Inayah Tarmidzi

I am an English Teacher of SMP Muhammadiyah 8 Bandung...

Selengkapnya
Navigasi Web

INAYAH, ANAK SUKU JAWA DI PINGGIR JAWA BARAT

By Inayah Tarmidzi S.Pd.

Guru SMP Muhammadiyah 8 Bandung

Inayah, adalah nama yang diberikan orang tuanya. Mereka berharap dia menjadi anak yang peduli terhadap yang lain. Inayah dilahirkan di sebuah dusun kecil yg dikelilingi sungai yang sangat landai karena sudah dekat dengan muara d pantai utara.

Inayah dididik dengan sangat prihatin, "tidak ada kenikmatan yg dicapai dengan bermalas-malas" *No pain No gain*

Hanya untuk mendapatkan sarapan saja, Inayah harus bangun pagi, memberi makan ayam dan itik serta mengambil telurnya dan menukarnya ke warung terdekat dengan beberapa ikat kangkung dan tempe.

Hidup miskin bukan berarti jauh dari bahagia. Karena buatnya bisa mandi d sungai, menaiki gedebok pisang dari jembatan 1 hingga jembatan berikutnya adalah kebahagiaan.

Bersepeda bersama teman-teman menyusuri pinggiran pantai sambil mencari kerang juga kebahagiaan, meskipun ibunya selalu pasang muka tak bersahabat saat dia bermain melewati jalur pantai utara. Inayah dulu berfikir ibunya marah atau kesal ternyata itu hanya rasa cinta dan khawatir karena banyak truk dan bus besar yg melewati jalan itu.

Kampung tempat Inayah dibesarkan itu dilewati oleh jalan bersejarah buatan bangsa indonesia pada zaman pemerintahan Herman Willem Deandels, seorang Gubernur jenderal Belanda.

Kakek buyutnya ikut menjadi peserta kerja paksa. Dari kampungnya d kabupaten brebes beliau dipaksa mengikuti kerja tanpa upah membangun jalan pantai utara, untuk mempermudah pengiriman surat dan paket dari luar negeri untuk para tentara belanda d sepanjang pulau Jawa, terakhir beliau mengungsi di Indramayu, dan membesarkan anak cucunya disana, itu sebabnya bahasa warga kampung itu sama dengan bahasa tegal dan brebes.

Indramayu adalah nama kota d pesisir Utara Jawa barat akan tetapi kebanyakan warganya berbahasa Jawa dengan dialek Brebes atau Tegal.

Hari itu Jumat, cerah sekali. Jumat adalah hari yang sangat menyenangkan menurut inayah, karena dia pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Setelah Pak Taswid,gurunya mengumumkan bahwa hari sabtu akan ada pemutaran Film “Pemberontakan G 30 S PKI” Merupakan film perjuangan pahlawan Revolusi di Indonesia.

“maaf pak.. apa kita harus membayar untuk menontonnya?”inayah bertanya dengan penuh cemas

“ ya nak.. besok kita harus patungan untuk menyewa perangkat Video dan sound systemnya” jawab pak Taswid. Sepontan raut wajah Inayah berubah tp tak mau bertanya lagi. Inayah pun langsung berpamitan dan berlarian pulang mengikuti teman-temannya.

“Asih, apa kamu mau k sekolah besok?”tanya inayah sedikit berbisik.

“pasti dong.. kamu juga kan?” desak Asih

“entahlah belum pasti, aku tidak tega meminta uang pada ibuku, andai pak Taswid mengumumkan hari senin , mungkin aku bisa menyisihkan 25 rupiah per hari dari uang jajanku dari Senin hingga sabtu.” Jawabnya lemah.

“cobalah bicarakan pada ibumu, aku yakin dia akan memberimu” ujar Asih sambil tersenyum. Inayah masih tetap melamun karena sudah tau kondisi ekonomi keluarganya. Orang tuanya harus membiayai anak banyak. Sementara Asih hanya dua bersaudara. Inayah adalah anak ke-11 dari 13 bersaudara. Rasanya mustahil ibunya mengeluarkan uang extra untuk menonton film di sekolah.

Setibanya d rumah Inayah langsung menyalami ibunya yg sedang berada di dapur.

“mak… boleh aku bantu emak? Tanya inayah saat ibunya memasak sambil menggendong adiknya , Mahmud.

“boleh, tapi kamu ganti seragammu dulu baru bantu emak”jawab ibunya. Inayah mengangguk dan langsung masuk kamar. 5 menit berikutnya dia sudah bergabung memotong singkong. Ibunya hendak membuat kolak singkong. Itu merupakan menu jajanan favorit buatan ibunya, karena Cuma hari Jumat dia bisa menikmatinya. Ibunya selalu menyambut ayah dan 7 kakak laki-lakinya sepulang sholat Jumat denga semangkuk kolak pisang. Sepertinya kurang cocok dimakan saat siang hari yang terik. Tp karena hanya itu yg kami punya dan yang spesial adalah dimasak oleh ibu dengan cinta. Akhirnya makanan ini menjadi punya ikatan perasaan yang dalam. Inayah menikmatinya dengan lahap.

Hari semakin sore tapi inayah belum berani meminta uang pada ibunya. Inayah bergegas mandi dan bersiap-siap hendak sholat magrib d surau.

“ina.. bantu kakakmu menyalakan lampu minyak dulu. Hari sudah mulai gelap” ujar ibunya.

Inayah langsung sibuk memasukan minyak tanah kedalam tabung2 lampu. Maklum kampungnya belum terpasang instalasi listrik PLN. Padahal kampungnya hanya 3 jam dari Jakarta. Usai membantu kakaknya inayah berpamitan k surau sambil mengajak adik perempuannya, Ani. Badan Ani tak jauh berbeda dengan Inayah. Umurnyapun hanya berbeda 13 bulan. Entahlah, sepertinya ibunya belum mengenal keluarga berencana atau KB. Setiap inayah menanyakan tentang KB ibunya selalu menjawab “kalo emak ikut program KB nanti ngga ada kamu dan sedikit yang mendoakan emak”.

Esok paginya inayah bergegas bangun kemudian mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Tekadnya sudah bulat untuk menyampaikan ke ibunya tentang iuran nonton film hari ini usai sholat subuh berjamaah dengan ibunya.

“150 rupiah? Mahal sekali “ respon ibunya saat mendengar permintaan inayah. Lalu ibunya melipat mukenanya. Inayah masih terduduk diatas sajadah sambil membayangkan teman-temannya yang ceria menonton film bersejarah itu.

“ina.. lipat mukenamu. Kamu harus bergegas jual beras ini k pasar sebelum pergi ke sekolah, uangnya bisa untuk membayar iuran film. Tp sebelumnya tetap kamu kerjakan pekerjaanmu yang rutin” ujar ibunya sambil menyodorkan 2 liter beras d dalam baskom.

Inayah melompat kegirangan sambil menciumi ibunya. Lalu bergegas ke kandang ayam untuk memberi makan ayam dan itik. Inayah mengumpulkan telur telur itik dengan riang. Tak lama inayah pergi ke warung dan pulang membawa beberapa sayuran dan tahu. Inayah tidak diperbolehkan mengkonsumsi telur. Kata pak Mantri karena terlalu sering mengkonsumsi telur bebek atau ayam maka badannya sering muncul bisul. Makanya inayah yang diberi tugas untuk menentukan menu hariannya. Inayah melirik jam dinding lalu bergegas mengenakan seragam sebelum pergi ke pasar agar bisa langsung ke sekolah.

Anak perempuan berkulit sawo matang dan berambut kemerahan itu berlari menuju tukang beras d pojok pasar tapi kedai itu terlihat ramai pengunjung.

Inayah bersyukur keluarganya tak kekurangan beras. Karena mereka masih bisa menggarap sawah peninggalan kakeknya. Ibunya selalu menhingatkan agar terus berhemat. 20 menit berlalu kedai beras itu mulai lengang. Inayah langsung menemui pedagang beras yang sudah mengenal keluarga inayah dengan baik. Inayah keluar dari kedai itu dengan membawa uang 150 rupiah. Inayah kembali melirik jam di kedai beras dan langsung berlari ke sekolah. Baju seragamnya mulai basah karena peluh. Akhirnya dia sampai ke sekolah dengan tersenyum lebar.😍

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow.. thank you. Salam kenal juga buat pak mulya. Saya pemula pak... hrs bnyk belajar.

07 Aug
Balas

Ah sama-sama belajar bu

07 Aug

Mengingatkan kehidupan ku saat kecil aku kelahiran 1979, inayah juga nama almarhum adik ku, salam kenal ibu inayah dari provinsi paling barat pulau jawa

07 Aug
Balas

Asyik ceritanya sangat menggugah perasaan

08 Aug
Balas

Thank you ibu.. saya lemah d penggunaan tanda baca dll. Ah.. lg nguji nyali aja bu...btw haturnuhun pisan

08 Aug



search

New Post