Iqbal

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Mengidolakan

Kita senang membayangkan bahwa para idola kita adalah orang yang menyenangkan. Selalu bahagia dan tersenyum. Kita sadar, tentu, bahwa mereka adalah pekerja keras. Tidak mungkin kesuksesan semacam itu datang dari udara kosong atau usaha yang biasa-biasa saja. Pasti, ada kerja keras di belakang ketenaran mereka. Tapi hanya itu.

Kita kadang lupa mereka juga adalah manusia. Yang bisa merasa jengkel, marah, dan bahkan putus asa. Kita tidak mau membayangkan, bahkan sampai menolak percaya, bahwa artis A atau ustad kondang B, pernah, dulu, dalam satu masa kehidupannya melakukan hal tercela ini, atau melakukan tindakan buruk itu. Padahal semua itu hal yang sangat normal kita lakukan sehari-hari. Kita tidak bangga telah melakukannya, tapi ya, kita mengakuinya. “Itu saya yang dulu, tapi saya menyesal. Dan mau merubah.”

Apakah para idola kita tidak berhak untuk mengeluarkan pernyataan yang sama?

Saya akui, saya juga juga sekali-kali, masih sering jatuh dalam perangkap psikologis yang sama. Dan jika kamu adalah salah satu dari sebagian kecil yang ternyata tak pernah mengalami hal semacam ini, sanggup memandang semua manusia dalam hal yang sebenar-benarnya. Menerima bahwa siapa saja sanggup melakukan kesalahan dan berhak dimaafkan, maka selamat, anda orang yang beruntung.

Tidak begitu dengan sebagian besar dari kami.

Pertanyaannya, kenapa bisa itu terjadi?

Mungkin karena kita memandang mereka, para Idola kita itu, sebagai cerminan diri kita. Dalam versi yang lebih baik, tanda petik. Versi yang ideal. Maka semua fikiran negatif tentang idola kita enyahkan, tidak kita gubris beritanya, bahkan kita sangkal keberadaannya. Semuanya semata untuk melindungi imaji kita yang terlanjur sempurna di alam khayal kita tentang si Idola.

Jika memang begitu adanya, mungkin kita harus membuka mata dan menyadari bahwa Idola kita itu juga adalah manusia. Jika ada karya mereka yang kita nikmati, syukurlah. Jika kehidupan mereka menginspirasi, baguslah. Tapi cukup sampai situ. Tidak usah kita mengekori idola itu kemana-mana. Mem-follow semua akun medsosnya untuk merasa dekat dengannya. Terus memantau semua pergerakannya supaya tahu segala hal tentangnya. Bahkan sampai mati-matian membelanya jika diusik. Kalau perlu sampai main fisik, tak peduli si Idola benar salah atau tidak.

Pada akhirnya, kita juga harus lebih hati-hati dalam memilih idola. Karena jika kita tidak termasuk sekian persen dari jenis manusia yang tadi saya sebut. Yang sanggup memisahkan perspektifnya murni dari campur tangan pancaran persona si Idola, maka kita harus lebih peduli saat menikmati karya atau cerita. Jangan sampai tanpa kita inginkan, bahkan sadari, kita telah terbentuk menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Orang-orang terdekat tak lagi mengenali, bahkan parahnya kadang kita sendiri pun gagal mengidentifikasi diri.

Cukuplah para idola kita itu hanya menjadi semacam panduan. Tentang cara agar kita juga menjadi orang yang menyenangkan.

.

52

52
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tulisannya bagus, Saya suka!!!

08 May
Balas

Terima kasih bu. Makin rajin menulis.

09 May

Ternyata, harus selektif juga ya, pilih idola biar nggak keliru dan mencontoh yang salah. Siiip deh, Pak!

10 May
Balas

Terima kasih. Sama sama.

10 May

Wah cukup menginspirasi dallam memilih idola n mengidolakannya

09 May
Balas

Terima kasih. Komentar seperti ini memicu saya terus semangst menulis.

09 May



search

New Post