Rasa ngeri hadir saat aku teringat padamu. Entah dimana hilangnya rasa simpati yang pernah ada. Meski enggan membenci, namun sebaiknya kita tak saling bertemu muka. Masih tersimpan tanya, apa salahku padanya hingga dia tega menabur garam diatas luka.

Takdir membuatku tersingkir tanpa tahu alasan dibalik semua itu. Tercerabut dari zona nyaman bekerja hingga jauh puluhan kilometer dari rumah. Uang, jabatan dan koneksi bisa mendukung sebuah rekayasa manusia. Hanya pada Allah kupasrahkan segalanya. Di tengah pengobatan anakku yang sakit-sakitan, aku berhenti menganggap siapapun dalangnya sebagai manusia.

Bertahan dan berjuang menjalani semua dengan dukungan orang-orang tercinta. Mereka yang tulus tak banyak bicara, tak butuh pengakuan namun dengan cekatan meraup asaku yang pernah retak berserak. Allah kuatkan jiwaku dan ragaku, beratnya cobaan disertai beragam fitnahan. Aku hanya manusia biasa yang bisa lelah dan terluka. Ada saja orang yang tega memanfaatkan suasana demi kepentingannya. Berpura-pura lugu seakan membenarkan semua perbuatannya yang lalu adalah pengaruhku. Biar saja dia berbuat sesukanya, aku sudah tak peduli lagi. Satu keinginanku pada Allah terucap lirih, “aku tak mau lagi satu bendera”.