ILA MAYA SUPRAPTI

Perbarui semangat, membuka diri dan selalu menyaring informasi dengan bijak...

Selengkapnya
Navigasi Web

Lembar-Lembar Harapan (1)

Menjadi guru penuh kejutan. Terutama tentang siswa dan lingkungannya. Cerita ini tentang Sumiati.

Tentang seorang gadis kecil berkulit sawo matang, wajah manis dan keriuhannya saat bicara. Andai saat itu ada kamera yang bisa merekamnya tak perlulah aku bercerita detail disini. Dia suka sekali memandangku saat mengajar didepan kelas. Kadang aku merasa risih. Malah cenderung salah tingkah.

Suatu kali aku bertanya padanya alasannya memandangiku terus menerus saat aku mengajar didepan kelas atau saat aku mengajarinya dimeja tempatnya mengerjakan tugas yang aku beri. Dia berkata dengan memandangku, seolah semua ilmu yang aku miliki mudah menyerap dalam otaknya. Aku tertawa mendengar jawabannya yang aku anggap konyol. Bahkan sejak jaman aku sekolah, tak ada satu teman bahkan kakak kelas dan adik kelas yang aku kenal bertingkah sepertinya selama sekolah. Dia ikut tertawa, bahkan lebih keras. Entah bahagia atau hanya sekedar sopan santun saja. Aku kemudian hanya mengangguk, takut membuatnya tersinggung jika aku menyangkalnya. aku ingin membuktikan melalui tes yang akan kuberikan dihari berikutnya. Bahkan rasa penasaran akan hasilnya membuatku tak bisa tidur saat malam.

Dia Sumiati

Seorang gadis yang mungkin tak akan pernah kutemui lagi.

Gadis ajaib yang bahkan mampu menentang bapaknya saat tahu telah menjodohkannya dengan lelaki pilihan keluarga. Sang Bapak telah merencanakan pernikahan Sumiati saat kelas 6 nanti. Alasan perjodohan pun aneh menurutku. Karena sang lelaki adalah yang pertama melamar. Jika ditolak akan berat jodoh. Aku tertegun saat mengetahuinya. Dan aku mengetahuinya dari surat-surat yang ia kirimkan melalui temannya, untukku.

Surat yang bercerita tentang isi hatinya, keadaanya, dan harapan-harapannya. Tak satu pun suratnya aku jawab. Aku takut. Takut jika Sumiati akan melaksanakan apa yang aku sarankan. Aku takut akan melukai keluarganya. Melukai harga diri bapaknya yang terlihat tak bisa ditawar.

Aku hanya berani menitip salam pada Fatimah, sahabat kentalnya yang memiliki keluarga moderat. Aku katakan bahwa aku mendukung apapun keputusan Sumiati sepanjang tak mempermalukan keluarganya.

Sebulan kemudian, sebuah undangan berwarna merah muda diberikan Fatimah. Titipan dari Sumiati, ucapnya sembari pergi berurai airmata. Undangan ditanganku terasa dingin dan seolah menyerap seluruh tenaga yang baru aku charge pagi itu. Setitik air menetes dari sudut mataku. Hidungku pun terasa panas dan berair tanpa mampu aku tahan.

Aku seperti kehilangan seorang kekasih.

Benarkah aku telah kehilangan anak brilian yang bahkan tak sempat aku perjuangkan?

http://ilaisland.blogspot.co.id/2017/08/lembar-lembar-harapan.html

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

sebenarnya ini ada sebagian kisah nyata. Sayang surat Sumiati hilang saat saya pindahan rumah :-p

06 Aug
Balas

Sumiati yang tegar dan kuat. Semoga bahagia kelak

06 Aug
Balas



search

New Post