ILA MAYA SUPRAPTI

Perbarui semangat, membuka diri dan selalu menyaring informasi dengan bijak...

Selengkapnya
Navigasi Web
LEMBAR-LEMBAR HARAPAN (3)

LEMBAR-LEMBAR HARAPAN (3)

Sumiati beranjak dari tempat duduknya. Dikibasnya dengan pelan rok baju yang menjuntai menyapu lantai. Ia menatap mataku dengan pandangan sendu. Dadaku berdentam menunggu reaksi Sumiati. Rasa bersalah bercampur haru membaur didalamnya. Sumiati mendekat dan semakin dekat. Aku hanya terdiam. Kamar ini serasa berpindah ke lembah terpencil. Karena suara yang aku dengar bukan lagi lagu-lagu yang diputar dipengeras suara. Melainkan bunyi sepatu Sumiati yang mendekatiku.

"Saya minta maaf, bu. Tidak menyambut Ibu didepan", ucapnya tertahan. Aku menatap kedua matanya yang basah tergenang airmatanya. Matanya masih bulat dan bersinar seperti biasa. Hanya saja, aku tak melihat semangat yang biasanya terpancar.

Aku memeluknya. Menahan tangisku dengan napas yang berat. Berusaha menahan airmataku membasahi gaun pengantinnya. Sumiati tersedu dalam dekapanku. Tubuhnya hangat dan harum. Tangannya memeluk pinggangku dengan erat.

Airmataku tak sanggup kutahan. Mengalir begitu saja. Hidungku serasa sesak oleh air. Kami tenggelam dalam tangis. Walau tak sama kesedihan yang kami rasakan. Tapi terasa nyata bahwa ini adalah kesedihan yang sama besar dan penyesalan yang tak tertahankan. Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa sangat terikat dalam kehidupan muridku. Membayangkannya menikah dalam usia sangat belia. Bahkan membayangkan saja aku tak mampu. Begitu kuatnya anak ini.

Dalam surat terakhir yang ia kirimkan, ada kata yang tak pernah aku bayangkan ditulis anak sekecil dia. KAta yang ia ambil dari 2 judul buku yang pernah aku bacakan rangkumannya saat senggang di sekolah. Rupanya ia memaknainya dengan begitu dalam. Ia mampu memahami artinya dan benar-benar mengambil hikmah yang tak semua anak bisa. Kata-kata yang aku pun mungkin akan sulit melakukannya.

...saya hanya seorang anak desa yang jauh dari kota, Bu. Bahkan ke kota sekalipun hanya dua kali setahun. Saya ingat cerita yang Ibu bacakan tiap istirahat saat kami berkumpul di kelas. Bu, Saya tak ingin jadi Siti Nurbaya, tapi saya juga tak mau jadi Malin Kundang. Tolonglah saya, Bu. Balaslah surat saya walau hanya satu kata,Bu. Agar saya memiliki kekuatan untuk memilih keputusan sebelum terlambat.

Seorang anak dengan mimpi besar. Terhenti karena budaya yang salah kaprah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih atas komentarnya. Semoga berkenan untuk kelanjutan ceritanya.

20 Aug
Balas

Seringkali nilai-nilai luhur setiap keluarga itu berbeda. Semoga bisa diambil manfaatnya.

20 Aug
Balas

Cerpen yang luar biasa ...

20 Aug
Balas

Ehm.. Si Sum yang mampu menggetarkan hati. Sip. Bu

20 Aug
Balas



search

New Post