Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web

Janda Tanpa kembang (Part 10)

Vonis 

Yulia terbangun saat sinar matahari menerobos kamarnya lewat celah-celah ventilasi. Ia menguap sejenak lalu melakukan gerak badan. Dengan tubuh telentang, ia angkat kedua kakinya lurus, ia tahan sejenak kemudian ia turunkan Kembali. Ia lakukan Gerakan yang sama sebanyak lima kali. Lalu dengan kaki dibiarkan tetap lurus di Kasur, ia bangun, menunduk hingga mencium lututnya. Gerakan ini pun ia ulang hingga lima kali. Yulia melakukan Gerakan senam ringan ini sejak masih SMP. Ibunya yang mengajarkan semua itu.

“Agar badanmu nggak kaku semua. Nggak kaget dibuat bangun,” begitu nasihat ibunya.

Tak hanya mengajari Gerakan senam saat bangun tidur, ibunya pun mengajarinya bagaimana mengurangi rasa pegal di kaki.

“Letakkan kedua kakimu ke atas, rapatkan di dinding dan biarkan punggungmu tetap telentang rata di kasur. Pasti rasa lelahmu berkurang.”

Ibunya jelas bukan guru olah raga, juga tak pernah ikut senam di sanggar senam. Namun, apa yang diajarkan pada Yulia benar terbukti.

Yulia meraih HP-nya dari atas meja. Ternyata sudah pukul 07.12 menit. Wah, sudah sangat siang. Kalau saja neneknya masih ada, akan kena omelan. Konon, tak boleh terlambat bangun. Orang harus bangun pagi-pagi agar rezekinya tidak dipathuk ayam. Yulia tersenyum mengingat semua perjalanan hidupnya Bersama orang-orang yang dicintainya begitu penuh makna. Sekecil apa pun peristiwa atau sesuatu selalu bermakna. Kakek – nenek, ayah - Ibunya  mengajarinya untuk selalu memaknai segala hal dalam hidup.

Kalau pun pagi ini ia terlambat bangun, ibunyapasti akan memahami.

“Terkadang tubuh menuntut haknya untuk istirahat lebih setelah kita memaksanya bekerja keras.” Begitu kata ibunya suatu kali saat Yulia bangun kesiangan. Waktu itu ia habis melekan, begadang, membantu sepupunya yang nikahan.

Tiba-tiba Yulia teringat bahwa ia tidak sendirian pulang semalam. Ada Johan bersamanya serta. Lagipula, kepulangannya kali ini bukan untuk liburan dan bermalas-malasan. Bergegas ia ke kamar mandi. Ia hanya mencuci muka dan menggosok gigi, lalu berganti baju. Tak perlu mandi, pikir Yulia. Lagipula, semalam sebelum memejamkan mata, ia sudah mandi terlebih dulu.

          Di luar kamar, tepatnya di teras taman samping, Johan sedang bercerita penuh semangat pada Pak Joyo, pemilik rumah paling besar dan paling mewah di kampung ini,

          “Kalau soal ternak ayam, saya sangat tertarik, Pak. Kalau saja boleh, saya ingin berguru pada Bapak. Waaaah Bapak ini luar biasa berhasil sesukses ini dari beternak ayam.”

          Pak Joyo yang dipuji tersenyum bangga. Ada rasa mongkok di dadanya saat seorang mahasiswa jurusan peternakan dari PTN ternama memujinya. Ia yang tidak sempat menamatkan pendidikan SMA-nya merasa tersanjung. Sesuatu yang jarang dialaminya. Selama ini, yang ia temui justru orang-orang berpendidikan tinggi yang selalu datang dengan banyak teori padanya. Mereka sering membincangkan tentang Teknik beternak, penyakit ternak, dan teknologi pengolahan hasil peternakan dengan Bahasa yang rumit. Bahasa-bahasa yang seringkali tak dipahami oleh Pak Joyo dan kawan-kawannya sesame peternak. Beruntungnya, sudah dua tahun ini, penyuluh peternakan yang bertanggung jawab di wilayah tempat tinggalnya, tidak seperti itu.

          “Waaah ya saya ini kan orang yang beruntung saja Nak Jo. Tanpa bimbingan para tenaga penyuluh peternakan yang hebat itu, mana saya bisa bertahan.”

          Johan manggut-manggut seolah mengerti apa yang disampaikan Pak Joyo. Otaknya sedang bekerja keras. Ia berusaha ‘membaca’ Pak Joyo agar ia dapat merebut simpatinya. Itulah salah satu pintu baginya untuk mendapat Yulia. Pegang dulu bapaknya, berikutnya baru anak gadisnya.

          Tak lama kemudian Yulia datang bergabung dengan keduanya.

“Waaah ayah sudah sehat? Tadi Yulia langsung ke kamar ayah ternyata malah Ayah sudah ada di sini,” kata Yulia sambil membawa sepiring pisang goreng.

“Lha ini apa, Nak Johan, temanmu ini hebat sekali. Pagi-pagi tadi ayah ini dipijitin. Sekujur tubuh lagi. Waah jian penak tenan (sungguh sangat enak) pijetannya itu.  Terus ayah diajak berjemur. Katanya biar dapat vitamin D,” jawab ayahnya dengan penuh semangat.

Yulia menatap wajah ayahnya yang tampak merah kena sinar matahari. Tampak lebih sehat dibanding semalam. Dalam hatinya, ia makin mengagumi Johan. Cowok berpenampilan preman itu ternyata jago banget merebut hati orang. Bukan hanya hati ayahnya, tetapi juga hatinya. Uft! Yulia terkejut dengan suara batinnya.

“Jadi, sebenarnya apa kata dokter, yah?” tanya Yulia pada ayahnya.

“Ya Namanya juga orang tua. Biasalah rematik dan encok.”

“Nah Bapak ini memang selalu begitu, Mbak Yulia. Ngentengkan apa kata dokter,” tiba-tiba Mbak Rani, sepupunya yang seorang perawat sudah berdiri di belakang Yulia.

Selama ini, Mbak Rani dipercaya oleh keluarga besar Pak Joyo untuk merawat Kesehatan keluarganya. Apalagi saat ada yang sakit. Ia harus memeriksa, memberikan obat, sebelum dan sesudah ia berangkat kerja ke puskesdes (pusat pelayanan Kesehatan desa).

“Wah Mbak Rani. Apa kabar, Mbak?” sapa Yulia.

“Baik. Mbak Yulia sendiri kapan datang? Sama siapa ….?” Rani bertanya sambil melihat ke arah Johan.

Yulia tersenyum dan memperkenalkan Johan pada Reni. Johan mengulurkan tangannya pada Rani sambil menyebutkan namanya. Rani mengerlingkan mata ke arah Yulia seolah ingin menggoda Yulia. Yulia hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya.

“Jadi sebenarnya ayah sakit apa, Mbak?” tanya Yulia lagi.

“Nggak serius kok. Seperti biasa, pola makan yang kurang baik dan rokoknya itu,” kata Rani dengan nada seolah-olah marah pada Pak Joyo.

Ayahnya hanya tertawa sambil tetap menikmati pisang goreng hangat.

“Pisang goreng ini hasil kebun kami sendiri Nak Jo. Lebih enak dikonsumsi sendiri daripada dijual. Harganya murah,” cerita Pak Joyo pada Johan.

“Wah begitu ya Pak? Jadi selain beternak, berkebun juga nih,” sahut Johan.

Tanpa diminta Pak Joyo kemudian mulai bercerita tentang tanaman yang ada di kebun dan sawahnya. Kebanggannya bukanlah pada luasnya lahan yang ia miliki, melainkan pada keberhasilannya menanam berbagai jenis tanaman. Bahkan, saat petani lain gagal panen, ia nyaris tak pernah mengalaminya. Kalau pun rugi, itu terjadi karena harga hasil panennya jatuh. Johan menyimak cerita Pak Joyo dengn penuh perhatian. Sesekali ia menyela cerita Pak Joyo dengan pertanyaan-pertanyaan.

Melihat kedua orang pria tersebut asyik berbincang tentang hal yang jelas tak menarik minat Yulia, Rani menarik tangan Yulia.

“Ada yang perlu Mbak Yulia ketahui tentang penyakit Pak Dhe,” bisik Rani.

Yulia mengikuti Langkah Rani ke ruang belakang. Tepatnya di ruang samping dapur. Rani tak mau ke dapur karena di sana ada Bu Joyo.

“Jadi …?” Belum selesai Yulia mengajukan pertanyaannya, Rani sudah menjelaskan tentang penyakit yang diderita Pak Joyo.

“Ada sel kanker di paru-parunya.”

“Ya Tuhan!” Yulia menjerit lirih.

Penjelasan Rani seolah Guntur di siang hari. Ia sama sekali tak mengira ayahnya yang gagah terkena penyakit mematikan itu.

“Apa ayah tahu?”

“Belum. Kita lihat perkembangannya. Semoga diagnosis dokter Heru salah. Masih akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.”

Yulia hanya bisa mengangguk sambil menahan air mata. Ia berharap diagnosis awal dokter keliru.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang mengalir..tidak kaku dan menggambarkan realita kehidupan orang yg sedang PDKT hihihi..keren bunda

16 Apr
Balas

Cerita yang mengalir..tidak kaku dan menggambarkan realita kehidupan orang yg sedang PDKT hihihi..keren bunda

16 Apr
Balas

Mengalir lembut di tenggorokan, seperti makan pisang Dari hasil kebun. Keren bun

16 Apr
Balas

keren bun yg ditunggu muncul juga hehe

16 Apr
Balas

Cerita yang enak dibaca. Penasaran dengan cerita lengkapnya "Janda Tanpa Kembang". Ibu memang penulis hebat. Salut. Semoga Ibu selalu sehat.

16 Apr
Balas

Akhirnya yang ditunggu muncul juga. Bunda Isti hebat.

18 Apr
Balas

Bunda ceritanya runtut bersambung, flebeknya yang bagus, mudah-mudahan berakhir dengan bahagia

16 Apr
Balas



search

New Post