Tiga hari berlalu, malam itu suamiku akhirnya pulang. Tak ada yang berubah, aku menyambutnya seperti biasa, kusediakan teh hangat kesukaannya, malam itu aku biarkan suamiku menikmati suasana rumah dengan nyaman, tidak banyak yang kami bicarakan.

Suamiku kelihatan lelah, rasanya tidak pantas kalau aku menghakiminya dengan pertanyaan yang bisa menyulut emosi. Kubiarkan dia tertidur lelap, saat dia tertidur kupandangi wajahnya, serasa ada duri yang menghujam tubuhku. Haruskah aku kehilangannya?, aaahhh laki- laki yang beberapa tahun ini sudah mengisi hidupku, memberiku perlindungan dan cinta yang tiada habisnya.

Benarkah, suamiku sudah berpaling kepada sahabatku Asti, tidak terasa airmataku menetes, tidak rela rasanya kalau rumah tanggaku yang sudah kupupuk dengan cinta ini harus berakhir karena keisengan sahabatku.

Tidak sedikitpun mataku terpejam, detak jarum jam, dengkuran halus suamiku menemaniku di keheningan malam.

Akhirnya kuputuskan untuk menulis surat, di surat itu aku ceritakan tentang Asti, aku meminta maaf karena tiap orang memiliki pilihan, aku lebih memilih untuk pulang, "aku memberimu satu kesempatan untukmu mas, tetapi aku ingin kamu datang dan menjemputku, di tempat dimana dulu kamu pernah memintaku untuk menjadi istrimu, di tempat yang membuatku tak pernah berhenti bersyukur karena sudah menemukanmu dan memilihmu menjadi laki- laki satu- satunya dalam hatiku".

Kuambil tas berisi pakaian yang memang sudah kusiapkan, sekali lagi kupandangi wajah suamiku, satu harapanku,semoga dia lebih memilihku dan menjemputku.

Yang kutahu pasti, saat ini cinta kita sedang diuji, semoga kita berdua bisa melaluinya.

" aku menunggumu disana mas" bisikku. Kulangkahkan kaki, kutinggalkan rumah yang penuh dengan cinta, aku pasti kembali.