Indriati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Perlukah Hukuman Kekerasan dalam Pendidikan?

Bahasan hukuman pada dunia pendidikan sudah berlansung cukup lama dan panjang. Berdasarkan teori pendidikan masa kini dikatakan bahwa ada beberapa hukuman yang mematikan karakter anak. Kekerasan sangat dihunjam dalam dunia pendidikan masa kini.

Bagaimana dengan hal pendisiplinan terhadap anak?

Kemampuan berdisiplin setiap anak berbeda-beda. Sesuai tingkatan pemahaman dan daya tangkap anak terhadap stimulan yang menerpanya. Umumnya anak-anak yang pintar berbahasa akan mampu berdisiplin hanya dengan penguatan beberapa kata dari seorang pendidik. Berapa persen anak yang seperti ini? Belum ada penelitianya dalam dunia pendidikan (Jika saya salah, mohon ini dikoreksi)*.

Pemahaman anak-anak yang berada di dunia keteknikan, dimana penguasaan akan alat lebih mendominasi dari pada penguasaan terhadap bahasa, berbeda. Beberapa guru keteknikan yang keras lebih sukses dan dihargai dari pada yang hanya mengandalkan bahasa. Tapi ini pun guru tersebut tidak mesti melakukan kekerasan berulang-ulang. Setelah image anak terbentuk terhadapa karakter guru tersebut maka dengan mudah guru mengajari mereka disiplin hanya dengan penekanan nada bahasa seperti intonasi keras.

Tidak adanya wadah yang menaungi guru dalam pemberian hukuman untuk membentuk disiplin membuat masing-masing guru lebih cenderung melarikan diri terhadap masalah siswa. Hal ini karena karakter dan kepribadian guru tersebut yang tidak mampu mendisiplinkan siswa dengan bahasa. Apakah perlu pendidikan bahasa bagi pendidik? Saya sendiri termasuk guru yang melarikan diri terhadap masalah pendisiplinan siswa. Apakah anda termasuk guru seperti saya?

Undang Undang Perlindungan anak yang diluncurkan pada tahun 2012 yang menitik beratkan pada jaminan dan perlindungan anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara maksimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan didkriminasi. Berdasarkan Undang Undang ini, para guru sejak tahun tersebut sudah mengecam kekerasan dalam dunia pendidikan.

Sedangkan sesuai dengan Undang Undang No 35 Tahun 2014, Pasal 15 setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. Penyalahan dalam kegiatan Politik

b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata.

c. Perlibatan dalan kerusuhan social

d. Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan

e. Perlibatan dalam peperangan dan

f. Kejahatan seksual.

Sesungguhnya UU ini sangat memberikan rasa aman pada setiap orang tua yang menitipkan anaknya untuk di didik disekolah tersebut. Karena tindakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera dan cacat atau pun yang lebih fatal, kematian selama anak berada di sekolah dapat dihindarkan.

Hukuman hukuman yang terancam sangsi dari kedua Undang Undang ini Misalkan saja Hukuman berdiri di depan tiang bendera, hukuman berdiri di depan kelas dan hukuman berlari keliling lapangan. Hukuman ini dituding mematikan karakter anak dan mengandung unsur kekerasan. Padahal ketiga hukuman ini tidak menyakiti fisik siswa, yang tertunya dengan batas batas kewajaran. Yakni tidak menghukum siswa berdiri di depan tiang bendera misalkan saja sampai siswa tersebut tidak kuat lagi bahkan pingsa. Tidak menghukum siswa didepan berdiri di depan kelas dengan satu kaki sehingga membuat urat-urat kaki siswa menjadi kejang. Bagaimana dengan hukuman berlari keliling lapangan? Tentu saja ini adalah hukuman fisik. Tapi bagi siswa yang berkemampuan dalam bidang olahraga ini sangat disukai. Karena akan ikut menjajal kemampuan fisiknya.

Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud No 82 Tahun 2015, menyatakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan di sekolah maupun antar sekolah dapat mengarah pada suatu tindak kriminal dan menimbulkan trauma pada peserta didik. Peraturan ini mengantisipasi pendidik untuk tidak melakukan hukuman kekerasan pada peserta didik.

Mengutip kata Muhdjir Effendy bahwa sanksi fisik yang diberikan guru terhadap muridnya merupakan suatu hal yang bisa ditoleransi, membuat adanya ambiguitas opini dibeberapa kalangan pendidik. Dan saya termasuk pengikutnya. Dan ini sudah saya tuturkan dalam cerpen saya “Ramadhan Membawa Berkah”. Anda sebagai pendidik mau berdiri dimana? Saya kembalikan pada anda.

*Nb : Jika ada komentar-komentar terhadap tulisan ini saya mohon bantuan dari pakar-pakar pendidik media guru untuk berdiskusi dalam forum ini. Karena penulis membuat tulisan ini masih melihat referensi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post