I Ketut Widiastawa

Menulis adalah tantangan. Merelakan diri lakoni dengan ketulusan hati merupakan sebuah yadnya. Lahir di Bangli 19 Desember 1968. Istrinya, Made Sri...

Selengkapnya
Navigasi Web
ROBOHNYA CINTA KAMI
Image by Google

ROBOHNYA CINTA KAMI

ROBOHNYA CINTA KAMI

Oleh I Ketut Widiastawa

T690

Petang itu dia datang. Janjinya untuk memberikanku kado ulang tahun tak diingkari. Awalnya, aku tak menyangka dia akan senekad itu. Chatnya di WhatsApp saat pagi-pagi buta, aku pikir cuma bercanda. “Boleh aku ke rumahmu bawa kado ultah untukmu?” tanya Dewa di WhatsApp. Aku jawab sekenanya. Sebenarnya aku juga tak berharap. Seperti biasa aku melakukan aktivitas pagi. Membantu kedua orang tuaku, meskipun hari itu tanggal merah, tak pernah aku abaikan. Ya, tanggal dua puluh lima Desember, hari raya Natal sekaligus hari bahagiaku.

Kegiatan mebanten dan sembahyang di sore hari tak pernah aku lupakan. Ibu dan ayah selalu mengajariku untuk taat menjalankan ajaran agama. Setelah selesai sembahyang sore aku duduk santai di ruang keluarga. Kedua orang tuaku sedang di dapur akan siap-siap santap malam. Tiba-tiba gawaiku berdering. Ada pesan masuk melalui WhatsApp. Lewat pesan singkat itu, Dewa mengabariku bahwa dia sudah menunggu di depan pintu gerbang rumahku. Aku sempat terkejut juga. “Ternyata ga main-main”, batinku. Lalu bergegas aku keluar menemuinya. Kulihat Dewa telah parkir di depan rumahku.

“Happy birthday Ayu!” bisik Dewa seraya menyerahkan bungkusan kecil.

Aku tak dapat berkata apa-apa. Mataku berkaca-kaca. Terharu dan bahagia. Kuterima kadonya dengan ucapan terima kasih. Belum sempat aku menyuruhnya masuk ke rumahku, Dewa telah menggeber motornya. “Maaf aku buru-buru! katanya sambil melambaikan tangannya.

Kupandangi tubuh kerempengnya, hingga menghilang di tikungan jalan. Beberapa saat aku seperti orang linglung. Aku segera masuk ke rumahku, terasa ada getar-getar aneh menyeruak ke sekujur tubuhku. Malamnya, mataku sulit kupejamkan. Rasa penasaranku menjadi-jadi. Adakah Dewa menyimpan rasa kepadaku? Dewa adalah teman sekelasku, di sebuah sekolah menengah pertama di kotaku. Dia tak pernah menunjukkan gelagat rasa suka padaku. Dia sering membantuku terkait urusan pelajaran. Dia juga sering jalan bareng bersamaku saat pulang sekolah. Kebetulan rumah kita searah.

Kubuka kado pemberiannya. Ada benda menarik yang ada dalam bungkusan kertas itu. Boneka panda kecil, kalung bermahkota permata merah darah berbentuk love dan farfum kecil. Semua benda itu bertuliskan love. Tulisan asli dari pabriknya sepertinya. Anehnya tak ada sepatah kata pun tulisan tangannya yang berisi kata love. “Happy bhirtday buat Ayu, semoga Panjang umur, Bahagia, dan makin sukses” hanya ini yang dia tulis, pada selembar kertas kecil diselipkan di antara benda itu.

Berawal dari sebuah kado, akhirnya aku dan Dewa berpacaran. Selanjutnya aku dan Dewa sering bersama. Setiap ada kegiatan sekolah kami sering bersama. Di kelas, nilai pelajaran kami selalu bersaing. Kami telah sepakat, pacaran tak boleh mengganggu pelajaran. Bahkan Dewa makin semangat belajar. Diskusi tentang pelajaran pun sering kami lakukan lewat WhatsApp. Saat akhir tahun pelajaran kami dinobatkan sebagai juara umum kembar, karena semua nilai mata pelajaran kami sama. Jumlah seluruh nilai semua mata pelajaran kami juga sama. ***

Lima tahun yang lalu semua kisah biru itu terus terngiang dalam memoriku. Semua kisah indah itu terasa baru kemarin terjadi. Di Bukit Cinta aku duduk sendiri. Di sinillah Dewa menyatakan seluruh perasaannya. Mendengar keseriusannya saat itu, akupun tak mampu menolak permohonan cintanya yang tulus. Saat di jenjang sekolah menengah atas, kami berbeda sekolah. Aku sekolah di SMA negeri terpavorit di kotaku, Dewa di SMK Negeri yang juga pavorit.

Walau kami berbeda sekolah, tak menyurutkan rasa cinta kami. Kami selalu saling memotivasi hingga aku dan Dewa meraih juara umum. Dengan berbagai prestasi yang telah kami raih, api cinta kami kian membara. Seperti slide film, kisah pakaian putih abu pun tak pernah sirna.

Sore itu, seperti biasa aku dan Dewa lari sore mengelilingi lapangan kota Bangli. Dewa bermimpi melamar menjadi polisi. Sedangkan aku bercita-cita melanjutkan kuliah di sekolah kedinasan. STAN adalah mimpi besarku. Aku pernah mengajak Dewa untuk sama-sama mengadu keberuntungan di STAN. Tapi ternyata Dewa tetap bersikukuh dengan pilihannya. Akhirnya, Dewa lulus seleksi POLRI. Dan aku lulus di STAN. Karena berbagai kesibukan, kamipun jarang dapat berkomunikasi. Terlebih di STAN, ada sistem gugur bagi mahasiswa yang turun nilai akademiknya. Aku tak boleh main-main. Aku mesti mengerahkan seluruh kemampuanku untuk bisa menamatkan pendidikan di STAN. ***

Aku dengar kabar bahwa Dewa sudah resmi menjadi anggota POLRI dan ditugaskan di luar Bali. Aku pun telah tamat dengan nilai yang sangat memuaskan. Aku diangkat di kantor perpajakan yang berada di salah satu kota di Bali. Kami telah sukses mengejar cita-cita. Namun, bangunan cinta kami oleng. Tak ada kabar dari Dewa. Aku pun tak berkabar, karena nomor WhatsApp-nya sepertinya telah tak aktif. Lama aku tunggu kabarnya, namun Dewa seperti gunung es. Beku dan dingin. Keluarganya juga tak tahu banyak keadaan Dewa.

Aku lemparkan pandangan ke bawah Bukit Cinta. Di bagian selatan tampak keindahan kota Bangli. Nun jauh di ufuk barat terlihat jelas warna sunset yang menggoda. Ya, di tempat ini dan kala sunset melukis di kaki langit, kenangan indah tak mampu kulupakan. Saat lamunanku melayang ke peristiwa lima tahun yang lalu, ponselku berdering. Ada pesan masuk ke WhatsApp-ku. Ada nomor tanpa nama. Aku makin penasaran, siapa yang mengirim pesan? Setelah aku buka pesan singkat itu hatiku seperti bangunan gedung yang roboh berkeping-keping digoyang gempa maha dahsyat. Dewa berkabar, bahwa dia akan menikah dalam waktu dekat. Di bawahnya ada undangan digital pernikahannya. Belum sempat aku buka undangan itu, mataku berkunang-kunang.

Selama ini, ternyata Dewa sengaja menghindar dariku. Pilihan untuk ditugaskan di luar Bali juga pilihannya yang terpaksa. Dewa tak ingin bertemu denganku lagi. Entah apa salahku, mengapa Dewa menjauh dariku. Penantianku selama bertahun-tahun berakhir sia-sia. Kesertiaanku hanya berbuahkan kekecewaan.

Di Bukit Cinta ini, lima tahun silam, Dewa menyatakan cinta tulusnya. Di tempat ini juga, saat aku duduk menyendiri, saat sunset maha indah tersaji di depan mataku, Dewa mengakhiri cintanya. Ya, cinta kami roboh. Tak terasa sejak pukul 16.00 wita hingga lukisan sunset di ufuk barat berubah gelap, aku masih duduk sendiri di Bukit Cinta. Segudang tanya di benakku tak mampu kutemukan jawabannya. Mestikah aku mengakhiri hidupku di tempat maha indah ini?

***TAMAT***

Bangli, 4 Januari 2023

mebanten* : mempersembahkan sesajen

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih admin, telah memuat karya saya.

05 Jan
Balas



search

New Post