Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web
SAFIR CINTA (Part 2)

SAFIR CINTA (Part 2)

Cerita Reysa (bagian 1)

RUMAH KENANGAN

Taksi itu berhenti di halaman sebuah rumah tua yang tak terawat. Rumah yang belasan tahun lalu menjadi tempat Reysa menjalani masa remaja.

Angin menemani sore yang selalu setia datang bersama burung-burung yang mulai kembali ke sarang. Dedaun saling berbagi cerita tentang pagi yang tadi ramah, mengizinkan mereka berfotosintesis. Sesekali dedaun mengajak reranting bergoyang, saat sepasang burung pipit mengajak mereka bercanda. Seekor kupu-kupu mencoba menguping perbincangan mereka, namun burung pipit bercicit menolaknya.

Angin membantu mengusir kelelawar. Beberapa helai daun meluncur, menyentuh sayap-sayap kelelawar yang lari pontang-panting. Angin makin menggigilkan reranting dan dedahan. Seperti sebuah panggilan pulang, burung-burung pipit lainnya, mungkin juga kenari dan prenjak segera pulang. Demikian pun batang-batang pohon lain di sekitarnya, membuka tangannya menyambut kepulangan burung-burung, bahkan serangga ke pelukannya.

Pulang ke tempat berteduh selalu menjanjikan kedamaian. Tetapi, kepulangan Reysa ke rumahnya ini, adakah juga akan memberikan kedamaian? Atau justru kenangan-kenangan pahit masa remaja akan membuatnya kembali terluka dan tersedu? Seperti burung-burung dan serangga, ia pulang ke rumah tempatku dibesarkan, sore ini.

Dibukanya pagar besi dengan hati-hati. Berkeriyut dan berisik sekali suara pagar besi itu saat dibuka. Halaman rumah itu nyaris dipenuhi semak belukar dan tumpukan daun. Kesunyian setia menjaga rumah itu hingga ratusan purnama. Kalau saja semak belukar, reranting, dan dedaun bisa berbicara, tentu ia akan meminta kesaksian mereka.

Apa yang telah terjadi selama rumah itu ditinggalkannya? Apakah dinding-dindingnya masih mencatat keluh dan tangis yang seringkali ia lakukan diam-diam bila malam-malam sepi, saat hujan bergemuruh ditimpa kilat dan guntur? Masih adakah ranjang dan kasurnya setia di kamar yang menyimpan ribuan galon air mata, menenggelamkan impian masa kanak-kanak dan remajanya dulu? Masihkah dapur dan ruang tamu menyisakan aroma tubuh Ibunya sehabis mandi, sehabis memasak, atau sepulang kerja?

Beberapa lama Reysa hanya berdiri mematung tepat di depan pintu ruang tamu. Tatapan matanya menerawang tepat di puncak pohon rambutan yang segaris di hadapannya. Hanya enam meter dari tempatnya berdiri. Ia mengira-ngira berapa panjang puncak rambutan telah bertambah sejak ia memutuskan pergi meninggalkan rumah untuk kuliah, lalu menjadi perempuan karier di belantara ibukota.

Dahulu, di puncak rambutan itu, saat masih SMP dan SMA, ia suka menghabiskan hari libur sendirian, menggendong boneka yang sudah pudar warna pinknya. Di dahan rambutan yang menjulur ke arah utara itulah ia suka berbicara sendiri pada bonekanya. Pada boneka itulah ia ceritakan kerinduannya pada sosok bapak.

Ia menggigit bibir kuat-kuat saat kerinduan pada bapak menyeruak lagi. Betapa rindu itu masih mengental dan menjadi gumpalan yang kerap kali menyesakkan dada. Rindu melihat wajah bapak yang tumbuh sejak ia menyadari bahwa setiap orang harus memiliki bapak. Rindu yang tak menemukan ujungnya. Hingga kini, ia belum juga bisa bertemu dan menemukan siapa bapaknya sesungguhnya. Ibu tak pernah memberitahunya siapa sesungguhnya lelaki yang telah menitipkan benih di rahimnya, hingga melahirkan dirinya ke dunia. Teka-teki hidup yang membuatnya menyusuri lorong-lorong kehidupan sendirian, di balik binar kesuksesan yang kini diraihnya.

Kenangan-kenangan pahit tentang hidup yang sunyi dan rindu pada sosok bapak kerap membuatnya dihantui mimpi buruk. Semasa kecil, mimpi buruk serupa pohon-pohon nyiur yang berjajar-jajar di halaman belakang rumah. Pohon-pohon nyiur itu merunduk, mengepung, dan daun-daunnya membuat Reysa tersekap, hingga ia tak mampu lagi bernapas. Dalam suara tercekat, ia seringkali berteriak dalam mimpi, meneriakkan kata bapak, memanggilnya. Sayang, bahkan dalam mimpi sekali pun betapa sulit ia mengeja nama bapak, apalagi membayangkan wajah bapak di dalam mimpi, hanya serupa bayang-bayang hitam. Ia tak pernah mampu melukis wajah bapak dalam mimpi, apalagi di atas kanvas nyata.

Reysa mengusap matanya yang basah. Ia sungguh tak ingin larut dalam kenangan pahit.

Pintu kayu di depannya telah sangat kusam. Warna catnya yang dulu biru telah hilang sempurna. Bahkan beberapa bagian telah mengelupas dan tampak bekas-bekas digerogoti rayap musim hujan kemarin. Tampak ratusan ekor semut hitam merambat di pintu itu, berbaris. Ia lalu mengambil kunci dari dalam tas, lalu membuka pintu itu. Beberapa kali dicoba, namun tak juga berhasil. Semut-semut itu seperti tak rela bila wilayahnya dijamah tangan manusia. Beberapa ekor malah mulai menggigit tangan dan jari Reysa.

Oh, ya, tiba-tiba Reysa ingat pintu belakang, di bagian kanan dapur seringkali tak dikunci. Hanya dengan sedikit mendorongnya, pintu dapur itu terbuka. Hanya bila malam ibunya suka mengunci pintu dapur. Takut kalau-kalau ada orang jahat yang masuk ke rumah. Bukan maling yang ditakutkan, sebab di rumah ini tak banyak barang berharga. Namun, membiarkan pintu tak terkunci malam-malam amat berbahaya bagi mereka berdua bila sampai ada orang asing masuk ke rumah. Di rumah ini tak ada lelaki.

Pintu samping dapur itu masih seperti dulu. Bisa dibuka hanya dengan sedikit mendorong saja. Udara yang pengap menyambut Reysa. Langit-langit dapur dipenuhi sarang laba-laba. Beberapa kecoak berlarian, seperti kaget saat Reysa menginjakkan kaki ke dalam. Seluruh lantainya tertutup debu hingga berubah seperti lantai tanah. Beberapa kali Reysa terpaksa bersin-bersin.

Reysa masuki ruang utama. Di sana ada dua buah kamar yang berjajar. Di bagian depan adalah kamar Ibu dan yang belakang, berbatasan dengan dapur adalah kamarnya dulu. Di depan kedua kamar itu terdapat meja, kursi tamu dan lemari tua. Ada televisi yang juga telah tua, televisi hitam putih yang dulu dibeli Ibu dengan cara mengangsur di koperasi tempatnya bekerja.

Ia menyalakan lampu. Mati. Ia hampir lupa bahwa listrik di rumah ini bisa jadi telah tak dibayar beberapa tahun, sejak ibunya juga memutuskan tinggal dengan bapak tirinya. Diambilnya sapu dan bergegas menyapu seluruh ruangan itu. Tak dipedulikannya bagaimana debu-debu dan sarang laba-laba itu mengotori wajah cantiknya, juga rambut hitam yang baru saja dicreambath kemarin di salon langganannya. Tak apa. Lusa, bila ia sudah kembali senggang, akan disempatkannya merawat diri di salon kota pahlawan.

Hampir satu jam ia membersihkan rumah kenangan ini. Sesekali ia terpaksa harus mengusap air mata bila melihat atau menyentuh barang-barang yang mengingatkannya kembali pada masa lalu. Ada yang mencatat kenangan manis, ada juga yang menorehkan kenangan pahit. Begitulah hidup menulis cerita. Seperti pelangi, menjadi indah sebab beraneka warna.

Ia memungut pigura di atas meja televisi. Fotonya bersama Ibu. Ibu memeluknya sambil tersenyum bahagia. Foto itu mengabadikan kebahagiaan mereka saat Reysa berhasil menjadi juara I dalam olimpiade sains (OSN) bidang fisika di tingkat kota.

“Bu…. Tanpa mimpi indahmu, tanpa dorongan dan doamu, tak akan mungkin aku menjadi Reysa yang seperti sekarang ini,” bisik Reysa sambil memejamkan mata mengenang sosok ibunya.

Beberapa saat ia memeluk pigura itu sambil memejamkan matanya. Kemudian diciuminya foto itu, sepenuh hati ia berdoa semoga kebahagiaan selalu melingkupi Ibu. Selamanya, di mana pun kini ia berada.

Reysa mengembalikan foto itu pada tempatnya.

Ditemani lampu teplok yang samar-samar, ia menghabiskan malam sendirian di rumah kenangan. Malam itu ia sengaja hendak menuntaskan kerinduan pada masa lalu, sebelum esok ia harus menemui seorang kawan lama, Faradina Izdhihary. Ia sering memanggilnya Dina, kawan lama yang ia harapkan akan mampu memberi warna masa lalunya yang demikian pekat. Menulis biografi untuk dirinya.

Reysa ingin membagi cerita hidupnya yang kelam dengan hinaan dan penderitaan itu dalam sebuah buku biografi. Ia tak ingin ada perempuan lain yang mengalami nasib sekelam dirinya dan terjerumus dalam kehidupan yang hitam seperti dirinya. Ia pun ingin, kelak entah kapan, bila Tuhan mengambil nyawanya, buku itu akan menjadi sarana baginya meminta maaf pada orang-orang yang dicintainya. Sungguh, mengungkapkan segala pengkhianatan yang ia lakukan pada Ibu, suaminya, anak-anaknya, mungkin juga beberapa orang kerabat dan sahabat dekatnya, ia tak akan sanggup. Apalagi orang lain.

Hasrat untuk menggenapi sejarah hidupnya sebagai manusia layaknya yang lain, membuat Reysa memaksa suaminya mengiizinkannya untuk pulang ke kampung halaman, sendirian. Meski tadinya Bram, suaminya keberatan dan tak mengizinkannya.

“Percayalah, Mas…. Aku kuat. Aku titip anak-anak,” begitu akhirnya Reysa membujuk Bram.

Reysa tak mungkin sanggup melupakan tatapan penuh kasih dan kekhawatiran Bram saat melepas kepergiannya kemarin. Bram… Reysa mendesah mengingat kebaikan dan ketulusan Bram dalam mencintai dan menerima dirinya apa adanya. Bram, lelaki pertama yang ia cintai. Lelaki pertama yang mengenalkan arti kasih sayang dan perhatian dalam hidupnya setelah enam belas tahun menjalani hidup tanpa kehadiran sosok lelaki sama sekali. Bram, suaminya adalah lelaki yang paling mengerti luka menganga dalam sejarah hidupnya.

Di rumah Ibu kini, lembaran-lembaran masa lalunya kembali bermunculan. Ia membaringkan tubuhnya yang mulai terasa pegal-pegal sehabis membersihkan rumah sesorean. Diambilnya sebuah album foto dari lemari baju. Koleksi foto yang tidak terlalu banyak, namun menyimpan catatan hidup yang tak dapat ia ceritakan hanya dalam semalam.

Sebuah panggilan terdengar dari HP-nya. Bram menelepon. Ia seperti biasa hanya menanyakan keadaan Reysa, memastikan keadaan Reysa baik-baik saja. Reysa mendesah. Kenangan masa lalu saat ia diam-diam pergi bersama Bram tanpa sepengetahuan Ibu terbayang lagi. Terbayang kembali bagaimana perasaan takut dan khawatirnya bila ibunya sampai mengetahui kencan pertama itu.

Kenangan tentang sore itu seperti ia rasakan hadir lagi sekarang.

Sore itu Reysa pulang terlambat setengah jam dibanding hari-hari biasanya. Pagi harinya Bram mengajak Reysa merayakan Valentine, berdua mereka makan di sebuah kafe. Bagi Reysa merayakan valentine saja sudah merupakan satu peristiwa luar biasa, apalagi makan di sebuah kafe. Tadi saja Reysa sempat panas dingin saat memasuki kafe. Ia takut tak bisa makan hidangan dengan etika yang sesuai.

Untunglah saat di kafe, Bram berhasil membuat Reysa tak salah tingkah atau menanggung malu karena tak bisa memotong daging steak dengan pisau. Di luar dugaannya, Bram malah memilih mencuci tangannya di wastafel dan langsung menyantap makanan dengan jari-jarinya. Reysa pun akhirnya tak ragu mengikuti cara makan Bram. Sesekali Bram menyuapkan makanan ke bibir Reysa. Makan siang hari itu menjadi makan siang ternikmat, termahal, dan terindah dalam hidup masa remaja Reysa.

Begitu bahagianya mereka sore itu hingga lupa waktu untuk pulang. Saat menyadari hari sudah mulai sore, Reysa langsung menjerit minta diantar pulang. Sayangnya Bram juga harus segera pulang untuk mengikuti les piano di rumahnya. Pulang terlambat bisa berakibat fatal baginya. Ibu Bram bisa berkhotbah panjang lebar tentang kedisiplinan. Sama dengan Reysa yang juga takut akan menyakiti hati Ibu bila terlambat pulang. Karenanya mereka memilih pulang sendiri-sendiri. Bram dengan motornya, Reysa dengan angkutan umum warna biru walau suaranya berisik memekakkan telinga penumpang yang duduk terkantuk-kantuk.

“Hem.... ntar aku ngomong apa, ya, sama Ibu. Bohong apa jujur? Aduuuh, gimana?” pikir Reysa sepanjang waktu menunggu angkot datang. Ditarik-tarik rambutnya seperti orang terkena migrain hebat.

Wajah Ibu yang marah dan kecewa berat terbayang jelas. Harapan Ibu yang terlalu tinggi padanya membuatnya sering kali berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Huh… gimana dong? Tanya Reysa pada dirinya sendiri sambil bersungut-sungut. Beberapa penumpang angkot di sampingnya menatap heran. Bukan tidak mungkin ada di antara mereka yang berbisik dalam hatinya, “Nih cewek cakep-cakep gila! kasihan!” Hihihii.

Tapi Reysa tak mau peduli. Ia sibuk mengarang cerita, membuat alasan agar Ibu tidak memarahinya karena terlambat pulang. Namun pikirannya tak bisa diajak kerja sama. Bukannya ide untuk membohongi Ibu yang muncul, malah seraut wajah Bram yang tersenyum manis yang memenuhi otaknya. Ah, inikah cinta pertama?

Bram yang cerdas, tampan, dan jago main bola. Ia tipe cowok idaman di SMA Reysa. Banyak cewek yang berusaha merebut perhatiannya, baik terang-terangan maupun diam-diam. Reysa sama sekali tak berani membayangkan dapat berteman dekat dengan Bram, apalagi memimpikan jadi pacar Bram. Namun, olimpiade sains membuatnya bertemu Bram tiap hari saat pembekalan dan mengakrabkan mereka berdua. Sebulan bersama mengikuti pembekalan cukup membuat Bram mengenal Reysa. Gadis cerdas, sederhana, dan pemalu, begitu puji Bram tentang dirinya. Bram terpesona pada kesederhanaan dan sikap Reysa yang cenderung malu-malu.

Reysa tersenyum senang mengingat bagaimana Bram mengutarakan perasaan cintanya usai kami makan di kafe.

“Rey… enak makannya?” tanya Bram.

Reysa hanya mengangguk sambil meneguk lemon tea.

“Rey…” Bram menarik telapak tangan Reysa.

Reysa diam saja meski hatinya bergemuruh. Meski belum pernah pacaran, namun Reysa sering mendengar cerita teman-teman ceweknya bagaimana adegan saat seorang cowok menyatakan cintanya. Reysa tak pernah sanggup melupakan bagaimana mata Bram demikian bersinar tiap kali menatapnya.

Tiba-tiba Reysa ingin menulis puisi cinta yang indah untuk Bram, tapi ia tahu takkan mampu. Lagi pula soal puisi, Bram lebih jago. Selain ikut ekstra sepak bola, Bram juga main teater. Kombinasi yang asyik. Cakep, cerdas, jago bola, bintang teater, dan juara olimpiade kimia di tingkat kota. Siapa yang takkan mengaguminya?

“Rey…” suara Bram mengagetkan Reysa yang tengah melamun.

“Iya…” masih diingatnya bagaimana suaranya saat itu terdengar sangat gugup.

“Kamu mau kan jadi pacarku?” tanya Bram akhirnya tanpa basa-basi lagi.

Reysa gemetar. Seperti melayang rasanya. Mendengar pernyataan cinta Bram.

“Gimana?” Bram mendesak.

Tanpa berpikir panjang Reysa mengangguk. Bukankah tak perlu ragu untuk mengakui bahwa diam-diam ia menyukai Bram sejak lama. Semakin kagum dan semakin jatuh cinta saat setiap hari belajar fisika di ruang laboratorium yang sama dan dibimbing guru yang sama pula.

Reysa masih tersenyum-senyum mengenang kebaikan Bram hingga tak menyadari bahwa angkot telah melewati rumahnya hingga beberapa meter. Ia tersadar ketika melihat sudah sekitar sepuluh meter angkot melewati pagar rumahnya.

“Kiri... kiri, Pak!” teriaknya.

Ufff hampir saja kepalanya membentur pintu mobil. Tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 1,25 meter saja.

Seperti biasanya, rumah mungil itu tetap sepi. Seakan tak berpenghuni. Hanya beberapa ekor burung yang beterbangan dari satu dahan rambutan ke dahan jambu yang tumbuh tegak di halaman rumah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren bingits Bunda...diksinya itu lho muantepnya...

21 Mar
Balas

Kereeen cerpennya, Bunda Isti. Semoga Reysa tetap menemukan kedamaian. Sukses selalu, Bunda. Salam literasi

20 Mar
Balas

Ini novel, Pak

20 Mar

Keren...... Ternyata 'kiri' itu mantra ajaib yang berlaku di seluruh Indonesia untuk menghentikan mobil ya....

21 Mar
Balas

Ngg sabar nunggu lanjutannya Bunda.

20 Mar
Balas

Kutunggu cerita selanjutnya. Untaian kalimat yang puitis romantis.... Membuatku ingin belajar dan terus belajar... Menginspirasi banget...

20 Mar
Balas

Mantap Bu... keren banget.... salam cerita indah menarik sekali

20 Mar
Balas

Wuih... mantap banget. Diksinya membuat saya membaca detail. Tak ingin satu katapun terlewatkan.

21 Mar
Balas

Luar biasa. Saya banyak belajar dalam penggambaran detil penokohan dan sering suasana pendukung

20 Mar
Balas

Mantap ceritanya. Tak sabar menunggu cerita selanjutnya. Salam sehat dan sukses selalu Bu Istiqomah

21 Mar
Balas

Wuih keren banget Bunda. Terima kasih untuk hiburan malam minggu ini. Jadi tambah semangat menyelesaikan naskah sendiri. Bismillah.

20 Mar
Balas

Keren novelnya Bunda Isti...penasaran lanjutannya..

20 Mar
Balas

Jadi pinisirin buuun, apa kesalahan reysa pd keluarganya. Ditunggu kelanjutanya.

20 Mar
Balas

Salam literasi bunda Istiqomah. Membaca Novel bunda sungguh asyiik diksi dan suasana yang diceritakan seakan menyatu dalam kehidupan nyata. Saya jadi banyak belajar tentang Novel. Terima kasih bunda mohon maaf kelas Novel yang saya ikuti dengan bunda saya belum merampungkannya. Se oga suatu waktu bisa mewujudkan.

25 Mar
Balas

Waa, makin terlarut... Keren pisan....

20 Mar
Balas

Makin penasarannn...

20 Mar
Balas

Mantap dan menarik bunda...salam sukses untuk adinda Faradina

20 Mar
Balas

luar biasa .kpn terbit nih

20 Mar
Balas

Mantab cerpennya bu. Salam sukses dan sehat selalu

08 Apr
Balas

Keren ulasannya, sukses selalu...

20 Mar
Balas

Keren Bunda Isti, makin penasaran lanjutannya..

20 Mar
Balas

Pantengin besok ya

20 Mar

keren buanget cerpen bunda Isti. Salam buat Reysa. Sukses selalu, Bund.

04 Apr
Balas

Kereeen Bangets bunda... suka'baca nya

20 Mar
Balas

Keren banget bu Isti.Diksi dan detail penggambarannya mengispirasi saya yang baru belajar.

14 Apr
Balas



search

New Post