertua perempuan saya sudah dipanggil Tuhan. Jadi waktu kami menikah, hanya tinggal mertua perempuan yang masih hidup. Orang tua saya dan mertua laki-laki saya sudah duluan menghadap Tuhan.

Walaupun saya belum pernah serumah dengan ibu mertua waktu ia masih hidup, tapi saya mengenal betul watak beliau. Karena pernah beberapa kali nginap bersama saudara perempuan suami di rumah yang waktu itu masih calon mertua. Orangnya keras, suaranya besar dan mau marah. Saya tidak tahu apakah seandainya kami satu rumah dengan beliau waktu beliau masih hidup, apakah saya bisa menjadi menantu kesayangan atau sebaliknya, saya tidak tahu. Tapi alangkah baiknya, jika ibu mertua dengan sang menantu belajar hidup rukun dan saling menyayangi selama masih diberi kesempatan oleh Tuhan. Sekiranya ada di antara kita yang tidak akur dengan ibu mertua atau menantu, sedapat mungkin si anak/suami bisa menjembatani keduanya agar hubungan keduanya kembali baik.

Medan, 28 April 2020