Imam Sibaway

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Nita, Gadis yang Menunggu Jodoh

Sebut saja namaku Nita, satu-satunya anak perempuan di keluargaku, anak kedua dari tiga bersaudara. Berbeda dengan dua saudaraku, yang sekarang kuliah dan bekerja di kota. Sesuai adat dan kebiasaan di desaku, tidak ada anak perempuan selepas SMA yang bekerja di luar desa, bahkan tidak ada pikiran yang terbersit untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, yang ada hanyalah pikiran untuk bekerja sementara waktu di desa sambil menunggu ada lelaki yang datang ke rumah untuk melamar. Begitupun juga dengan aku, apalagi dengan keadaan kedua orang tuaku yang sudah tua, yang hanya petani biasa, yang hanya mengandalkan sebidang sawah di belakang rumah untuk ditanami padi, itupun hanya sekali setahun, karena di desa kami sangat mengandalkan air hujan untuk bercocok tanam. Di musim kemarau, biasanya sawah kami tanami jagung ataupun palawija, yang hasilnya tidak seberapa, tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beruntung sekali, ada Kak Dito, yang selepas kuliah telah bekerja sebagai supervisor di pabrik baja di pinggiran kota Surabaya, yang membantu perekonomian keluarga. Sedangkan aku, karena tidak boleh bekerja di luar desa, maka aku membantu ayah menjadi guru ngaji di musholla dekat rumah, tak seberapa gajinya, hanya cukup untuk beli pulsa sebulan, karena memang mengajar mengaji di musholla bukan pekerjaan sebenarnya, niatnya membantu membekali pendidikan agama ke anak-anak di desa.

Di desa, di kalangan para pemuda, aku kurang populer, selain karena parasku yang tidak terlalu cantik, aku juga jarang keluar rumah, karena “trayek” perjalananku hanya rumah-musholla-warung sebelah rumah. Meskipun begitu, tidak jarang ada pemuda dari desaku atau desa tetanggaku yang ke rumah untuk melamarku, mungkin mereka lihat kesantunanku dan keberbaktianku pada orang tuaku. Beberapa ditolak sama bapak karena lihat kepribadiannya dan beberapa karena memintaku tinggal di rumahnya setelah menikah. Memang dari awal, salah satu syarat yang kuminta ke Bapak mengenai calon suamiku adalah aku tetap tinggal di rumah Bapak, karena selain untuk merawat Bapak dan Ibu, juga untuk tetap mengajar ngaji di musholla dekat rumah. Sebenarnya ada satu pemuda di desaku yang aku damba, namun ia sekarang kuliah di kota, dan entah kapan kembali ke desa. Biarlah aku menunggu jodohku di rumah ini, sambil menemani hari-hari tua Bapak dan Ibuku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Gadis yang tabah...

04 Apr
Balas



search

New Post