Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web

AKU JUGA MANUSIA

Tantangan menulis di Gurusiana hari ke 5

Aku suka main basket. Tapi aku belum bisa main dengan baik. Jadi, aku ikut klub basket. Asyik kan bila jadi pemain keren lalu punya banyak fans? Ihh…mimpi di siang bolong. Boleh aja kan. Orang bijak bilang “gantungkan cita–citamu setinggi langit”, artinya kita punya tujuan.

Dalam klub itu, teman terbaikku ya cuma Dina. Sampai hari ini, dia yang paling mengerti aku. Awal masuk latihan, aku dan Dina berkenalan dengan anggota lama. Ga lama banget sih, beda tiga bulan kata Dina, itupun kata pengelola klub.

“Hai, aku Vira. Kamu?"

"Nana," jawabnya dengan Ketus.

"Salam kenal, ya." Saat aku mengajak berjabat tangan, Nana malah pergi meninggalkanku. “Ahh mungkin karena aku anak baru,” pikirku mengusir rasa tak nyaman yang tiba–tiba datang.

"Baaaaa….!!! Gimana? udah dapat teman baru?" Dina datang mengagetkanku.

"Sudah dong. Namanya Nana. Kalau kamu?"

"Sudah juga namanya Riri, tapi dia judes banget." Dina ternyata merasakan hal yang sama.

"Heh gak boleh gitu. Mungkin karena kita baru kenal aja."

Prittttt…

“Ayo kumpul!” teriak Pak Dayat. “Selamat datang selamat bergabung bagi anggota baru. Semangat ya! Sekarang coba tanding 2 vs 2. Saya mau lihat kemampuan awal kalian.” Pak Dayat meminta dengan tegas. Pada akhirnya tim Riri menang. Mereka tersenyum bangga. "Kalau nggak bisa main gak usah ikut klub. Gak usah sok jago deh."

"Lho, karena kami ga bisa, makanya kami gabung. Kami mau belajar!" jawab Dina

"Sudahlah tidak usah kita meladeni orang yang sok jago," balasnya kemudian dan pergi sambil tertawa.

Pertemuan berikutnya, aku merasa perlakuan mereka tetap sama. Mungkin sudah tabiat mereka. Santuy. Abaikan saja. Bahkan aku kadang ga dengar mereka bilang apa bila mereka tak memanggil aku. Namun, kepada anggota lain yang suka bercanda, aku senang memperhatikannya saat istirahat.

“Suka stand up comedy? Ayo kita belajar.” Tawaran Della, anggota klub yang paling periang. Aku pun hanya ikut ngumpul dan mendengarkan mereka berkelakar. Aku merasa nyaman akhirnya.

“Latihan basket apa melawak?” Tiba–tiba Nana berkomentar.

“Gabung sini, biar bisa ngelawak semua,” ajak Della sambil menarik lengan Nana. Tapi Nana menolak, dia bilang mau ke kantin.

Suatu ketika, Dina tak hadir latihan. Dia bilang izin ke luar kota selama 7 hari karena ikut ibunya berkunjung ke kampung sekaligus menjenguk nenek buyutnya yang sakit. Itu berarti aku akan hadir di klub sendirian selama 3 pertemuan. Kesepian tentunya. Ketika itu, pelatih mengajak kami belajar shooting. Setiap orang mendapat kesempatan 5 kali shoot. Riri berhasil 4 shoot dari 5, Nana 5, dan aku hanya berhasil mencetak 1 dari 5. Yang lain rata–rata berhasil 3 hingga 5. Jauh banget memang kemamuanku.

“Dasar pendek! gini aja nggak bisa." teriak Nana mengejekku.

“Tenang. Lihat, aku juga pendek. Semangat berlatih yuk!!” Della mengepalkan tangan memberi semangat. Sepertinya Della cocok menjadi kapten tim basket ini. Dia selalu bersikap baik, humor lagi.

Di pertemuan berikutnya, aku masih belum memiliki teman ngobrol selama tak ada Dina. Sindiran demi sindiran masih sering dilayangkan untukku. Ejekan itu semakin menyakitkan apalagi tak ada Dina, orang yang berani melawan setiap perkataan buruk mereka. Tiga pertemuan sepertinya sangat lama dan membosankan.

Aku baru merasa bahwa selama aku dekat dengan Dina, dia lah yang selalu membalas dan membelaku. Aku tahu, mentalku lemah. Aku belum punya keberanian untuk membantah, apalagi aku baru. Pertemuan berikutnya, aku memutuskan untuk tidak hadir.

“Vir, jam berapa berangkat latihan?” Ibuku mengingatkan.

“Aku ga berangkat, Bu. Lagi PMS nih.” Jurus jitu itu kukeluarkan, mumpung benar adanya. Bila hanya alasan, ibu pasti akan mengomel sepanjang malam.

“Vir, kok ga keluar makan, ga lapar? Tak baik mengurung diri bila hanya untuk mengurangi berat badan. Latihan basket itu sudah menjadi usaha terbaik.” Aku masih menutup rapat mulutku. Malas semalas–malasnya. Keesokan harinya, aku pun terpaksa ijin tak masuk sekolah, ijin sakit. Kepalaku pening sekali mungkin karena terlalu memikirkan basket. Aku pun absen latihan di klub.

“Ahaaaa….aku pindah haluan aja, menjadi boxer mungkin lebih baik.” Aku pun lari ke gudang mencari lemari penyimpan barang lama yang belum disedekahkan oleh ibu. Kuambil sarung guling besar, dan banyak kaos, baju, sarung dan sprei lalu kumasukkan ke dalam sarung guling itu. Kuangkut ke kamar agar aku bisa bebas latihan di kamar. Tak ada yang bakal komentar.

Aku pun menyiapkan tali untuk menggantungnya di paku kipas angin. Benar, aku memang pendek. Aku perlu kursi agar aku bisa mencapainya.

PRAKKKK

"Vira! Hentikan! Jangan bunuh diri."

BRAKKK

“Auww“ Vira nyengir menahan sakit jatuh dari kursi. Badannya tertindih samsak guling, kakinya terjepit kursi. “Heh! Ngawur aja kalo ngomong. Ini kamu bilang bunuh diri?” Aku teriak memprotes tuduhan Dina yang masuk tiba–tiba ke kamarku.

“Okey, maaf.” Ucapnya sambil membantu menyingkirkan kursi dari kakiku. Terlihat membiru pada beberapa bagian. “Samsak? Tumben kamu perlu samsak. Buat apa? Apa kamu kira aku ga kaget lihat kepalamu masuk ke dalam tali yang kamu gantung." Sergahnya kemudian.

“Kamu tidak perhatikan? Tanganku nyangkut di ujung lilitan tali, makanya aku coba gigit."

“Oalah... Aku pikir kamu mau bunuh diri. Maaf lagi deh.” Dina pun membantuku menyelesaikan menggantung samsak. Meski ukurannya hanya sebesar guling tapi beratnya lumayan.

“Oiya, hari ini aku datang langsung hadir latihan. Kenapa kamu absen?"

"Ah udah capek, Din. Telingaku gatal, Riri dan Nana membullyku terus. Apalagi kamu ijin, tak ada yang membalas cibiran mereka."

"Sudahlah tidak usah didengar. Kita diamkan saja nanti mereka juga capek sendiri."

"Hmm…OK. Tapi jangan ijin lagi ya."

Dua bulan telah berlalu. Di suatu pertemuan, Pak Dayat meminta kami berlatih oper dan drible sambil lari. Ini merupakan kesempatan emas bagiku untuk tunjukkan aku bisa lari cepat. Aku termasuk anggota yang paling pendek.

“Lempar ke Della,” perintah Dina melihatku memegang bola. Aku yakin aku bisa mengoper. Saat Nana menghadangku, aku berusaha menerobos dengan membungkuk. Sukses besar aku bisa menghindar.

BRUUKKK

PRIITTTTT

“Oopss..sorry,” Nana meninggalkanku yang tersungkur.

“Kartu merah, Nana.” Pak Dayat menunjukkankan kartu merah. “Kartu merah ini sekaligus peringatan untuk jaga ucapanmu.”

“Yes, Allah maha adil kan? Aku tak meminta, tapi Dia menunjukkan.” Dalam hati aku bersyukur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post