Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mbah Makmun, Part of Janda Tanpa Kembang

Berat bagi Yulia menjalani peran single parent di usia mudanya. Bukan hanya soal membesar anak atau sekadar membunuh rasa sepi pada malam-malam yang harus dilewati. Bukan. Ada begitu banyak tanggung jawab yang ia pikul di pundaknya. Para buruh atau Yulia lebih memilih menyebut karyawannya, yang bekerja di kandang ayam, kebun dan sawahnya yang puluhan hektar itu adalah tanggung jawabnya.

Pernah Yulia hampir menyerah ingin menjual semua aset kandangnya dan menutup usaha peternakannya.

“Saya tidak sanggup lagi, Mbah Mun,” keluh Yulia pada Mbah Makmun, seorang kiai ndesa di kampungnya. Ada juga yang menyebutnya dukun kampung.

Saat itu Yulia sedang minta doa untuk Febry, bayinya, yang panas tinggi. Sejak sore panas tubuh Febry tak kunjung reda meski obat dari Bidan Yanni telah diberikannya. Konon, Febry sawanen karena sorenya Yulia membawanya ke makam Hamdan. Sawanen adalah perilaku atau kondisi anak kecil yang menyimpang akibat hal-hal berbau mistik. Misalnya, bayi menangis terus atau rewel, panas tinggi dan tak reda-reda. Masyarakat Jawa dahulu mempercayai anak kecil tersebut diganggu mahluk halus. Sawanen dapat terjadi karena ada orang meninggal di sekitarnya, melewati pohon besar yang ada penunggunya, dan lain sebagainya.

Malam itu memang malam Jumat Legi. Seperti jamaknya kaum muslimin di kampungnya, Kamis sore Yulia juga nyekar, menziarahi makam Hamdan. Bedanya, ia membawa serta bayinya, sesuatu yang nyaris tidak pernah dilakukan orang-orang di desanya secara turun menurun. Karena itu, begitu Febry panas dan rewel, sang nenek memaksa Yulia membawa si kecil ke rumah Mbah Makmun.

Meski hati kecilnya tak bisa menerima cara Mbah Makmun menyembuhkan Febry, Yulia menekan penolakan itu. Ia tak ingin menyakiti hati ibunya. Nyatanya, seperti juga dirinya dulu, panas tinggi Febry pun turun hanya dengan doa-doa dan segelas air yang diusapkan di dahinya. Ini tentu bukan yang pertama kalinya Yulia minta bantuan Mbah makmun.

Dulu, sewaktu masih gadis bau kencur, saat masih duduk di kelas 5 SD, ia digigit ular weling masih terbayang jelas. Gigitan ular yang konon kata orang bisanya berbahaya itu meninggalkan rasa sakit yang tak tertahankan bagi Yulia kecil. Kaki kirinya dari telapak hingga pangkal pahanya bengkak. Ngilu tak tertahankan. Dua kali disuntik mantri kesehatan di kota kecamatan tak juga mampu meredakan sakitnya. Demam tinggi tak juga reda, meski obat yang diberikan Mantri Hari diminum secara rutin.

“Dibetha dateng (dibawa ke) Mbah Makmun saja, Bu,” begitu saran Mbok Jum, pembantunya yang kini telah meninggal dunia.

Seperti biasanya Mbok Jum begitu piawai menjelaskan betapa saktinya Mbah Makmun. Konon, tokoh legendaris itu mampu mengobati orang yang tersiram air panas dengan jampi-jampi dan jilatan lidahnya.

“Nggih, sak esthu Bu. Rumiyin nalika jenate bapake lare-lare kenging kuthahan duduh rawon, pas nembe rewang manten, kulit dadane kula mlepuh sedanten. Lha piyantune niku malah ndilati wawa abang mbranang niku, Bu. Bibar ngaten lha kok terus ndilati dadane jenate bapake lare-lare. Ndilalah kersanengalah, turine bapake kok terus krasa adem. Mboten kelaran malih,” kata Mbok Jum. (Iya, Bu, sungguh. Dulu saat almarhum bapaknya anak-anak saya kena tumpahan kuah rawon yang panas saat bantu-bantu acara kawinan, kulit dadanya melepuh. Orangnya, (Mbah Makmun) itu menjilati kayu bakar yang merah membara. Setelah itu menjilati kulit dada suami saya. Sungguh karena kuasa Allah, rasa sakit dan panas suami saya reda. Terasa dingin. Tidak kesakitan lagi, begitulah cerita Mbok Jum. Tentu saja sambil sesekali memutar-mutar susur yang memenuhi rongga mulutnya yang merah karena kebiaasaannya nginang sirih dan kapur.

Tak tega melihat Yulia kecil yang terus menerus mengaduh dan nyaris tak bisa tidur, bapak dan ibu akhirnya membawa Yulia pada Mbah makmun. Jangan ditanya betapa menyeramkannya apa yang dialami Yulia saat itu. Di rumah Mbah Makmun, yang dari dulu hingga kini selalu tampak menyeramkan ini, Yulis kecil dihadapkan pada adegan yang nyaris tak dapat ia terima dengan kedua matanya. Otak bocahnya pun tak dapat menganalisisnya.

Di atas balai-balai bambu yang kini sudah tak a a lagi, tergantikan oleh sepasang sofa coklat tua yang warna kulitnya sudah mulai pudar, Yulia dibaringkan. Di sana Mbah Makmun yang berjenggot panjang, bermata tajam, dengan suara lantang, dan sedikit serak memeriksa kaki Yulia.

“Hm… syukurlah belum terlambat,” katanya manggut-manggut.

Mendengar itu, ayah dan ibu pun merasa tenang.

“Namun sayang racunnya sudah menjalar.”

“Jadi bagaimana, Mbah?” tanya ibu dengan suara gemetar.

Mbah Makmun terdiam sebentar. Dilihatnya lagi bengkak di kaki Yulia. Ia seolah ingin memastikan bekas gigitan ular yang mulai samar. Hanya dua titik hitam kecil saja.

“Saya harus memanggilnya, Pak, Bu,” ucap Mbah Makmun. Lelaki yang usianya masih empat puluhan awal itu belum layak disebut mbah. Entah kenapa ia dipanggil mbah. Apakah karena profesi dukun yang ditekuninya membuatnya terikat dengan tradisi menyebut dukun dengan mbah dukun? Penampilannya pun jauh dari kesan dukun-dukun tukang ramal atau dukun santet yang identic dengan baju hitam. Tidak, Mbah Makmun, justru tampil memikat. Hem kotak-kotak lengan panjang dengan celana levis yang warna hitamnya mulai memudar malah mengesankan sosok pria mapan dan berwawasan modern. Sungguh tak ada yang bakal mengira bahwa ia seorang dukun bila belum mengenalnya.

“Maksud, Mbah?” tanya ibu bingung.

“Hanya dia yang bisa mengambil Kembali apa yang dimasukkan dalam tubuh genduk,” katanya sambil menyebut nama Yulia dengan genduk (bhs. Jawa, panggilan untuk anak perempuan).

“Dia, dia siapa, Mbah?” Kali ini bapak yang tak mampu menahan diri dari rasa ingin tahunya.

“Dia yang menggigit genduk,” jawab Mbah Makmun dengan suara dingin.

“Maksudnya?” Ibu bertanya tanpa mampu menyembunyikan rasa ngerinya. “Ular itu ya Mbah?”

“Sssst! Jangan sebut nama itu. Ian anti tak akan mau membantu kita,” ujar Mbah Makmun lagi. “Saya mohon Ibu dan Bapak tenang. Dampingi Yulia agar tidak takut.”

Seolah tersihir, bapak dan ibu hanya diam terpaku. Kini keduanya seolah janjian memegang Yulia dengan sedikit tegang. Bapak memegang hangan kanan Yulia, Ibu memegang tangan kiri Yulia. Bibir Ibu tak henti berdoa. Antara tegang, takut, dan harapan yang besar agar Yulia segera sembuh membuat perasaannya kian tak menentu. Keringat dingin menetes dari dahinya.

“Nduk, berdoa ya biar kamu segera sembuh,” kata bapak lirih.

Yulia kecil hanya mampu mengangguk dan menahan erangannya. Rasa ngilu, panas, dan gatal dari ujung kaki hingga pangkal paha kirinya nyaris tak tertahan.

Mbah Makmun duduk bersila. Bibirnya komat kamit. Entah doa, entah mantra. Suasana terasa begitu menyeramkan bagi tiga orang tamu di rumah yang berkesan reman-remang. Mendadak, pintu ruang depan yang tadi tertutup rapat seperti digeser terbuka. Sedikit terbuka. Cahaya matahari menerobos masuk, jatuh pada lantai semen yang gelap.

Mata bapak dan ibu melotot tajam melihat benda panjang yang bergerak meliuk masuk ke dalam rumah. Benda hitam putih yang merayap itu ular. Ya, ular weling? Ibu dan Yulia yang sama-sama phobia hampir menjerit. Beruntung ibu sempat melihat tatapan tajam Mbah Makmun yang lebih berpengaruh dibanding sosok ular weling itu. Seluruh tubuh ibu tegang. Yulia apalagi. Tubuhnya menggigil dan terasa mengerut saking takutnya.

Semakin dekat dan semakin dekat ular it uke arah mereka berempat. Ibu merapat di sisi bapak. Tangannya menggenggam erat tangan bapak. Matanya sengaja dipejamkan rapat-rapat. Begitu pun Yulia. Mereka benar-benar tak ingin melihat apa yang akan terjadi berikutnya. Kehadiran si ‘dia’ yang disebut Mbah Makmun sungguh sesuatu yang ganjil.

“Iki anak wedokku tulungana. Jupuken opo seng dadi hakmu. Lek genduk duwe luput marang awakmu, sepuranen. (Ini anak perempuanku tolonglah. Ambillah apa yang menjadi hakmu. Kalau genduk punya salah padamu, maafkanlah.” Begitu suara Mbah Makmun lirih terdengar.

Terdengar suara mendesis. Ular itu seperti makin mendekat ke arah kaki Yulia.

“Pejamkan matamu, Nduk. Jangan pedulikan apa pun yang kamu dengar atau rasakan. Biarkan ia mengambil Kembali bisanya,” suara Mbah Makmun terdengar begitu berpengaruh.

Yulia seperti terbuai. Rasa kantuk yang kuat tiba-tiba menyergapnya. Ibu semakin menguatkan doa-doanya. Masih dengan mata tertutup. Bapak dengan tegar melihat setiap adegan yang terjadi. Ular weling dengan diameter 5 cm meter, sepanjang kira-kira 2.5 meter itu mendongakkan kepalanya. Persis di depan bekas gigitan ular di mata kaki kiri Yulia.

Pelan sang ular lalu mengarahkan taringnya tepat di bekas gigitannya. Ia menggigit kembali mata kaki Yulia. Tubuh bapak gemetar hebat. Namun, Mbah Makmun memberi kode dengan jemarinya agar bapak diam dan tenang. Tak lama dalam hitungan dua-tiga menit saja ular itu menggigit Yulia setelah itu tubuhnya menjadi lemas lalu terjatuh atau menjatuhkan diri tepat di bawah kaki Mbah Makmun.

Mbah Makmun kemudian berjongkokdan memungut ular itu.

“Kau tinggal di sini dulu sampai racun di tubuh genduk benar-benar bersih,” katanya. Ia lalu memasukkan ular itu dalam stples plastic dan menutupnya.

Meski ngeri, bapak mengikuti semua yang dilakukan Mbah Makmun. Ia pun menyimak dialog tanpa balas antara Mbah Makmun dengan sang ular.

“Nduk, bangunlah. Sudah selesai pengobatanmu hari ini,” suara Mbah Makmun kali ini berubah lembut. Membujuk. Taka da paksaan seperti saat tadi meminta Yulia menutup mata.

Ibu pun membuka matanya pelan. Tatapan matanya tanpa diperintah langsung tertuju pada mata kaki Yulia. Bola matanya menatap tajam hampir pada setiap pori-pori kaki Yulia.

“Alhamdulillah. Pak …, lihat bengkaknya berkurang,” seru ibu takjub.

“Ya Allah … matur nuwun (terima kasih), Gusti,” seru bapak langsung bersyukur.

Yulia yang baru saja terjaga dari tidurnya tanpa sadar langsung mencoba menggerakkan kaki kirinya. Ajaib. Rasa sakit yang tadi tak tertahan banyak berkurang. Nyerinya jauh berkurang.

“Bagaimana kakimu sekarang, Nduk?” tanya Mbah makmun sambil menatap lembut pada Yulia.

“Enakkan Mbah. Tidak sesakit tadi,” jawab Yulia dengan mata berbinar-binar.

“Besok, bawa lagi genduk ke sini. Paling tidak ia harus menjalani pengobatan tiga kali seperti tadi.”

Ibu terbelalak ngeri membayangkan ular weling tadi akan menggigit Yulia esok hari.

“Jangan takut. Selama kita memperlakukan ‘dia’ dengan baik, ia pun akan berlaku baik pada kita. Aku hanya memintanya untuk mengambil miliknya yang ia tinggalkan di tubuh genduk,” kata Mbah Makmun.

Bapak dan ibu mengangguk. Tak berani bertanya. Dan rasanya memang tak perlu bertanya karena faktanya bengkak di kaki Yulia berkurang dengan cepat. Rasa sakitnya pun berkurang.

“Yang penting, jangan cerita apa pun pada gendukmu,” pesan Mbah Makmun dengan berbisik lirih di telinga bapak.

Begitulah tiga hari berturut-turut Yulia dibawa ke rumah Mbah Makmun. Diobati dengan cara yang sama. Hingga bertahun kemudian barulah kedua orang tuanya menceritakan bagaimana ia mendapatkan perawatan dari Mbah Makmun. Meski ngeri dan logikanya tak percaya, Yulia akhirnya percaya. Itulah faktanya. Mbah Makmun memang punya kemampuan supranatural, tak masuk akal.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Baca, baca, dan baca...lalu bersambung. Terbuai bukan karena mantra Mbah Makmun. Hehe...

15 Oct
Balas

Hahaha

15 Oct

Woww...super kerenn...sampai tahan nafas bacanya. Pokoknya bunda Isti TOP BANGET!!

15 Oct
Balas

Wow..perlu belajar banyak agar bisa sekeren tulisan Bunda Isti..

18 Oct
Balas

Wow..perlu belajar banyak agar bisa sekeren tulisan Bunda Isti..

18 Oct
Balas

Kalau cerita pakarnya top markotop.

15 Oct
Balas

Luar biasa, Bund. Terpana saya membaca kalimat demi kalimat yang teruntai di sini. Pada giat berikutnya, saya siap mengikuti kelas Novel.

17 Oct
Balas

Wow keren menewen bu Isti, saya berasa berhadapan dengan mbah Makmun benaran.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Wah, Bun, di dalam novel saya juga ada mistisnya, melibatkan ular juga. Orang yg bersekutu dg ular.

15 Oct
Balas

Ini Ndak bersekutu hahaha

16 Oct

Keren banget Bunda cantik.

15 Oct
Balas

Membaca kalimat perkalimat, saya terbawa ke suana rumah mbah Makmun, dan penampilannya yang jauh dari tampilan seorang dukun. Brikutnya terbawa ketegangan pada detik-detik kehadiran ular. Berasa saya ikut memegangi Yulia dan memejamkan mata tak ingin melihat ulo weling itu menggigit jempol Yulia untuk mengambil lagi racun yang ia tinggalkan. Adegan demi adegan tampak jelas dan kuat. Terimakasih contohnya Bunda syantik nan KerrenBismillah, semoga saya bisa menerapkan dalam tulisan saya.Semoga Bundaku, Bunda Isti sekeluarga selalu sehat dalam lindungan Allah, aamin Ya Robbal alaamiiin

16 Oct
Balas

Saya yakin Ibu bisaaaa kayuh lebih baik. Tekuni terus

16 Oct

Ikut terhanyut bacanya, Bunda.

15 Oct
Balas

Meski agak tersedat membaca saat bagian awal tulisan belum di edit, tapi saya sudah terbawa kesuasana Yulia yang diobati si mbah. Ngeri juga membayangka benda panjang melata masuk dari pintu rumah dan mendek. Saya ikut menahan nafas ketiak Si Bapak gemetaran. ...... sudah terbayang tulisan ini akan jadi acuan saya dalam menulis novel. Mantap, Bund. Segeralah tuntaskan, please!

16 Oct
Balas

Waduh... sy ikut menahan nafas saat membaca pengobatan kaki Yulia yg digigit ular...gmn cara menulis agar pembaca terhipnotis saat membaca tulisan kita Bunda... sy harus belajar banyak niih Bunda Isti... slalu keren ceritanya... pasti banyak pembelajaran melalui novel ini, terutama meluruskan akidah masyarakat yg tanpa disadari terseret kpd hal-hal musyrik ttg supranatural

15 Oct
Balas

Hehehe Prinsip tuliislah apa saja asal ada apa2nya harus kita pegang.

15 Oct

Ngeri sekali membayangkan digigit ular berbisa. Saya ikut terbawa alur cerita, sampai deg-degan membacanya.

15 Oct
Balas

Pengalaman tetanggaku

15 Oct

Keren, mantap. top markotop. pingin bisa nulis seperti Bunda

15 Oct
Balas

Terpesonaahh saya mengikutinya bun

15 Oct
Balas

Keren ceritanya Bu Isti... Serasa benaran ..alias natural... Moga aku bisa menulis seperti ini Bu...

15 Oct
Balas

Luar biasa kereeen...saya sampai membayangkan...bagaimana suasana pengobatan nya....aduh..apakah aku bisa..membuat ilustrasi seperti ini

15 Oct
Balas

Bismillah, tak ada sesuatu yang tak mungkin

15 Oct

Geli-geli gimana gitu Bun.Ihhh...

15 Oct
Balas

Terkena hipnotis mantra mbah makmun. Juga saya ngebacanya bunda

15 Oct
Balas

Wow saya ikut terhanyut bunda. Luar biasa deg-degan

15 Oct
Balas

Woowwww keren Bun, terbuai saya membacanya

15 Oct
Balas

Mistis, penasaran sama kemampuan mbah Makmun yang lain .....

15 Oct
Balas



search

New Post