Sekolah membuat aturan. Siswa yang melanggar diberi hukuman. Lalu, apakah dengan aturan dan hukuman, semua menjadi selesai? Ataukah, mereka malah melakukan perlawanan?

Meminjam teori psikoanalisis, setiap ancaman yang diterima seseorang, dia akan melakukan perlawanan. Kalau guru menekan siswa, siswa akan melakukan perlawanan. Dia hanya menunggu momen untuk melakukan perlawanan.

Karena siswa merasa dalam posisi yang lemah, dia cenderung menerima apa saja yang diberikan gurunya. Tapi, tunggu saja. Dia pasti akan melawan. Hal tersebut bisa dianggap sebagai mekanisme pertahanan diri.

Bisa dianalogikan dengan sebuah bola yang ditekan ke dasar kolam renang. Pada awalnya, bola terus bergerak ke dasar kolam. Tapi pada batas tertentu, bola menekan balik ke arah permukaan kolam.

Lalu, kapankah siswa melakukan perlawanan?

Siswa melawan setiap saat. Hanya dia bisa mengukur kekuatan dirinya. Ketika dia menilai dirinya lebih lemah dari aturan sekolah atau guru, dia akan menyimpan perlawanannya. Dia menunggu momen yang tepat untuk melakukan perlawanan. Bom waktu.

Saat menemukan momen, perlawanan pun muncul. Bentuknya sangat beragam. Sebut saja; tawuran, narkotika, minuman keras, seks bebas, merokok, bolos sekolah, menolak mengerjakan pr, mencontek saat ujian, tidak memperhatikan guru, atau hanya sekedar nyeletuk saat pembelajaran.

Bagaimana kita mengelola semua perlawanan itu? Itulah tantangan kita hari ini.