Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web

BOLEHKAH AKU BERPOLIGAMI? (2)

“Mbak, wis krungu? Bapak ki nikah maneh. Wingi pas persiapan sepi banget. Kopi wae ga metu. Padahal besane yo mung ngarep omah. Makane to akeh sing alok pacar lima langkah.” Tiba-tiba salah seorang tetanggaku, sebutlah Mbak Arum, yang juga penerima tamu membuka perbincangan. Materinya cukup berat. Memang aku ga kaget. Sudah pernah dengar slentingan sebelumnya.

“Lha opo ga kondur mrene to, Mbak? Kan yo acara penting ngrabekne anak lanang. Ibuke sing anyar prakyo diajak to?” Tanyaku kemudian.

Yo ono wae. Ning yo ora bakalan wani, Mbak, yen rep gawa sing anyar. Opo maneh yen sampe gaprukan karo wong sekampung.” Jawab Mbak Arum bersemangat. Memang tidak ada yang tak kenal dengan bapak ini, sebut saja pak Dadang, hanya nama samaran ya. Jika ada yang kebetulan namanya mirip, ngapunten nggih. Pak Dadang termasuk sesepuh kompleks yang pernah kudiami saat masih baru datang ke kota ini dan ngontrak di sebuah rumah di komplek perumahan tersebut. Opo maneh pada Wong Jawa. Wajar jika warga mungkin akan berang jika beliau berani membawa istri keduanya ke kampung ini.

Poligami lagi. Bahasan ini tak akan pernah habis. Apalagi jika yang membahasnya para ibu. Bukankah perempuan itu sensitifitasnya tinggi? Bahkan tak sedikit yang posesif. Banjur aku kon piye? Dalam hati saja pertanyaan itu terlontar. Kenyataannya aku hanya jadi pendengar setia. Berkomentar pun, mungkin hanya satu persen yang diterima. Maka, jangan tanya pendapatku bagaimana.

Ini bermula saat aku menemukan sebuah undangan tergeletak di teras rumah. Wajar tak terlihat karena terselip di belakang rak sepatu. Untung mata ini melihatnya saat menyapu. Jika bagian bawah rak itu kubiarkan maka terabaikanlah undangan itu. Undangan itu adalah pernikahan anak seorang teman suami, yang kini sudah purna tugas. Alhamdulillah, melihat tanggalnya, saat itu masih ada waktu untuk mempersiapkan kado. Masih ada satu kain yang belum terbungkus dari pesananku ke Pak Syaihu, yang kukenal lewat Gurusiana. Yang menikah memang anak ketiga dari empat bersaudara, lelaki semua. Ayah berprofesi sebagai polisi, dan menurun pula pada ketiga anaknya. Tak heran bukan jika orang tua selalu menginginkan anaknya sukses? Memang parameter kesuksesan setiap orang tua berbeda.

Di hari H, suami tak bisa ikut hadir. Urusan rapat di kantor yang lumayan jauh jaraknya, sekitar 90 km, tidak bisa menuntutnya untuk segera pulang, padahal acara selesai pukul 3 sore. Pada saat yang sama, rapatnya mungkin baru berlangsung setengah perjalanan. Akhirnya, kuputuskan membawa anak-anak. Ealah…ga mau juga. Terpaksa merayu yang paling kecil. Biasa buat sedikit alasan karena datang lambat. Maklum “ceklok” pulang nguli juga lumayan sore, pukul dua lewat sepuluh. Belum ditambah ribetnya sampai di rumah. Tanpa ganti baju seragam, kebetulan juga seragam batik, cukup lepas sepatu dan mengganti sandal lalu menyelipkan selembar rupiah dalam amplop. Sumbangan untuk biaya menjahit baju. Ya jika diingat untuk mengembalikan amplop-amplop yang diselipkan ibunya sang mempelai laki-laki saat sering datang ke syukuran kelahiran dan sunatan anak-anakku.

Duduk manis sambil menikmati makan siang, eh sore ya, kan sudah pukul 3, setelah berjabat tangan dengan sang tuan rumah. Aku sendiri tak begitu kenal dengan si mempelai, jadi fokus pada bapak ibunya. Ibunya pun teman dalam pengajian rutin di masjid yang masih sering bertemu dan bercakap setiap kali duduk berdekatan. Tak lupa kusampaikan permohonan maaf bahwa suami tak bisa hadir. Tak banyak yang kami bicarakan selain tanya kesehatan, anak-anak dan tempat serta jarak dinas suami. Raut wajah ibu itu tetap seperti yang kukenal. Anggun dan sabar. Beliau juga sering menasehatiku tentang anak-anak setiap kali bertemu. Setelah itu, akupun bergegas mampir ke meja makanan karena acara terakhir adalah melempar buket bunga. Hora melu rebutan, wong aku wis duwe gandengan hehee.

Mengingat wajahnya yang teduh, memang tak tega mendengar cerita tentang suaminya yang telah berpoligami. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Menyapanya setiap kali bertemu, mengajaknya berbincang meski bahasannya tak pernah jauh dari anak-anak menjadi pilihan terbaik. Berpendapat pun bukan kapasitasku. Mendengar para ibu yang memperbincangkan pak Dadang, suami beliau pun malah mengusik dan menambah beban. Tak guna dan menambah dosa karena ghibah. Satu hal ini yang masih tumbuh subur dalam masyarakat kita. Rasan-rasan. Ning biasane nang deso, rasan-rasan karo petan.

“Iki lho wis suwe, Mbak. Mosok ra krungu.” Mbak Arum masih memperjelas duduk perkara poligami itu.

“Yo, krungu, Mbak. Ning rep piye? Bapak yo wis pensiun. Ora keno diperkarakne maneh. Yen sik dinas mungkin yo iso melu mbelani yen ibu rep nuntut.” Aku menanggapi sekedar saja.

“Iki wis duwe anak siji. Paling umure sekitar limang tahun. Lha yen telpon ngono kae biasane karo lari pagi. Aku wis ngiro suwe. Kan wis bedo, Mbak, logate ngomong penting karo ngomonge wong cintrong.”

Kan biasane olahraga lari yo karo ibu lho, Mbak.” Sergahku cepat karena setiap bertemu saat beli sayur, aku sering berpapasan dengan pak Dadang dan ibu berjalan atau lari pagi. Ya dalam hati berdoa, semoga tuaku nanti seperti beliau. Masih segar karena menjaga kesehatan bersama.

“Kan waktu masih dinas! Teplok pensiun iki wis blaasss, mulih gone sing enom.” Aku banjur mlongo. “Lho iyo to, Mbak? Dadi selama ki ibu nek dalem dewean? Trus sing ra tau rawuh yasinan kabare nang Jawa kae?” Aku masih memburunya beberapa pertanyaan.

Seingatku, terakhir ada undangan yang tak bisa kuhadiri, acara yasinan di rumah beliau sekalian “tingkepan” menantunya yang kedua. Itu sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Sementara acara Maulid di akhir tahun yang diadakan di masjid, aku masih berjumpa dan bertegur sapa dengan beliau. Lalu? Begitu buta dan tulikah aku dengan lingkunganku? Kurasa juga tidak. Kan berita seperti itu akan lebih baik disimpan rapat. Toh, ibu juga masih tegak berdiri mempertahankan wibawanya sebagai istri pertama yang sah dengan segala haknya.

Ya, ibu ki liburan wae, menenangkan diri. Bar iku ya wis aktif kaya biasane.” Aku masih menyimak dengan baik. “Goblok tenan sing enom ki. Opo lho sing digoleki ko pensiunan? Nyatane ibu sik bertahan. Taspen dan lain-lain semua hak ibu, istri pertama.” Aku masih diam belajar mencerna alasan utama berpoligami, sambil sesekali melirik ke ibu dan bapak yang masih berbincang dengan para tamu lain yang baru datang. Aku bukan tamu yang paling telat, Alhamdulillah. Begitu anggun ibu yang berias tipis, meski tubuhnya terlihat lebih kurus. Memang sudah terlihat kurus dari beberapa bulan yang lalu. Tapi bapak terlihat masih gagah.

Pertanyaannya, apakah puber kedua itu berlangsung lama? Jika memang menopause dan puber kedua adalah penyebab bapak ini memilih beristri muda, ada pelajaran penting yang harus diingat dari peristiwa ini. Pertama; keberadaan karir yang bagus, keluarga baik, anak-anak pun berkembang dan bekerja dengan baik, istri sabar dan sehat, rumah dan mobil ada, bukan jaminan suami tidak berpoligami. Kedua; kesetiaan pasti ada dengan dibuktikan adanya komitmen dalam urusan keluarga terutama anak, namun bisa jadi ini merupakan kesepakatan berdua bahwa urusan keluarga tetap nomor satu. Ketiga; istri sangat tahu dan paham karakter suami, begitu pula sebaliknya. Perubahan sikap yang tak biasa dan terus menerus bisa jadi indikasi awal pindah ke lain hati. Keempat; poligami itu masih menyisakan sakit yang teramat, meski yang menjalani keputusan akan berangsur belajar ikhlas dengan keputusan. Namun, sebagian besar masyarakat memiliki respon negatif terhadap pelaku poligami. Apapun alasannya.

Muga ibu sehat terus, Mbak. Momong putu dadi hiburane saiki.” Ucapku ke Mbak Arum sebelum pamit pulang. Pengharapan yang sama, bahwa kelak diriku tetap sehat dampingi suami dan anak-anak. (bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post