Fatir bosan menunggu bunyi kebahagiaan. Bel sekolah yang berdentang adalah tanda kemerdekaannya. Dia bisa segera berlari pulang menuju kamarnya. Tempat dimana dia bisa sembunyi dari hiruk pikuk dunia yang tak ramah padanya. Sejenak dia bisa berpura-pura semua baik-baik saja. Tinggal terpejam melambungkan jutaan khayalan yang indah tentang masa depannya.

“Ayah Ibu aku mau beli mainan itu” rengek Fatir manja pada kedua orangtuanya. Hari ini dia senang karena mereka mengajaknya pergi ke pusat perbelanjaan. Setumpuk baju, mainan dan berbagai makanan enak dia minta dan semua dituruti. Sungguh hidup ini menyenangkan serasa di surga. Rumah dan mobil mewah, serta uang yang banyak menjadi simbol kemakmuran keluarga mereka. Anehnya tiba-tiba ada sedikit nyeri yang terasa.

Kedua pasang mata itu sayu memandangnya. Ingin memeluk namun hanya udara hampa yang tertangkap tangannya. Fatir tergugu menekankan rindu. Perlahan Fatir bangun menyingkap sarung lusuhnya, dan mengusap air mata. Entah ini sudah mimpi keberapa. Dari balik dinding bambu yang berlubang dia melihat pemandangan dihalaman belakang. Sepasang nisan orang terkasih yang tidak pernah dikenalnya sejak hadir di dunia. Fatir beranjak untuk mandi dan kembali pada dunia nyata yang keras pada dirinya.