Selama aku menungguinya di rumah sakit, beliau sudah mulai ceria dan kembali menyampaikan nasehat-nasehat. Suatu malam beliau kembali bercerita,"Nak...kalau sekarang waktunya papa dijemput sama yang kuasa papa sudah ikhlas karena semua tanggungjawab papa terhadap kalian yang 10 orang sudah lepas. Papa sudah menyekolahkan kalian sesuai kekinginan kalian dan semuanyapun sudah memiliki pekerjaan tetap.

Aku tertegun mendengar ucapan beliau saat itu, kenapa akhir-akhir ini beliau sering menyebut kematian. Dalam lubuk hati yang paling dalam sebenarnya aku tidak suka beliau berkata seperti itu. Aku ingin beliau sehat dan menikmati kesuksesan semua anak-anaknya.

Melihat kondisi beliau sedikit membalik, aku minta izin pulang untuk mengisi rapor. "Pa...aku pulang dulu ya, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Lalu beliau menjawab, "ia Papa juga akan pulang". Saat itu aku berpikir mungkin beliau sudah rindu dengan rumah. Sebelum aku keluar dari ruangan rawatnya, aku kembali minta izin. "Besok aku kembali ya Pa". Lalu beliau menjawab, "Ya, Papa besok juga kembali". Aku mencium tangannya dengan penuh harap semua beliau diberi kesembuhan.

Dalam mobil menuju rumah, aku tidak sediktpun merasa khawatir tentang beliau. Karena jam sudah menunjukkan pukul satu, saya mampir dulu untuk makan siang. Baru beberapa suap nasi yang masuk ke dalam mulut, hpku berdering. Ada panggilan masuk dari kakakku. Aku bergegas mengangkatnya. "Dek....cepat kemabali ke rumah sakit, kondisi papa menurun, dari tadi beliau memanggil-manggailmu. Kerongkonganku tersekat dadaku sesak, aku segera mengakhiri makan siang.

Melihat aku dalam keadaan cemas, suamiku berkata"kita pulang duluya, kita kembali ke rumah sakit dengan travel saja". Aku paham akan maksud suamiku, dia pasti tidak kuat mengendarai mobil lagi karena semalam sudah begadang menunggui papa. Aku hanya mengangguk lemah.