Melati melajukan motornya diantara barisan truk yang memadati jalan pantura siang ini. Aroma laut mambaur dengan asap knalpot yang menghitam. Sebentar lagi di pertigaan dia akan menuju tempat lamanya bekerja. Melati punya janji untuk berkunjung ke rumah salah satu mantan rekannya. Gerbang hitam itu sudah terlihat, sekumpulan orang menoleh melihat motornya mendekat.

Terpejam sesaat, memanggil ratusan memori indah. Aneh, tidak ada desir kebahagiaan di sana. Mengapa hanya hampa. Apa hati sudah terlanjur mati rasa. Kecewa dan amarah pernah meraja, namun ketika ikhlas datang semua laksana debu masa lalu belaka. Mungkin begitu cara jiwanya menyembuhkan diri.

“Mengapa tidak mau berjabat tangan”, riuh mereka memprotes Melati yang tersenyum di ujung serambi. Korona menjadi alasannya untuk tak kontak fisik, namun sebenarnya disudut sepi ada rasa enggan menyelimuti. Entah mengapa rasa percaya menjadi sirna namun tidak mau prasangka meraja. Tercerabut dari tempat yang bertahun dikenal hingga sudutnya. Ulah zalim sang penguasa yang menghamba dunia. Biarlah kelak waktu yang menyingkap tabir, siapa dalang dan apa yang akan dituai mereka kelak. Di balik jendela nyatanya sepasang mata sedang memindai dengan napas memburu penuh kebencian.