Ina IP

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Buntu- 1
Photo Credit : Moh Indro Cahyono via FB

Buntu- 1

H+2 selesai pelatihan, naskah buku belum ada perubahan, masih sama, kosongan. Kemarin seharian Namdwa bolak balik pesan makanan via online, dari kopi, bakso sampai sate. Hasilnya sama, tidak ada perubahan pada naskah. Beginikah yang namanya buntu yang dihadapi para penulis? Hanya bedanya mereka penulis populer, biar seberapa lama juga bakal ditungguin pembaca setianya, lah anda siapa? Buku satu juga belum punya, udah ikutan buntu kaya penulis veteran aja, ngaku- ngaku,ga tahu malu. Pikiran Nam berkecamuk.

Di sela- sela pertapaannya kemarin, di depan laptop dikelilingin makanan pesanan, Nam mengarahkan kursornya ke icon whatsapp web dan tersambung ke akunnya. Dia lihat angka- angka di tiap pesan yang belum terbaca, pesan pribadi ataupun grup. Nam mengarahkan kursornya ke grup pelatihan penulis, Nam tergabung di grup itu atas ‘kontribusi’ sahabatnya, Ina. Dulu sekali Nam pernah menyarankan Ina mengambil kelas menulis dan mulai menerbitkan buku. Sebenarnya itu dikarenakan Nam merasa seseorang harus mengabadikan kisah persahabatan mereka. Tapi Nam tidak merasa punya waktu untuk itu semua, meski dia sungguh ingin kisahnya dituliskan dalam sebuah cerita. Maka ide itu dia teruskan ke Ina.

" Buku? Buat sekolahan?" Begitu respon Ina saat Nam pertama sekali mengemukakan idenya, respon yang ngaco, seperti biasanya.

" Buku kan ga harus buat sekolahan Na, ga pernah ke toko buku apa!" Demikian balas Nam kala itu yang hanya direspon Ina dengan “ hummm, ooh” sambil manggut- manggut lalu selesai, dia tidak terlihat tertarik melanjutkan percakapan yang buat Nam sangat penting itu.

Sampai kemudian di awal tahun 2021 ini Nam mendadak mendapat telepon dari Ina, memintanya mentransfer sejumlah uang ke rekening atas nama seseorang dan melakukan konfirmasi transferan ke nomor whatsapp yang dia sebutkan pula. Nam baru baru saja hendak menanyakan informasi lebih lanjut perihal permintaan sahabatnya itu, namun Ina mengeluarkan dialog pamungkasnya :

“ boarding nih, buru- buru gue, ntar lanjut whatsapp” dan dia mengakhiri panggilan telepon begitu saja.

Nam haya menghela napas, memandangi HP nya, lalu melirik kertas catatan berisi nominal transfer, nomor rekening tujuan, dan nomor whatsapp untuk konfirmasi. Sejenak kesal menguasainya, dia tidak merasa perlu melakukan apa yang Ina minta, Buat apa? Memangnya dia siapa? Bagaimana kalau dana ini nantinya dipergunakan untuk tindakan kriminal? Nam tidak sudi terlibat, begitu prasangkanya. Nam menggigit kukunya, pertanda dia sedang dihadapka pada dilema. Sungguh Nam sangat ingin tahu tentang dana ini dan apa yang akan atau sudah lakukan Ina dengan dana itu. Satu- satunya cara untuk bisa dapat penjelasan adalah dengan mengabulkan permintaan sahabatnya, transfer dananya dan konfirmasi ke nomor whatsapp tertera.

Nam memandangi kertas catatannya, menimbang, bimbang. Nominalnya tidak besar, kecil sekali kemungkinan Ina melakukan tindakan kejahatan, apalagi masal dengan modal sekecil itu, lagipula sekalipun dia bukan anak yang tepuji, tapi dia tidak akan mempertaruhkan reputasinya sehingga masuk daftar cekal dalam dan luar negeri, karena jika demikian maka Ina akan kehilangan haknya sebagai warga negara, untuk keluyuran dengan bebas. Nam membuka kunci layar HP nya kembali, lalu menyentuh tombol sebuah bank swasta terbesar di Indonesia.

Demikianlah awal mulanya, hingga hari ini Nam ada di sini, berkutat dengan deadline satu bulan untuk menyelesaikan buku pertamanya. Ya, ternyata nominal transfer yang dimintakan Ina beberapa minggu lalu itu adalah biaya pendaftaran untuk mengikuti pelatihan mengikuti workshop menulis bagi pemula, dimana pada akhir projek adalah pendampingan membuat buku bagi para pesertanya.

Ina ternyata salah mengingat pembicaraan Nam dengannya tentang menulis buku. Entah bagaimana, Ina berpikir Nam ingin menulis dan menerbitkan buku, padahal saat itu Nam menyebutkan bahwa Ina lah yang harus menulis buku untuk membagikan kisah persahabatan mereka, agar bisa dibaca banyak orang, karena Nam merasa kisah mereka sangat menarik, terlebih karakter Nam yang sanggup berteman dengan sosok yang bertolak belakang dengan karakternya. Ina yang berstatus guru les kampung online itu memiliki banyak waktu luang dibanding Nam yang memiliki pekerjaan tetap dan posisi penting di kantornya. Jadi, Nam merasa Inalah yang harus mengerjakan buku tersebut, bukan dia.

Namun apa hendak dikata, saat ini Nam lah yang tergabung di grup pelatihan tersebut, dengan tertib pula Nam mengikuti seluruh rangkaian workshop dan menyelesaikan seluruh tugas yang diberikan. Sehingga sampailah Nam pada tugas terakhir, pembuatan naskah buku perdanya yang memiliki deadline tiga puluh hari.

Nam membuka grup whatsapp para penulis tersebut, membaca satu per satu pesan, kadangkala Nam berpindah halaman ke Gurusiana, saat Nam mengklik tautan dari para penulis yang baru saja menyelesaikan karya terbaru dan menayangkannya. Tidak lama kemudian, Nam sudah ikut nimbrung dalam pembicaraan di grup, berbalas pesan dan berbagi motivasi untuk menyelesaikan naskah buku. Sampai kemudian, sang ibu editor yang jeli menangkap keluh kesah Nam tentang idenya yang tidak muncul- muncul.

“ Nanti habis maghrib saya telepon ya” begitu bunyi pesan bentuk perhatian sang editor.

Nam mendadak bahagia sekaligus panik. Editor penulis itu akan menghubungi langsung, pikirnya melayang senang. Tapi tunggu dulu, selain dengan Ina, Nam tidak pernah berbicara dengan siapapun berlama- lama. Nam harus bagaimana nanti? Apa yang harus Nam persiapkan? Naskah Nam belum selesai dan Nam tidak punya bahan obrolan. Ina, harus Ina, demikian pikir Nam. Hanya Ina yang bisa menyelamatkannya saat ini, Ina lah yang harus bicara dengan ibu editor ditelepon. Ina tahu cara bicara, seperti dia selalu tahu bagaimana berkomunikasi dengan Nam yang sangat introvert, kaku, dan panikan ketika berbicara dengan orang yang baru dikenalnya.

Nam segera menelepon sahabatnya itu. Lama Nam mendengar nada panggil, Nam tahu Ina pasti sedang ada di jalanan, bukan di rumah seperti dirinya dan kebanyakan orang- orang patuh dan taat aturan PSBB lainnya yang tertib ada di rumah saja.

“ Yes, kakaknya kenapa?” demikian sapa Ina saat dia akhirnya mengangkat teleponnya.

“ Ibu editor mau telepon” Jawab Nam

“ Editor?” tanya Ina

“ Yang dari pelatihan menulis” Balas Nam

“ Wih, kece, buku lu udah jadi? Gila, itungan hari?" Respon Ina lagi

“ Justru itu, gue ikutan bilang kalau gue lagi buntu ga punya ide buat lanjutin naskah, nah ibu editor mau telepon gue buat ngobrol- ngobrol” Beber Nam

“ heumm” Demikian sayup- sayup Nam mendengar suara Ina

“ koq "heum" sih, gimana donk? Gue panik. Lu dimana si? Suara ga jelas banget” Cecar Nam

"Di supermarket, ada promo beli 2 gratis 1, gue lagi cari temen buat beli itu produk. Lu tunggu lah itu ibu editor, kan bagus si ibu mau bantuin, ngapain lu aduin ke gue?” Kali ini suara Ina semakin mengecil volumenya.

“ Tapi Na, gue takut. Kan lu tau gue paling ga bisa komunikasi ama orang baru. Tolongin gue” Rengek Nam langsung.

“ Gue?” tanya Ina kali ini.

“ Ya elu lah, kan elu yang daftarin gue ke pelatihan itu, pokoknya lu yang harus ngomong sama ibu editor. Tolongin gue” Pinta Nam sedikit memelas kali ini.

“ Yaudah gue telepon ibunya, gue ngaku jadi elu pake nomer lain, gitu kan maksud lu?”

“ Beneran?’ Nam memastikan.

“ Iya, ntar gue atur, mau rebutan diskonan dulu gue, dah ya" Jawab Ina dengan cepat dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Namdwa kembali hanya bisa menghela napas, memandangi teleponnya yang sudah kembali ke layar standby. Ada kalut menggelayut. Ina tidak bisa diganggu saat dia sedang hunting promo tiket, rebutan diskonan, dan saat dia mengajar, meski cuma ngajar les. Tapi Nam tidak punya pilihan lagi, Nam hanya bisa berdoa semoga Ina kali ini sukses mendapat diskonam yang sedang dikejarnya dan segera melanjutkan misi menelepon ibu editornya.

Nam baru selesai makan malam, saat dia kembali ke kamarnya, dan mendapati panggilan whatsapp tidak terjawab dua kali di layar HP nya. Bola mata Nam seperti hendak keluar dari tempatnya, saat Nam mendapati bahwa yang telepon adalah ibu editor. Keringat dingin bercucuran di wajahnya, kedua tangannya bergetar. Nam mulai komat kamit, mengutuki Ina. Nam tahu, Ina pasti gagal menunaikan tugasnya karena masih sibuk mengejar diskonan. Nam menutup rapat matanya, menghela napas panjang. Diraihnya laptopnya, dan dia tenggelam dalam usaha merangkai kata, untuk menyampaikan permintaan maafnya pada ibu editor karena tidak mengangkat telepon dari nya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga kebuntuan segera mencair mba

26 Jan
Balas



search

New Post