Kebetulan, Takdir, dan Nasib
Saya punya seorang teman yang entah kenapa senang sekali bertanya-tanya banyak hal aneh pada saya. Mungkin ada hubungannya dengan saya yang selalu bersedia menjawab dan senang menawarkan diri untuk ditanyai.
Dan tadi, sekali lagi dia bertanya.
“Bro. Kebetulan, Takdir dan nasib. Beda atau sama?”
Waktu pertama melihatnya, langsung terbetik dalam pikiran saya satu komenter merendahkan, Yah… Pertanyaan klasik ini lagi. Tapi tidak saya suarakan. Yang saya suarakan ini;
“Jelas beda dong. Satu, kebetulan itu tidak ada. Kita saja sebagai manusia dan segala keterbatasannya yang bisa bilang bahwa ini, atau itu, adalah kebetulan. Contohnya kalau saya sama kamu kebetulan ketemu di kampus. Oke bagi kita itu kebetulan. Tapi bagi dosen yang memanggil kita di waktu yang sama untuk suatu keperluan, nah, bagi dia bukan kan? Sama juga kalau kita melihat atau mengalami suatu kejadian di kehidupan sehari-hari kita. Kita bilang waktu bertemu dengan si A atau si B di tempat ini atau itu, adalah kebetulan. Padahal bagi Allah yang menghendaki itu semua, bukan. Jadi sebenarnya kebetulan itu tidak ada, hanya persepsi manusia saja.
“Yang menarik itu takdir sama nasib. Kalau kata para motivator, Takdir sama Nasib itu bedanya ada di Usaha. Jadi kalau misalnya kamu sudah belajar lalu dapat nilai seratus, itu takdir. Kalau kamu rajin menabung dan rajin bekerja lalu jadi kaya, itu takdir. Tapi kalau kamu sudah bekerja, sudah berusaha, lalu gagal juga, itu nasib. Kalau kamu sudah berusaha PDKT, dan tetap gak jadian, itu nasib. Tidak bisa diubah.
“Pelajarannya disini itu bagaimana kita membedakan Takdir dan Nasib. Karena terlalu sering kita lihat orang-orang menggampangkan takdir, dan terlalu cepat berserah diri pada nasib. Belum bekerja dia sudah bilang, ngapain juga kerja, wong saya emang orang miskin. Atau ngapain gue PDKT ama dia, ngapain kenalan, gak bakalan jugalah jodoh. UDAH NASIB SAYA KAYAK GINI. Salah itu. Itu dia mencampurkan takdir sama nasib. Kalau gak ada usaha, gak ada hasil juga, itu berarti bukan Nasib kayaknya, itu Takdir. Kamu yang minta. Kamu yang mau kayak gitu. Kecuali kamu udah usaha, apa segala macam, dan tetap gak dapat. Ya baru deh, bisa bilang, YAH, NASIB. Tapi sebelum terjadi, sebelum usaha, Takdir selalu masih punya peluang diubah.”
Lalu dia bertanya lagi. “Oke Begini. Contoh nih, Si A punya teman rata-rata suka nyanyi. Ini takdir bukan?” Sekali lagi melihat ini, pikiran saya berkomentar.. Loh koq beloknya jadi aneh gini, ya. Tapi saya akhirnya paham juga apa maksud pertanyaannya, atau semoga begitu. Maka ini yang saya balaskan;
“Ini terjadi juga sama saya. Rata-rata teman dekat saya itu, orang yang suka membaca, suka buku, sama kayak saya. Padahal saya gak milih-milih teman loh. Jadi itu takdir atau nasib? Saya rasa itu awalnya takdir. Karena itu harus diusahakan juga loh, secara gak langsung. Orang yang selalu menyembunyikan dirinya, gak pernah nunjukin jati dirinya pada alam semesta, alam semesta gak bakal tahu. Alam semesta, tanda petik Rencana Allah, gak bakal peduli sama orang yang gak mau merubah dirinya, gak pernah nunjukin dirinya. Setidaknya bilang, Iniloh saya. Iniloh maunya saya, ini yang saya suka. Kalau gak pernah dikasi tau, alam semesta gak bakal tau, hasilnya, alam semesta gak bakal ngatur dunia ke arah yang kamu mau.
“Bahkan hanya sekedar keinginan hati, sekedar status fb, atau cerita ke teman, atau apa yang kau lakukan dengan sungguh-sungguh dalam sepi dan diam. Sekedar itu saja cukup loh untuk membuat alam semesta sadar. Iniloh saya. Ini yang saya mau. Ini yang saya sukai. Kalau kamu gak pernah bilang, saya tuh ini, saya itu penyanyi, saya itu penulis. Kalau kamu gak pernah bilang kayak gini, alam semesta gak punya urusan mengubah lingkunganmu dekat dengan ini.”
“Jadi misalnya ada orang yang suka nyanyi, suka musik, atau suka denger orang nyanyi, lalu ternyata kejadian teman-temannya juga sama-sama suka nyanyi. Berarti itu takdir yang tidak sengaja dia usahakan. Lalu lama-lama jadi nasib. Karena akhirnya alam semesta tahu. Si A atau si B ini sukanya ini, atau itu.”
“Ini bisa kamu google namanya LOA, Law Of Attraction, Hukum ketertarikan. Jadi lingkungan yang sekarang kita tempati ini, lingkaran pertemanan yang kita miliki, cenderung mencerminkan apa yang menjadi ketertarikan kita. Dengan kata lain, apa yang kita tunjukkan--baik secara sengaja atau tidak sengaja—kita tertarik pada itu.”
“Kembali ke pertanyaan kamu. Jadi kalau saya dikelilingi orang-orang yang suka nyanyi, itu takdir atau bukan? Tergantung. Kalau kamu memang orang yang suka nyanyi, atau musik, atau suka dengan orang nyanyi, berarti itu takdir. Tapi kalau ternyata bukan. Berarti itu nasib.”
Di tengah penjelasan yang saya rekam lewat VN itu (Voice Note, pesan suara), dia menambahkan satu lagi pertanyaan. Dan saya kembali membalasnya dengan jawaban.
Tapi saya rasa tulisan ini sudah cukup panjang.
Jadi kita simpan untuk lain waktu.
Salam.
.
57
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sudah serius baca ternyata bersambung
Dan entah kapan disambungnya.
Jadi bersambung ya, Pak! Lanjut gih!
Kalau inspirasi datang lagi.