Iin Nuraini

SEORANG GURU KELAS DI KOTA SOLO...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pendidikan Inklusif : Merombak Sistem Pendidikan yang Diskriminatif

Pendidikan Inklusif : Merombak Sistem Pendidikan yang Diskriminatif

A. PENDAHULUAN

Permasalahan pendidikan di Indonesia terasa masih membelit berkutat sistem pendidikan yang kurang pas diterapkan di masyarakat yang kompleks ini. Masalah silih berganti terasa seperti roda yang berputar enggan berhenti. Gonta-ganti Menteri Pendidikan, gonta-ganti juga peraturan dan kebijakan. Perkara anak putus sekolah, pemberantasan buta huruf, kenakalan remaja, minat baca siswa rendah juga masalah peluang untuk mendapat pendidikan, terutama untuk para penyandang disabilitas.

Pendidikan untuk anak penyandang disabilitas mulai berkembang seiring berkembangnya pandangan dan pemahaman masyarakat tentang perbedaan pendidikan untuk anak yang normal dan tidak normal, yakni sebutan untuk anak yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dengan anak pada umumnya. Anak yang disebut “berbeda” tersebut biasa disebut dengan Anak Bekebutuhan Khusus (ABK).

Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat, dan atau Anak Dengan Kedisabilitasan ( ADK ). Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, Contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing.

Pendidikan inklusif dipayungi oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP 19/2007 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pemenuhan sarana prasarana pembelajaran menjadi perhatian pemerintah demi tercapainya tujuan pendidikan nasional dalam pemenuhan hak pendidikan yang tertuang dalam undnag-undang sistem pendidikan nasional “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” . Dalam realitas hidup, pendidikan inklusif menerima anak-anak yang memiliki perbedaan dan berlainan. Semestinya pendidikan diberikan tanpa melihat perbedaan fisik yang ada dalam diri anak. Mereka mempunyai hak mendapatkan pendidikan tanpa ada perbedaan dengan anak normal lainnya. Bahkan pemenuhan fasilitas pendidikan inklusif dijanjikan oleh pemerintah secara utuh, di pedesaan bahkan di daerah yang terpencil.

Masalah yang muncul yang pertama adalah belum siapnya para pendidik melaksanakan pendidikan inklusif secara merata di masing-masing satuan pendidikan. Apakah pendidikan inklusif merata sampai ke daerah yang tertinggal? Yang kedua, anak berkebutuhan khusus diperbolehkan masuk ke sekolah-sekolah pada umumnya, namun pada akhirnya mereka terkendala dengan proses pembelajaran yang kalah cepat dengan anak normal lainnya. Disamping, belum siapnya para guru menerima anak didik yang ‘ber beda’ mereka kurang bisa menangani anak yang berkebutuhan khusus. Alhasil, pada akhir tahun ajaran orangtua disarankan untuk memindahkan anaknya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diharapkan dapat ditangani guru sesuai bidangnya. Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia yang ikut serta dalam Deklarasi Dunia tahun 1990 tentang Pendidikan Untuk Semua? Apakah demikian bentuk pendidikan untuk semua?

B. PEMBAHASAN

Hakikat Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif lahir dari kebijakan sosial dan perubahan paradigma sistem pendidikan di beberapa negara di dunia. Anak pada awalnya dibedakan antara yang “normal” dan “tidak normal” dalam layanan pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan di dalam sistem pendidikan umum adalah hak anak. Hak anak atas pendidikan tidak secara otomatis mengimplikasikan inklusi. Inklusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan mengajar siswa dengan kebutuhan khusus pada kelas reguler. Pengertian Inklusi dalam Permendiknas nomor 70 tahun 1990, adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Hak atas Pendidikan Inklusif yang paling jelas telah mendapatkan perlindungan secara internasional yakni dengan adanya Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar (2000), dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004) (Sunaryo. 2009: 1).

Pada sistem pendidikan sebelumnya anak dibagi berdasarkan ciri-ciri fisik atau kecacatan yang melekat pada individu anak. Sedangkan dalam paradigma pendidikan inklusif setiap anak dipandang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda tanpa menitikberatkan pada karakteristik fisik atau kecacatan yang melekat pada individu anak. Sehingga sistem pendidikan yang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak dan bukan anak yang menyesuaikan sistem.

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang menyatakan bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. Cahaya terang nampak saat pelayanan pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas dikemas dalam pendidikan inklusif yang bertujuan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif. Bahkan dalam Surat Edaran Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas Nomor 380/C.C6/MN/2003, tanggal 20 Januari 2003, menyebutkan bahwa “Setiap kabupaten/kota diwajibkan menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan inkluusif di sekurang-kuranya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, SMK”.

Penerapan pendidikan inklusif mempunyai empat landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat. Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Hal tersebut sebagai pengakuan kebinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal (perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri) maupun horizontal (perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik).

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se-dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada.

Landasan pedagogis terdapat pada pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat.

Landasan Empiris yaitu berupa pengamatan atau berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari penemuan. The National Academy of Sciences (Amerika Serikat) mengadakan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982)

Hilangkan Diskriminasi!

Seorang Konsultan pendidikan inklusif dan disabilitas, Sue Stubbs (2002: 37) mengatakan, bahwa konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi ‘Pendidikan untuk Semua’, dan ‘Peningkatan mutu Pendidikan’. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa pendidikan inklusi merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk belajar dan berprestasi.

Dari beberapa persepsi tentang pendidikan Inklusif, dapat diambil dua poin yaitu pertama “Pendidikan untuk semua”. Pendidikan inklusif menghapus diskrimasi yang membedakan anak dalam hal fisik dan kelainan mental yang ada pada siswa. Sekolah menerima semua anak baik normal maupun ‘tidak normal’ menyatu dalam satu kelas pembelajaran. Dengan penanganan sama rata ini, anak disabilitas merasa tidak dibedakan dalam segala hal. Mereka juga mendapatkan ilmu bersosialisasi dengan teman sebaya. Siswa lain yang ‘normal’ juga dididik untuk menerima perbedaan.

Yang kedua adalah “pendidikan inklusif dapat meningkatkan mutu pendidikan”, karena dengan menerima anak yang berkebutuhan khusus di sekolah umum, dapat menurunkan angka putus sekolah baik di daerah pelosok maupun di perkotaan. Dengan mudahnya mendapatkan pendidikan, anak berkebutuhan khusus dapat menerima pendidikan yang relatif murah dan terjangkau dari rumah. Masyarakat di daerah terpencil dapat menyekolahkan anak dengan jarak yang dekat dengan rumah tanpa harus mencari sekolah khusus yang tentunya terletak di pusat kota.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan dan mutu sekolah inklusif, perlu perhatian dalam pelaksanaan pendidikan inklusif ini: a) Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak, b) Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang interaktif, c) Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya alam lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, d) Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan, e) Kepala sekolah dan guru yang nanti akan jadi Guru Pembimbing Khusus (GPK), harus mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi, f) GPK harus mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK, g) Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengetahui ABK dan tindakan yang diperlukan, h) Mengadakan bimbingan khusus, atas kesalahpahaman dan kesepakatan dengan orang tua ABK, i) Mengidentifikasi hambatan berkait dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

Selain beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan inklusif, komponen penting yang harus ada untuk keberhasilan sekolah inklusif yaitu : a) fleksibilitas kurikulum/ bahan ajar, b) tenaga pendidik/ guru, c) input peserta didik, d) lingkungan dan penyelenggara sekolah, e) sarana dan prasarana, dan evaluasi pembelajaran. Dalam sistem pendidikan yang menghapus diskriminasi, masyarakat telah memiliki payung hukum yang jelas dengan adanya sekolah-sekolah inklusif.

Upaya-upaya pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi melalui Undang-undang atau Peraturan Pemerintah merupakan bukti nyata bahwa pendidikan untuk semua, dapat terjangkau semua kalangan. Namun, dalam kenyataannya dengan berbagai alasan banyak sekolah yang masih keberatan untuk menerima siswa berkebutuhan khusus ini. Jikapun menerima, sekolah tersebut terkadang pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan dan tidak sesuai dengan konsep pendidikan inklusi itu sendiri. Selain itu permasalahan-permasalah teknis lain berkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, masih banyak perlu mendapat perhatian dari pemangku kebijakan.

Dalam kasus yang serupa, banyak sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi belum siap dalam menghadapi pembelajaran yang menyatukan anak berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya. Kendala yang muncul, anak berkebutuhan khusus sulit bersosialisasi dengan siswa lain karena mereka merasa berbeda dan kadang olok-olokan muncul pada siswa yang berteman dengan ABK. Guru pun mendapat tantangan baru dengan mendidik siswa berkebutuhan khusus yang berdampingan dengan siswa ‘normal’ lainnya. Pencapaian nilai akademis siswa ABK dengan siswa lainnya juga menjadi kendala mengapa anak ABK tidak bisa mudah berjalan beriringan.

C. KESIMPULAN

Fenomena anak ‘tidak normal’ dan anak yang normal adalah problematika yang memunculkan gagasan pendidikan inklusif yakni pendidikan yang menghapuskan perbedaan. Gerakan dunia pendidikan untuk semua adalah bukti bahwa hak anak untuk mendapat pendidikan yang sama tanpa mendiskriminasikan anak yang cacat dengan yang tidak normal.

Dalam menggerakkan pendidikan inklusif di Indonesia, meningkatkan mutu pendidikan anak bangsa adalah tujuan utama. Dengan adanya sekolah Inklusif, masyarakat dapat mengakses pendidikan untuk anak mereka dengan mudah dan minim biaya. Selain itu, sitem pendidikan inklusif merupakan bukti bahwa bangsa kita tidak menerima perbedaan dalam memberikan hak didik pada semua anak bangsa, baik yang berada di pelosok nusantara maupun di pusat kota.

Meskipun upaya-upaya pemerintah dalam melaksanakan pendidikan inklusif sangat gencar, namun banyak juga kendala yang muncul terkait dengan implementasi di lapangan. Kurang siapnya para pendidik dalam melaksanakan sistem inklusif di sekolah. Lingkungan didik yang kurang mendukung dalam hal sosialisasi dengan teman sebaya juga perihal pencapaian nilai akademis siswa yang terlampau jauh dengan siswa lainnya.

Namun kendala-kendala yang muncul tersebut dapat diantisipasi dengan adanya pembekalan yang kuat terhadap para pendidik di sekolah inklusi dan adanya sosialisasi kepada siswa dan walimurid agar ada pemahaman perihal pendidikan inklusif di Indonesia. Di lingkungan masyarakat, perlu adanya sosialisasi tentang pendidikan inklusif agar mereka mendapat informasi yang jelas dan dapat mendukung langkah pemerintah.

Dengan harapan menyatukan segala perbedaan itu diharap para pendidik dan pemangku kebijakan dapat bersinergi dengan masyarakat agar anak berkebutuhan khusus tidak dijadikan penghalang, namun justru dirangkul dan digandeng agar mereka mendapatkan pendidikan yang sama dan merata.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih infonya tentang pendidikan inklusif...boleh saya copy pengertian pendidikan inklisifnya bu?

20 Nov
Balas

bisaa bun....

10 Feb



search

New Post