Indriati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Misteri Kotak Infaq (Kisah-Kisah Bulan Ramadhan bersama Anak 1440 H)

Misteri Kotak Infaq (Kisah-Kisah Bulan Ramadhan bersama Anak 1440 H)

Pengurus masjid dekat rumahku, Pak Anwar, merasa gusar. Kotak Infak di Mesjid selalu berkurang. Kotak infak tersebut terbuat dari kaca, sehingga kelihatan isinya dari bagian luar. Sebulan yang lalu kejadiannya beda lagi. Kotak infak hilang. Kisahnya begini. Malam itu kotak infak masih ada di sudut ruangan. Tapi setelah sholat Subuh, sudah raib. Kotak infak hilang lenyap. Beberapa hari kemudian kotak infak itu ditemukan tidak jauh dari rumahku. Ya, tentu saja isinya sudah tidak tersisa lagi. Pak Anwar bercerita panjang di Mesjid malam itu. Ia menyampaikan keresahannya padaku.

“Kali ini isinya yang berkurang. Masak bulan Ramadhan infak masjid bisa hilang?”, kata Pak Anwar. “Mestinya kita berinfak bukan malah mengambilnya”.

Sebenarnya, apa pentingnya aku pada masalah ini? Aku Cuma jamaah yang sesekali datang sholat berjamaah ke Mesjid.

Tapi hatiku tidak bisa merasa cuek. Cerita pak Anwar menjadi buah pikiran bagiku. Menurut ceritanya lagi, dia menjumpai potongan batangan lidi dalam kotak infak yang baru digantinya tersebut. Rasa penasaranku timbul. Hari berikutnya aku mulai merencanakan cara untuk menangkap pelakunya. Mula-mula ku pikir pelakunya mengambil uang dalam kotak infak setelah tadarusan. Tapi ini tidak mungkin. Karena selesai tadarusan pak Anwar sendiri yang menutup dan mengunci masjid itu. Kemungkinan berikutnya adalah selesai sholat Subuh. Pintu masjid memang terbuka setelah semua jamaah pulang. Tapi, itu kan pagi hari? Sepertinya tidak mungkin. Pada pagi hari, gerak setiap orang dapat diamati.

Tapi rasa penasaran, membuatku tidak lengah. Setelah subuh hari ke 7 Ramadhan aku siaga. Aku memperhatikan gerak-gerik setiap orang. Setelah selesai berdoa, aku mendapati semua jamaah telah pulang. Dan aku juga bergegas pulang. Di warung yang tak jauh dari masjid aku berhenti dan duduk di sana. Kemudian kembali ke Mesjid untuk mengetahui siapa pelakunya. Targetku pintu samping masjid. Karena di pintu ini, orang yang lalu lalang keluar masuk masjid tidak begitu kelihatan.

Aku melewati jalan yang menuju pintu samping masjid. Benar saja. Dari luar aku melihat sesosok berpakaian hitam. Dalam suasana pagi yang mulai terang, dia mengendap-endap masuk ke dalam masjid. Tanpa mengeluarkan suara, aku mengintip apa yang dilakukan sosok berpakaian hitam tersebut. Yap, mataku menangkap basah apa yang dilakukan sosok tersebut. Dia mengeluarkan selembar uang kertas dari kotak infak. Setelah berhasil mengeluarkannya sosok tersebut menoleh ke kanan dan kekiri. Kemudian berlari keluar masjid dengan perasaan senang.

Kini aku tahu pelakunya. Seorang anak tanggung yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Kali ini aku akan mengajarnya. Tekad kuat muncul dalam hatiku. Malam berikutnya aku melihatnya berjalan ke Mesjid dengan kawan-kawannya. Dia bercerita bahwa dia Membeli mercon yang begitu kuat ledakannya.

Aku memacu langkahku menghampiri rombongan anak-anak itu. Mereka menyapaku. “Assalamualaikum, Pak Guru”, kata mereka. Aku ikut bergabung dalam cerita mereka. Gelak tawa mereka menimpali semua ceritaku membuat Jemaah yang berjalan ke masjid memandang ke arah rombongan kami. Dan aku mulai dengan tujuanku.

“Siapa yang tidak puasa hari ini?

“Amir, Pak”, jawab mereka serentak.

Anak tanggung yang bernama Amir tersebut bukannya malu, tapi malah mengomentari, “Aku tidak sahur, mana tahan berpuasa”, dengan perasaan plong dia menceritakan kenapa dia tidak berpuasa.

Aku mulai membuat taruhan. “Kalau Amir bisa berpuasa, satu hari akan Bapak kasih uang 20 ribu”, kataku di depan teman-temannya.

Esoknya. dalam perjalanan ke masjid ku lihat Amir duduk di warung. Dia menunggu kawan-kawannya. Bukan untuk sholat berjamaah, tetapi sekedar meramaikan di luar saja. Melihatku, dia segera berlari kearahku.

“Aku minta janji Bapak, 20 ribu”, katanya tanpa malu-malu.

Aku mengulurkan uang yang ku rogoh dari kantung saku bajuku. Amir mengambil uang itu cepat. Janjinya 20 ribu”, katanya lagi membolak-balik uang yang ada di tangannya.

“Kamu kan tidak puasa. Tadi siang kamu merokok, kan?” kataku lagi.

“Tak ada pak, aku tak merokok”, kilahnya.

“Tadi kak si Ros menyampaikan sama Bapak, kamu membeli rokok di warungnya”, kataku tegas. Amir diam saja. Kemudian dia pun memasukkan uang 5 ribu tadi ke saku celananya. Dan pergi dari hadapanku.

Ramadhan berlalu hari demi hari. Setiap hari pula aku memberikan uang 5 ribu rupiah pada Amir.

Ini Ramadhan ke 19. Amir mulai terbiasa dengan pemberianku.

Seusai sholat tarawih, aku duduk bersandar di dinding masjid. Pak Anwar pengurus masjid menghampiriku. “Terima kasih Nak Guru, kotak infak kita sekarang selalu utuh. Kalau saja orang seperti nak guru banyak, pastilah masalah di sekitar kita bisa teratasi”, katanya sambil menepul-nepuk pundakku. Kini aku sadar bahwa pak Anwar sebenarnya tahu, siapa yang selalu mengambil uang di kotak infak tersebut.

Ramadhan ke 20, Amir sedikit berbeda. Bibirnya kelihatan kering. Mungkin dia berpuasa pikirku. Dari kak si Ros pemilik warung ku dapat kabar. Hari ini Amir sudah 3 kali bolak balik ke warung, tapi tidak membeli apapun. Seharusnya dia bisa membeli rokok dengan uang pemberianku semalam.

Malamnya. Sebelum aku sampai ke masjid, Amir memberhentikanku dan meminta uang 20 ribu. Aku tidak begitu saja memberikannya.

“Kamu puasa, Mir?”, tanyaku padanya.

Dia menggelengkan kepalanya.

“Lalu uang yang kemarin malam Bapak beri, kamu kemana kan?”, tanyaku lagi.

“Aku mau mengumpulkan uang supaya bisa ikut Bang Juki kerja menggali parit jalan di Palas”, jawabnya. Dia menyebut suatu tempat yang agak jauh dari kampung kami.

“Kenapa harus ke sana? Di sini juga banyak pekerjaan”, kataku pada anak yang ditinggal bapaknya ini. Amir bukan anak yatim. Bapaknya masih ada. Setelah ibunya tiada, Amir dititipkan pada neneknya. Bapaknya menikah lagi. Amir yang masih balita dirawat oleh neneknya yang sudah tua. Nenek Amir, sehari-hari bekerja membantu tetangga. Pekerjaan rumah tangga yang upahnya cuma bisa untuk mencukupkan makan dirinya dan sang cucu. Nenek berusaha menghidupi keluarganya dengan sisa-sisa tenaganya. Sementara keluarga yang lain tidak peduli. Mungkin karena mereka sama-sama susah.

Aku berusaha membujuk Amir agar tetap tinggal di kampung. Tapi bujuk rayu Bang Juki lebih kuat. Hari berikutnya, ku dengar Amir benar-benar berpuasa. Aku merasa tak percaya. Tapi nenek, teman-teman dan kak si Ros membenarkan hal itu. Aku mengikhlaskan uang 20 rb dalam kocekku. Dia dengan begitu senang, memasukkan uang hasil berpuasanya sehari itu.

Malam ke 22 Ramadhan. Aku tidak melihat Amir lagi. Menurut neneknya, dia sudah pergi mengikuti Bang Juki ke daerah Palas. Hatiku merasa kecewa, mengapa dia tidak mengikuti nasihatku. Perasaan kecewa yang tumbuh karena aku merasa telah menjadi bagian dari dirinya.

Selesai sholat tarawih, pak Anwar duduk disampingku. Dia menceritakan kotak infaknya berkurang lagi. Aku merasa bingung, siapa yang mengambil uang infak. Apakah Amir masih disini? Batinku bertanya-tanya. Nenek Amir bukanlah orang yang suka berbohong. Kehidupannya memang susah. Tapi dia sangat menyadari, berbohong hanya akan membuatnya bertambah susah. Dan aku sangat yakin Amir sudah pergi mengikuti bang Juki ke daerah Palas.

Pulang dari masjid aku melangkahkan kaki ke warung. Singgah sebentar saja untuk membeli makanan ringan kesukaan ketiga orang anakku . Beberapa tetangga yang berbelanja riuh bercerita. Terdengar seperti ada berita yang mengejutkan. Aku mendekat. Di situ, aku dengar bahwa Amir sudah di tangkap polisi. Dia mencuri di warung di daerah Palas. Kini dia berada di lembaga permasyarakatan anak-anak. Sungguh Amir, aku kecewa dan menyesal. Kecewa karena kau tidak mau mengikuti nasihatku untuk tidak pergi. Dan menyesal telah memberimu uang 20 ribu terakhir.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post