Isti Yogiswandani

Just write when desire is coming, writting is a free way to ekspress........

Selengkapnya
Navigasi Web
Kidung lereng wilis part 7
Kawah ijen

Kidung lereng wilis part 7

Tak terasa mereka sudah sampai kembali ke terminal Probolinggo. Suara adzan dhuhur telah terdengar, mereka singgah di mushola untuk menunaikan shalat dhuhur, sekalian dijamak dengan ashar, karena khawatir sampai di Bondowoso sudah maghrib.

Perjalanan ke Bondowoso ternyata cukup menarik, melewati PLTU Paiton dan Pantai Bentar. Memasuki Kabupaten Situbondo medan mulai berliku dengan beberapa tanjakan yang melingkar, sesekali melewati hutan pinus.

“Ssst….makan sendiri,” tiba-tiba Panji mendekati tempat duduk Candramawar dan Mbak Tita sambil meraih wafer di tangan Candramawar. Dibawanya kudapan itu ke depan, Panji berpindah ke jok di dekat sopir, duduk di samping kondektur. Panji menawarkan wafer di tangannya sambil mengajak kondektur ngobrol.

“Pak, terminal Situbondo masih jauh?” kondektur menyambut ramah tamah Panji dengan mencomot sepotong wafer.

‘ “Kira-kira satu jam lagi, mau ke mana?” kondektur itu mencomot sepotong wafer lagi.

“Mau mendaki ijen, transpornya susah gak Pak?” Kalau sudah malam masih ada bis gak ya?” Panji bertanya pada kondektur. Sejujurnya dia juga belum pernah ke Ijen.

“Turun terminal Bondowoso saja, nanti ada elf menuju sempol, lanjut ngojek,” Kondektur memberi saran.

“Wah, kita bersepuluh, kalau ngojek habis berapa,Pak?” Panji terkejut. “Selain ojek ada gak,Pak?”

“Tidak ada,” kondektur menjawab dengan cuwek dan berlalu ke belakang untuk menarik ongkos penumpang yang baru naik. Panji berpikir keras. Bagaimana langkah seharusnya yang harus mereka tempuh. Kalau ngojek katanya bisa sampai ratusan ribu, tentunya tak ramah untuk saku mahasiswa pecinta alam seperti dirinya dan teman-temannya.

Menjelang maghrib, bis memasuki terminal bondowoso. Anggota tim ekspedisi sudah turun semua, Panji mengajak teman-temannya menuju mushola untuk menunaikan shalat dan merencanakan langkah selanjutnya. Panji mendekati petugas terminal untuk mencari informasi.

“Wah, jam segini sudah tidak ada angkutan ke sana Mas, kalau besok pagi ada angkutan ke sempol, semacam elf yang cukup untuk sekitar 20 orang. Tapi sepertinya Cuma itu satu-satunya, dan hanya ada satu sesi, "petugas terminal menjelaskan panjang lebar.

“Sini sempol berapa jam,Pak, kok Cuma ada satu angkutan?” Panji bertanya keheranan.

“Kalau langsung membawa kendaraan sendiri sekitar 2 jam, tapi kalau naik angkutan umum lebih lama,” petugas itu kelihatannya sudah enggan menjawab. Panjipun maklum dan berterimakasih. Berarti mereka harus menunggu sampai besok pagi, padahal ini baru sekitar jam 7 malam. Panji harus menjelaskan semua pada tim ekspedisi, untunglah semua setuju dan patuh pada arahan Panji. Mala mini mereka menginap di mushola terminal, besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Sempol

“Pukul 09.07 menit elf yang ditunggu datang.

“Ke Paltuding, Mas?” Panji bertanya pada sopir yang masih cukup muda, sekitar 35 tahun, Bercelana jins dengan baju kotak-kotak digulung sesikut.

“Sempol.” Jawabnya singkat. “Jadi ikut tidak?” tanyanya lagi. Dari sempol ke Paltuding naik apa Mas?” tapi Pak sopir sudah berlalu, dan datang kembali dengan sebuah karung yang sepertinya berisi beras.

“Jadi ikut semua?” tanyanya sambil mengambil tali yang cukup besar dari laci mobilnya.

“Jadi, Mas,”Panji member isyarat pada teman-temannya untuk memasuki elf. Tapi Sopir menahan mereka.

“Tasnya taruh atas, bawa barang-barang yang berharga saja,” dengan sigap ia naik ke atap elf dan menyuruh semuanya menyerahkan tasnya satu persatu untuk ditaruh di atap mobil. Cukup memakan waktu untuk mengatur bawaan semua penumpang. Mas Andri, nama sopir itu tak terlalu banyak bicara, tapi cekatan mengatur tas-tas itu di atas atap dan mengikatnya dengan tali agar tidak terjatuh di perjalanan, tanpa diminta Panji dan teman-temannya yang cowok ikut membantu. Penumpang belum penuh, tapi Mas Andri sudah mulai menjalankan mobilnya.

“Tidak menunggu penuh,Mas?” Panji bertanya heran, biasanya angkutan langka seperti ini selalu menunggu penumpang penuh baru berangkat, tapi yang ini tidak.

“Di jalan nanti penuh, sudah banyak langganan dan pesanan, “ jawab Mas Andri. Panji mengangguk-angguk meski tak terlalu paham apa maksud perkataan Mas andri. Jalan yang dilalui ternyata sudah beraspal dan bagus, meski dibeberapa tempat ada yang rusak. Tak lama melewati gardu pandang Wonosari, dan menanjak berbelok. Di perjalanan ada seorang perempuan yang menghentikan elf, Mas Andri menghentikan elf, mengambil barang-barang yang dibawa perempuan itu, mengaturnya di atap dengan telaten, dan melanjutkan perjalanan. Ketika berpapasan dengan sebuah mobil bak terbuka, sopirnya meneriakkan sesuatu dalam bahasa yang tidak dimengerti Panji. Sepertinya bahasa Madura. Mas Andri menghentikan mobilnya, memarkir agak ke pinggir, dan mengeluarkan kotak yang berisi alat-alat montir . Dibawanya perkakas itu kepada pengendara pikep yang sudah menghentikan mobilnya di seberang jalan dan arah berlawanan. Kemudian mereka asyik memperbaiki mobilnya, entah apa yang rusak. Panji dan teman-temannya melongo, kenapa mereka dicuekin dan dibiarkan menunggu, tapi sepertinya penumpang lain yang merupakan penduduk asli biasa-biasa saja menanggapinya. Mereka ngobrol sendiri-sendiri dengan teman di sebelahnya. Panji dan teman-temannya tersenyum geli. Angkutan yang unik, salut juga pada Mas Andri yang begitu sabar melayani penumpang, bahkan bertemu temannya di perjalanan dan membutuhkan pertolongan ditolongnya juga. Tak heran kalau dalam sehari angkutan ini hanya melakukan satu kali perjalanan.

Mas Andri kembali menjalankan mobilnya, setelah beberapa lama elf berhenti lagi, sepertinya sebuah pasar. Mas Andri membongkar muatan di atap mobilnya, rupanya perempuan yang membawa banyak barang yang turun, sebagian penumpang juga turun, Panji tak bisa menahan keingintahuannya untuk bertanya.

“Sudah sampai, Mas?”

“Belum, jawab Mas Andri. Itu ada masjid di seberang kalau mau shalat dulu,” Mas Andri menjawab sambil berlalu, ada beberapa penumpang lagi yang datang, beberapa karung beras, sekotak telur, beberapa kuintal kerupuk, sepertinya ada yang kulakan. Mas Andri menyerahkan catatan ke sebuah toko sembako. Tampaknya pesanan seseorang.

“Masih lama Mas?” Kita mau ke toilet dulu,” Panji bertanya sekaligus minta ijin pada Mas Andri.Yang menjawab hanya dengan menganggukkan kepala.

“Sekalian shalat masih keburu,Mas?” Panji melanjutkan pertanyaannya, sepertinya adzan dhuhur sudah berkumandang.

“Silakan,” kata Mas Andri, sambil asyik menata barang-barang yang baru datang di atas atap mobil dan mengikatnya dengan tali seperti tadi. Anggota tim langsung berlarian ke toilet dan mengambil air wudhlu. Dion menunggu di luar, dan berlalu ke sebuah warung, membeli gorengan untuk dirinya sendiri dan teman-temannya, dadar jagung dan tahu petis. Dalam sekejap habis ketika teman-temannya berdatangan selepas shalat. Setelah semua penumpang masuk, Mas Andri kembali menjalankan mobilnya. Perjalanan yang unik, pastinya Panji dan teman-temannya akan mengenang perjalanan ini, perjalanan yang sarat dengan pembelajaran.

Sekian lama mereka sampai di Sempol, sepertinya tempat itu merupakan kawasan perkebunan kopi, elf berbelok ke sebuah pemukiman dengan banyak rumah-rumah papan yang tertata seragam. Banyak tanaman bunga mawar, bawang pre dan sayur-sayuran di halamannya yang tak terlalu luas. Kali ini penumpang yang turun pemilik berkuintal-kuintal kerupuk mentah dan sekotak telur yang dinaikkan dari pasar. Ternyata diantar sampai di halaman rumahnya. Panji melirik pembayaran yang dilakukan perempuan itu, sepertinya hanya sekitar 25 ribu. Murah sekali. Pantas saja hanya ada satu sopir yang bersedia melakukan pekerjaan ini. Penghasilannya tak banyak, tapi tampaknya Mas Andri sangat menikmati pekerjaan ini. Menurut ceritanya, selepas subuh dia sudah berangkat ke bondowoso, dan menjelang ashar baru tiba di sempol lagi. Sungguh pekerjaan yang mulia. Di lokasi perumahan pegawai perkebunan kopi itu, elf berhenti lagi cukup lama, Panji dan teman-temannya ikut turun, menikmati sejuknya hawa di situ. Candramawar dan Eka rebut mencari toilet, dan ditunjukkan oleh salah satu warga, di toilet umum. Semula ragu untuk buang air di situ, toiletnya sangat sederhana, dengan sumber air yang alami, pintu masuknya berbentuk huruf L, tanpa pintu. Hanya ada parit kecil dengan tongkrongan di atasnya . Air terus mengalir dari pancuran, dan langsung mengalir lewat parit. Alirannya cukup besar, kalau tidak hati-hati pastilah akan menyembur ke baju dan basah. Eka dan Candramawar bergantian menunggu di depan pintu masuk agar tidak ada orang yang masuk ketika mereka sedang buang air di dalam. Agak repot, tapi bagaimana lagi, keadaaan darurat dan kebelet.

Setelah dari perumahan karyawan perkebunan, ternyata elf sudah mencapai titik akhir, mereka harus turun. Mereka bersepuluh adalah penumpang terakhir.

“Mau pergi ke mana sih?” Mas Andri bertanya ramah. Sepertinya kasihan melihat tim ekspedisi yang kebingungan untuk melanjutkan tujuan ke Paltuding.

“Mas Andri bisa mengantar kami ke Paltuding? Rasanya terlalu ribet kalau kami bersepuluh harus naik ojek yang biayanya lumayan mahal,” Panji memohon pada Mas Andri, sepertinya hanya Mas Andri yang bisa menolong mereka. Akhirnya Mas andri yang baik hati itu bersedia, membuat anggota tim bersorak, bahkan Mas Andri menarik ongkos sangat murah.

Perjalanan dari sempol ke Paltuding ternyata melewati perkebunan kopi yang sangat luas. Perkebunan itu milik perhutani, sehingga jalan ke paltuding sudah beraspal mulus, ada portalnya. Tapi Mas Andri sepertinya mengenal penjaga portal, sehingga mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan lancar, sampai ke Paltuding.

Paltuding adalah titik awal pendakian gunung ijen, di situ ada lapangan yang luas luas yang biasa dipergunakan untuk mendirikan tenda. Lahan itu milik perhutani, jadi mereka harus minta ijin di kantor perhutani yang letaknya di sebelah tanah lapang itu. Kalau membutuhkan penginapan, ada juga mess-mess perhutani yang disewakan. Bahkan sewa tenda juga ada, tapi tak terlihat ada toko kelontong atau warung bahan mentah, karena sepertinya jauh dari pemukiman penduduk. Sedang penjual makanan matang dari bakso, soto,rawon, nasi pecel dan lain-lain beserta minumannya sangat banyak.

“Kalau dari sini sampai Kawah ijen butuh waktu berapa lama, Mas?” Panji bertanya pada penjual bakso yang berjualan tak jauh dari tenda yang mereka dirikan. Hari sudah sore, menjelang maghrib. Mereka memilih untuk membeli makanan matang saja, sisa perbekalan bisa dimasak nanti malam atau untuk sarapan besok pagi.

“Mungkin sekitar 2 jam. Kalau mau melihat api biru ya berangkatnya mulai jam duabelas malam, atau paling tidak jam dua sudah berangkat. Kalau kesiangan api birunya sudah berubah warna,” Mas Udin penjual bakso itu memberitahu mereka. Panji segera berembug dengan teman-temannya. Seperti biasanya mereka mengumpulkan perlengkapan mendaki, dari kostum sampai konsumsi. Tentunya juga stamina. Selepas Isya’ mereka memutuskan untuk segera istirahat di kemah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post