Isna Indriati

Isna Indriati, ingin terus belajar menulis agar bisa tinggalkan sedikit kenangan bagi yang tak mengenalnya....

Selengkapnya
Navigasi Web
Diabetes

Diabetes

“Ras, ambilkan daun pisang di kebun belakang”

“Iya, Mak. Mau bikin pepes ya?”

“Iya. Ada pesanan dari pak Lurah. Besok ada acara syukuran di balai desa.”

Rasti yang badannya tak terlalu tinggi itu akhirnya berangkat ke kebun belakang rumahnya. Pisau di tangan kiri dan dingklik di tangan kanannya. Meski lumayan berat baginya, itu satu-satunya cara agar dia bisa menjangkau daun pisang yang tinggi. Emak juga tak mungkin menyuruhnya jika dia tak mampu. Emak sudah sering mengajarinya. Rasti tentu sudah hafal dengan sifat Emaknya.

“Kalau ga mau belajar itu tandanya bodoh. Kalau punya cukup ilmu, hidup kita pasti lebih baik.” Pesan itu selalu diingatnya. Apapun yang asing bagi Rasti, Emak selalu bantu dia sampai paham. Rasti anak periang dan cerdas. Bagi rata-rata anak desa yang kebanyakan orang tuanya petani, Rasti yang paling cakap di segala hal.

Gadis belia yang masih duduk di kelas 3 itu banyak belajar karena setiap harinya dia mengekor Emaknya ke mana pun pergi, kecuali saat dia sekolah. Emaknya berangkat ke pasar jual sayur kemudian belanja tempe atau ikan, dia ikut. Dia sudah siap dengan seragamnya jika Emak ke pasar saat dia harus sekolah. Pulangnya, dia langsung memisahkan diri di pertigaan arah ke sekolahnya. Beberapa meter dari simpang tiga, dia tak lupa mampir warung Pak Nur untuk ambil pisang dan singkong goreng atau rebus untuk dijajakan di sekolahnya. Jika musim jagung, dia bisa membawa jagung rebus dan bakwan. Meski ada penjual tahu isi, molen, onde-onde bahkan burger yang sering mampir di halaman sekolahnya saat pulang sekolah, dia tak malu menawarkan jualannya ke teman-temannya. Langganannya malah orang-orang tua yang malas berjalan jauh ke warung Pak Nur dan gurunya yang suka rebusan.

Jika Emak berangkat ke sawah untuk matun padi, Rasti pun turut di belakangnya. Dia ikut turun ke sawah. Tanpa sarung tangan, dia mencabut gulma yang mengganggu padi. Pulang dari sawah dia bawa keong kemudian dia cacah sendiri untuk makan bebeknya. Lima ekor bebek di kebun belakang rumahnya itu peninggalan bapaknya. Dia minta bebek-bebek itu agar dia bisa buat telor asin yang harganya sangat mahal baginya. Daun semanggi pun sering dia petik lalu dibawa pulang bilamana dia ingin makan dengan tumisan sayur itu. Baginya, selama dia bisa menemukan sayur lezat yang dia suka, dia akan bantu Emak hemat. Cukup beli tempe atau tahu buat lauknya. Telur dadar menjadi lauk istimewa saat ayam kampungnya bertelur bersamaan. Dia akan ambil beberapa untuk dirinya dan emaknya sebelum ayam itu mengeram. Dia akan bahagia bila Emak masak lodho dan sego gurih saat kirim doa buat Bapak bersama tetangganya. Ayam-ayam yang disembelih sendiri oleh Emak atau minta bantuan Pak Nur itu pun yang dia pelihara karena Bapak yang telaten mengajarinya.

“Mak, Pak Lurah syukuran apa?”

“Syukuran anaknya masuk kedokteran.”

Biyuhhh, pinter ya Mak.”

“Ya, mulane sregep sinau.”

“Iya, Mak. Aku bantu Emak di sana ya.”

“Ya nanti bantu Emak bawa pepes. Bantu nyajikan juga. Tapi harus hati-hati.”

“Iya, Mak. Aku boleh juga kan ketemu sama anak Pak Lurah?”

“Ya pasti ketemu, lha acara syukuran dia.”

“Aku mau ngobrol sebentar kalo boleh. Aku mau tanya banyak.”

“Mau tanya apa?”

“Ya mau tau aja caranya biar bisa masuk kedokteran.”

Emak tersenyum memperhatikan Rasti. Dia yakin anaknya bisa meraih mimpinya. Tapi dia ragu bagaimana caranya untuk membiayainya hingga sekolah tinggi nanti. Dia hanya petani sayur kecil yang hanya bisa menanam di kebun belakang rumahnya. Itu pun harus berbagi tempat dengan bebek dan ayam. Dia juga buruh tani panggilan yang siap matun, tandur, bahkan derep. Kebisaannya memasak bermacam pepes juga dia manfaatkan untuk menambah tabungannya. Mulai dari pepes sayuran yang orang bilang geneman, hingga ke beraneka jenis ikan. Jika ada yang pesan tumpeng atau meminta Emak bantu masak di rumah tetangga, Rasti juga selalu ikut serta. Warga kampungnya sudah hafal jika Rasti itu ringan tangan.

“Mbak Tya memang cita-citanya jadi dokter?”

“Iya. Rasti mau jadi apa?”

“Boleh ya kalo Rasti juga mau jadi dokter seperti Mbak Tya?”

“Ya boleh lah. Bagus itu.”

“Mahal ya kalo sekolah kedokteran?”

“Iya. Tapi kalo Rasti rajin, terus berprestasi, kamu bisa dapat beasiswa. Jadi biayanya lebih ringan.”

Rasti sangat antusias mendengarkan Mbak Tya, anak pak Lurah bicara panjang lebar. Dia semakin bersemangat untuk terus belajar. Dia juga tak malu pesan Mbak Tya untuk menyimpan buku-bukunya biar dia bisa pinjam suatu saat nanti.

Dua tahun berlalu, dan Rasti tak pernah bertemu lagi dengan Mbak Tya yang dikaguminya. Semangatnya tetap berkobar. Jika dia pahlawan dia pantang menyerah hanya karena lawannya punya senjata lebih canggih. Cita-citanya tetap disimpan rapi di pikirannya.

“Mak, bu guru menyuruh aku ke sekolah sore ini. Ada dokter yang datang ke sekolah untuk mengajar aku dan Tutut.” Rasti ijin Emaknya tak bisa bantu metik bayam buat dijual ke pasar besok. Tapi dia janji dia yang akan mengikat bayam itu malam nanti. Emak cukup tersenyum untuk memberi ijin ke Rasti. Dia paham betul Rasti menepati janjinya. Ini bukan ijin yang pertama tapi sudah yang kesekian kalinya.

“Tinggal sedikit, Mak. Biar Rasti yang selesaikan.” Emak tak beranjak dari tempatnya. Dia masih mengupas bawang merah, bawang putih, dan empon-empon untuk bumbu pesanan pepes patin besok. Meski tak punya kulkas untuk menyimpan bumbu, sayur atau ikan untuk pesanan-pesanannya, Emak tak bingung. Langganan dia beli ikan sedah hafal bila Emak selalu ambil yang segar, beberapa jam sebelum diolah. Jika kebetulan pesanan itu untuk acara pagi, maka sebelum shubuh Emak pasti sudah berangkat. Untuk urusan yang seperti ini, Rasti jarang menemani. Emak pun lebih sering minta bantuan Pak Nur untuk ambil ikan.

Untuk urusan bumbu, dijamin mantap karena Emak tak pernah pakai blender. Kelapa parut pun dikerjakan dengan tenaga manusia. Rasti lebih suka marut kelapa karena untuk menghaluskan bumbu dia merasa kesulitan menahan tangis. Bawang merah itu yang selalu membuatnya menyerah. Dua tungku yang selalu menjadi andalan Emak menyelesaikan pesanannya itu mungkin sudah seharusnya diganti dengan kompor gas. Tapi Emak selalu menolak jika Rasti menawari Emak agar lebih sedikit praktis. Kata Emak, aromanya lain. Masak dengan kayu bakar di tungku itu lebih lezat. Emak pasti memilih menyimpan uang laba pepes itu untuk persiapan sekolah Rasti.

“Peserta nomor delapan, Laras Pangerti.” Nama Rasti sudah dipanggil. Waktunya untuk presentasi gerakan dokter kecil di sekolah dan masyarakat setelah dia lolos tes tulis. Rasti sudah menyiapkan materi presentasinya. Dua malam sebelum Rasti berangkat, Emak sama sekali tak mengijinkannya membantu menyiapkan sayur. Rasti belajar ngomong di depan Emak sambil menemaninya mengikat sayuran.

“Penyakit Diabetes disebabkan oleh beberapa hal. Dua diantaranya karena turunan dan pola makan. Keduanya sama memiliki resiko tinggi yaitu kematian, sama dengan penyakit lainnya. Contohnya, Bapak saya. Bapak saya pekerja keras. Dia suka minum teh manis setiap paginya. Siang hari sepulang dari sawah, dia suka minum teh es manis untuk melepas dahaga. Dia bukan perokok berat. Dia juga tak suka makan kue macam-macam. Tetapi Bapak saya meninggal. Dokter bilang karena diabetes. Karena kami berada di desa yang cukup jauh dari pusat kesehatan, maka banyak warga yang mengeluh sakit hanya diatasi dengan minum Bodrex, Paracetamol, Antalgin, Paramex, Ultraflu, Pil Kita atau obat-obat dan jamu lain yang beredar bebas di toko.” Rasti bersemangat dalam presentasinya. Dia mengambil materi tentang penyakit yang merenggut Bapaknya yang baru diketahui sehari sebelum meninggal.

“Akan tetapi, dengan ilmu kita bisa mencegahnya. Dua hal terpenting yang kita lakukan adalah check up kesehatan dan mengatur pola makan. Dengan mengetahui seberapa sehat kita, atau gejala penyakit yang diderita jika ada, kita bisa memilih makanan yang tepat untuk tubuh kita. Seperti kasus Bapak saya. Jika dia tahu sakit diabetes, seharusnya dia tidak minum teh manis setiap pagi dan siang. Dia juga harus mengurangi nasi atau menggantinya dengan nasi jagung atau singkong. Kita pun juga. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan kadar gula darah kita melebihi batas normal, maka kita harus hati-hati. Demikian pula dengan penyakit lainnya.”

Mata Rasti terbelalak saat melihat Mbak Tya hadir di kursi belakang. Rasti tak kembali ke kursinya, dia langsung mendekati Mbak Tya dan duduk di sampingnya.

“Mbak Tya kan? Mbak ada di sini ya?

“Iya, Mbak jadi tim penilai sekolah sehat dari provinsi. Kamu ternyata masih bertahan di sini. Selamat ya Dokter Rasti, semoga desa dan warga di sini selalu sehat dan tambah maju bersamamu.”

Rasti tersenyum. Dia bilang semangat yang ditularkan Mbak Tya bisa membawanya mendapatkan beberapa beasiswa. Berawal dari lomba dokter cilik hingga keikutsertaannya di PMR, keakrabannya dengan banyak dokter, perawat, dan relawan di PMI menjadikan dia pribadi yang ulet dan pantang menyerah. Ingatannya dan rasa kehilangan Bapak mendorongnya kuat untuk mengejar cita-citanya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post