Istiqomah

Saya Widyaiswara di PPPPTK PKn dan IPS Malang. Menulis dan mengedit adalah pekerjaan yang saya sukai. Dari hobi bisa jadi sumber penghasilan dan meningkatkan ko...

Selengkapnya
Navigasi Web

TERSUNGKUR, Part of Janda Tanpa Kembang

Hari itu, seperti biasa Johan menengok kandangnya. Kang Ali, pemegang kunci kandang yang rumahnya dekat kendang tidak masuk hari ini. Kata pekerja lainnya, sudah lima hari ia tak masuk kerja. Karena itu, kunci kandang diserahkan pada pekerja lainnya.

Di hari kelima absennya Kang Ali, terjadilah pencurian ayam itu. Tidak tanggung-tanggung. Ada sekitar 20 ekor ayam raib dari kandang dan beberapa kotak telur di gudang ikut hilang. Tak ada pekerja yang mengaku. Johan tak ingin melaporkan kejadian itu pada polisi sebelum mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Pencurian ini baru pertama kali terjadi sejak ia menikah dengan Yulia.

Ia memutuskan untuk menengok Kang Ali ke rumahnya. Di sana, di rumah yang dindingnya masih berupa batu bata, tanpa semen, apalagi cat yang membuat rumah tampak indah dan nyaman. Seorang gadis belasan tahun dengan tubuh kering dan rambut kemerahan menemuinya.

“Mohon maaf. Tempatnya kotor, Juragan. Silakan masuk,” ucap gadis yang belakangan diketahui Johan merupakan adik Kang Ali.

“Kang Ali ada?” tanya Johan tanpa basa-basi.

Gadis itu tertuntuk. Lidahnya seolah tertarik hingga ke kerongkongannya. Sangat gugup. Bahkan takut. Itu kesan Johan. Kuat keyakinan Johan bahwa gadis itu menyembunyikan sesuatu.

“Kang Ali! Kang Ali!”

Johan langsung masuk ke dalam rumah karena ia yakin Kang Ali bersembunyi, tak berani menemuinya. Bukannya menemukan Kang Ali dan menumpahkan amarahnya, Johan justru menemukan kenyataan yang membuatnya tersungkur hingga terjatuh di tempat paling bawah. Tempat paling rendah yang ia sadari. Saat ia menemukan dirinya: seorang manusia tanpa kemanusiaan. Begitulah Johan mendapati dirinya sore itu saat tatap matanya tertumbuk pada sesosok tubuh perempuan renta di atas balai-balai bambu dengan alas tikar yang robek di sana-sini. Tak ada selimut pembungkus tubuh yang napasnya berbunyi bagai terompet yang tersumbat itu. Hanya selembar kain sarung tipis yang usang.

“Mohon maaf, tidak ada kursi buat juragan. Kang Ali sudah menjualnya bulan lalu untuk pengobatan bapak,” ujar gadis itu mengagetkan Johan yang masih terpaku.

Johan ingin berteriak dan menghukum dirinya dengan hukuman paling berat yang harus diterima seorang anak manusia. Bukan sekadar hukuman pukulan seperti yang diterima para budak yang ketahuan mencuri. Perasaan sakit menyergap dadanya tanpa belas kasih. Perempuan tua yang tergolek di balai-balai bambu itu membuat air matanya memenuhi kelopak matanya. Pandangannya buram.

“Gusti, aku memang terlahir miskin, tetapi tidak pernah kubayangkan ada yang jauh lebih miskin dan menderita seperti ini.”

Kecurigaan dan kemarahan Johan tak tersisa sedikit pun. Rasa kemanusiaannya yang terketuk begitu keras membuatnya merasa menjadi manusia paling hina.

“Juragan….” Lagi-lagi gadis kurus kering itu mengejutkan Johan.

“Kang Ali kemana?” tanya Johan akhirnya setelah dapat menguasai diri. Ia berusaha membuat suaranya tetap normal meski jemarinya masih tetap bergetar.

“Ke rumah sakit, Juragan. Bapak sudah lima hari dirawat di sana.”

Tanpa berkata apa pun, Johan keluar dan segera memanggil Kang Yanto. Tak lama kemudian ia Kembali masuk ke dalam rumah Bersama Kang Yanto.

“Kita akan bawa ibumu ke rumah sakit,” kata Johan pada adik Kang Ali.

Si gadis tergeragap, tak mengira juragannya berkata seperti itu.

“Tapi Juragan ….”

“Sudah segera bersiap. Kang Yanto, angkat ibunya ke mobil,” kata Johan tanpa memberi kesempatan Kang Yanto maupun gadis itu bertanya-tanya lagi.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibir Johan. Begitu sampai ke rumah sakit, dengan cekatan Johan mengurus semuanya. Memasukkan ibu Kang Ali ke kamar kelas satu. Jadi satu kamar dengan suaminya, bapak Kang Ali yang tadinya dirawat di kamar kelas tiga.

“Saya mohon maaf, Juragan. Saya terpaksa ….” Berkali-kali Kang Ali berusaha menyampaikan pengakuan atau entah apa.

Johan tak sekali pun memberi kesempatan pada Kang Ali untuk berbicara padanya. Hanya satu kalimat yang terus berulang ia sampaikan pada Kang Ali.

“Bapak dan Ibumu jauh lebih berharga.”

Kang Ali dan adiknya jelas tak pernah membayangkan mendapat pertolongan itu. Dokter dan perawat yang menangani kedua orang tua mereka pun kini berlaku lebih sopan dan sabar pada mereka.

“Tolong bantu mereka. Saya yang akan menanggung semuanya,” ucap Johan pada perawat yang menangani kedua orang tua yang beruntung itu.

Pada dokter yang merawat keduanya pun Johan minta tolong agar diberi pengobatan yang terbaik.

“Gangguan pernapasan dan gizi yang kurang.”

Itulah simpulan dari dokter atas penyakit kedua orang tua Kang Ali. Penyakit yang acapkali menyerang penduduk miskin yang tinggal di rumah-rumah kumuh. Rumah yang jauh dari standar kesehatan. Rumah yang tidak memberi udara yang cukup sehat pada penghuninya. Dan Johan tahu persis penyebab kedua orang renta itu mengalaminya. Pencemaran udara, bahkan mungkin air dari kandang ayamnya.

Setelah menyelesaikan urusan rumah sakit dan memastikan kedua orang tua Kang Ali, Johan pun pamitan pulang.

“Juragan, saya terpaksa …,” kata Kang Johan yang tetap nekad hendak melakukan pengakuan dosa. Ia mengejar Johan sampai di parkiran untuk menyampaikan hal itu.

“Saya yang seharusnya mohon maaf, Kang Ali. Saya khilaf pada Kang Ali dan keluarga. Maafkan saya dan keluarga saya,” bisik Johan sambil menyalami Kang Ali.

Ada sebuah amplop yang sudah ia siapkan sejak berangkat tadi. Dua juta rupiah memang jumlah yang banyak bagi kang Ali. Tetapi sangat tidak seberapa dibanding kerugian dan penderitaan yang selama ini diterima Kang Ali dan keluarganya akibat peternakan ayam miliknya.

***

Sepulang dari rumah sakit, Johan menjadi pendiam. Ia seolah kehilangan kata-kata yang bisanya cukup mudah mengalir dari bibirnya. Yulia curiga telah terjadi sesuatu yang menimpa suaminya.

“Ada apa? Kenapa sejak tadi diam?” tanya Yulia saat mereka telah berada di kamar.

Johan menarik napas panjang. Dibukanya jendela dan tirai seolah hendak mengundang udara malam ke kamarnya yang tiba-tiba menjadi sempit.

Masalah Kang Ali, bayangan tubuh kedua orang tua Kang Ali, serta rasa bersalah yang teramat sangat, membuatnya kesulitan bernapas. Setelah menyulut rokoknya, Johan pun memulai ceritanya dengan hati-hati. Ia berharap istrinya pun akan menemukan kesadaran seperti yang ia alami hari ini sehingga akan mudah baginya melakukan perbaikan.

“Selama ini, kita telah sangat zalim kepada mereka. Dosa bertahun-tahun ini entah bagaimana menebusnya,” ucap Johan mengakhiri ceritanya.

“Maksudmu apa Mas?” Yulia menatap Johan tak mengerti. Lelaki yang telah menikahinya selama setahun ini telah banyak membuat kejutan-kejutan pada jantungnya. “Bukan salah ayah atau salah kita kalau peternakan kita berada dekat perumahan penduduk. Mereka membangun rumah belakangan setelah peternakan kita berkembang bertahun-tahun,” ucap Yulia lagi. Kali ini suaranya agak tersengal-sengal. Jelas ia tak rela disalahkan bila kandang peternakan ayam yang dibangun ayahnya dituduh menyalahi perundangan.

Dulu, kata ayahnya, saat membangun usaha peternakannya pertama kali, ayahnya sudah mengurus perizinan itu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/7/2011 tahun 2011, jarak antara peternakan ayam dengan lingkungan pemukiman minimal 500 meter dari pagar terluar.

“Kalau kemudian kandang-kandang ayam kita begitu dekat dengan rumah penduduk, bukan salah kita juga dong, Mas. Lagipula, ayah menanamkan pada kami untuk tidak pelit pada mereka. Kita kan sering memberi telur dan ayam afkiran pada mereka.”

“Dan, saat lebaran memberi mereka sarung dan mukena? Ikhlas atau alibi untuk menutup mulut mereka?” ucap Yulia sedikit ketus.

Johan berusaha menekan agar jawabannya tidak terlalu sinis dan menyakiti perasaan Yulia. Bagaimana pun Yulia adalah istrinya, perempuan satu-satunya yang ia harapkan akan setia mendampinginya hingga maut menjemput. Apa yang telah dilakukan mertuanya dan kini diteruskan Yulia dengan bantuannya adalah kezaliman. Bukan sekadar kezaliman biasa, tetapi luar biasa.

Yulia terdiam. Untuk sesaat ia terkenang saat ia masih duduk di bangku SMP. Saat itu, beberapa tetangganya melaporkan peternakan mereka pada Pak Lurah. Saat itu, banyak beberapa tetangganya memprovokasi tetangga yang lain untuk membakar kendang ayam milik ayahnya.

Suasana malam itu sangat mencekam. Puluhan penduduk berteriak-teriak meminta agar ayahnya keluar dari rumah. Bila tidak, mereka mengancam akan membakar kendang ayam ayahnya. Beruntung sebelum kejadian mengerikan itu terjadi, Pak lurah dan babinsa datang meleraikan. Tetangga yang memprovokasi kerusuhan malam itu kemudian hari diketahui Yulia telah pindah rumah ke kampung sebelah. Ada lagi Kang Bimo, setelah kejadian itu malah jadi pekerja tetap di kandang ayahnya. Bukan sekadar pekerja upahan yang dibayar mingguan, ia langsung dijadikan mandor dan diberi fasilitas sebuah motor.

“Pak Lurah pasti membantu kita.” Itu kalimat ayah yang sangat diingat oleh Yulia hingga saat ini.

Dulu Yulia tak paham mengapa Pak Lurah selalu berada di belakang ayah tiap ada keributan tentang protes warga pada bau kotoran ayam saat musim hujan tiba. Di kemudian hari, setelah Yulia berumah tangga dan mengelola usaha peternakan sendiri, ia tahu: ada upeti yang harus ia setorkan diam-diam pada Pak Lurah.

“Baik-baiklah pada Pak Lurah dan aparatnya. Mereka yang akan menolong kita bila terjadi apa-apa,” begitu pesan ayahnya sepulang mengantarkan Yulia mengurus isurat izin pembangunan kandang ayamnya. Proses pengajuan izinnya sangat gampang dan cepat. Semua dibantu Pak Lurah. Tidak seperti yang selama ini ia dengar dari televisi atau koran-koran yang memberitakan pengurusan izin usaha sulit dan berbelit-belit.

“Yul…,” kata Johan mengagetkan Yulia. Kenangan tentang almarhum ayahnya terputus.

“Coba kita renungkan. Andai kau berada di pihak Yu Tinem, Kang Narjo, Kang bejo, dan keluarganya, serta mereka yang tinggal di dekat kandang kita, kamu mau? Kamu mau seperti mereka setiap hari menghirup bau kotoran ayam yang menyengat, mandi dan makan minum dengan air sumur yang barangkali juga telah tercemar kotoran ayam kita.”

Yulia menatap Johan dengan nanar lalu menggeleng lemah. Johan menatapnya lembut.

“Kamu tidak akan pernah sanggup berada di posisi mereka.”

Dheg! Yulia tertegun. Bayangan orang-orang yang Namanya disebut Johan terpampang jelas di mata Yulia. Orang-orang yang ‘melas’, begitu Yulia memandang mereka. Mmelas karena hidup sangat memprihatinkan. Makan seadanya dengan kesehatan yang memprihatinkan. Puskesmas dan obat-obat generik menjadi gantungan hidup mereka. Karena itulah, Yulia selalu mewanti-wanti pada para pekerjanya agar setiap minggu membagikan telur bentesan (telur yang pecah, tetapi masih bisa dikonsumsi) pada mereka. Agar mereka mendapat makanan bergizi, begitu pikir Yulia. Sebab ia tahu persis, upah kerja mereka tak bakal cukup untuk mengonsumsi telur setiap hari. Tempe, tahu, ikan asin dengan sayur daun singkong, pepaya dan nangka muda. Itulah menu harian mereka.

Sebenarnya, seringkali Yulia bergidik saat menengok kandang ayamnya. Bau kotoran ayam yang menyengat sering membuatnya mual. Tak jarang seharian sepulang dari kendang ia kehilangan selera makannya. Diam-diam ia sering berpikir bagaimana mungkin orang-orang itu sanggup bertahan tinggal di dekat kandangnya.

Johan sadar istrinya bukan manusia yang diajari dengan baik soal tenggang rasa. Mencari uang dan mempertahankan kekayaan turun termurun adalah tugas kehidupan yang harus Yulia jalankan.

Ia mungkin tak pernah diajari berpikir dan merenung. Orang tuanya lupa mengajarkan tentang empathy. Tak heran bila Yulia ta mampu berpikir bahwa orang-orang lemah seperti Kang Bejo adalah orang-orang yang ditakdirkan menjadi orang-orang yang kalah. Kalah karena kebodohan dan kemiskinan. Kemiskinan membuat mereka pasrah pada nasibnya, tak tahu dan tak berani bersikap atas ketidakadilan yang mereka alami. Jelas, sejatinya hati Nurani mereka berontak. Bagaimana mereka tidak dapat bernafas lega dengan udara segar di rumah mereka sendiri? Mereka pun tak tahu harus mengadu pada siapa saat mereka harus berbagi makanan dengan lalat-lalat hijau menjijikkan. Sebuah takdir luka yang takt ahu kemana harus dikeringkan. Bukan hanya pemilik kandang yang begitu tega merebut kebebasan mereka untuk mendapat udara segar. Bahkan lalat-lalat hijau yang menjijikkan pun memaksa mereka berbagi makanan apa adanya yang mereka usahakan dengan memeras keringat bahkan air mata. Apalagi saat musim hujan datang. Mereka harus menekan rasa mual dan jijik membayangkan air hujan yang meresap ke tanah bercampur kotoran ayam akan sampai juga ke sumur-sumur mereka.

Namun, apa daya? Lagi-lagi kemiskinan membuat mulut mereka bungkam. Tangan mereka terkulai tak berdaya hanya ditindih dengan telur-telur benthesan atau selembar sarung yang diantar menjelang lebaran. Kemiskinan itu melahirkan kebodohan. Jangankan untuk bersekolah tinggi dan mendapatkan pekerjaan untuk memutus rantai takdir kemiskinan, dapat makan sehari-hari pun selalu mereka syukuri. Begitulah akhirnya, alih-alih memprotes dan membenci pemilik kandang, mereka harus ‘memaksa hatinya’ untuk berterima kasih karena telah diberi pekerjaan sang juragan, pemilik kandang. Ia yang sejatinya perebut kebebasan orang lain menjelma menjadi pahlawan.

Ironis!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wow...keren..Bunda Isti ia the best..

18 Oct
Balas

Rangkaian kalimat dan diksinya sangat luar biasa, rinci, detail, dan mendeskripsikan dengan jelas hingga membuat saya seakan mencium bau kotoran ayam dan pengap berada di sekitarnya. Salam hormat, Bund.

16 Oct
Balas

Luar biasa. I

10 Oct
Balas

Keren menewen, siapa dulu penulisnya, Salam dan salut Bu Isti

11 Oct
Balas

Memgaduk rasa, harusnya benci jadi cinta, harusnya marah jadi lemah karena sudut pandang yang jeli terhadap setiap detail peristiwa. Speechless..., terimaakasih Bun atas sharing tulisannya. Bisa memetik pelajaran kehidupan sekaligus belajar menulis setiap kali membaca tulisan Bunda.

10 Oct
Balas

Ah. Adiuuh kok saya jadi gak nafsu makan. Sedih rasanya memvayangkan mereka

11 Oct
Balas

Mantap..hati Pak Johan yang terbuka perlahan versus Yulia yang tetap mempertahankan kekayaan warisannya. Apik kisahnya

11 Oct
Balas

Luar biasa..

12 Oct
Balas

Masya Allah... Realita kehidupan yang ditulis dengan sangat indah dan detil.

10 Oct
Balas

Di daerah kami juga byk kandang ayam pekerjanya tinggal di sana bersama anak2nya yg msh kecil

12 Oct
Balas

Tulisan yang luar biasa bunda..

11 Oct
Balas

Terharu dan terpukau dibuatnya...keren bunda

10 Oct
Balas

Apik sekali ....

11 Oct
Balas

Bagus bu

14 Oct
Balas

Mantap!

10 Oct
Balas

Novel sarat dengan kritik sosial. Selalu renyah dan gurih tulisanmu, Bun. Jooosss

10 Oct
Balas

luar biasa bunda....

10 Oct
Balas

Ceritanya keren bunda

11 Oct
Balas

Wow luar biasa bunda. Aduh gimana ya menghadirkan untaian kata indah penuh makna seperti itu. Hiks masih belum seujung kuku naskah novel ku

10 Oct
Balas

Wow, Amazing

10 Oct
Balas



search

New Post