Getuk Pasar Rakyat
Getuk Pasar Rakyat
Sekarang ini, tidak banyak orang yang tahu makanan kesukaan kakek buyutnya. Makanan-makanan favorit kala itu jarang ditemui di jaman sekarang. Terlebih di perkotaan, hampir tak ada yang jual di sana.
Namun aneh, di mall sana ada yang jual, lengkap beserta merknya. Dan selangit harganya. Ah, memang yang langka itu tentu sangat mahal. Sama seperti kuda saya waktu itu, CB merah keluaran 71. Banyak yang menawar.
Makanan ini sudah tidak asli lagi. Selain pembuatnya, bahan baku dasarnya juga sudah sedikit berbeda. Mungkin saja kesulitan mencari. Apalagi di perkotaan, lahannya saja tidak ada. Terpaksa impor. Itu penyebab harganya harus mahal. Sebenarnya, di desa melimpah.
Tidak tahu saya. Tol sudah komplit katanya, jalur tengkulak makin terpangkas katanya, dan juga biaya transportasi bisa ditekan. Seminim mungkin. Tapi kenapa di mall jadi mahal? Ah tidak tahulah. Mereka di kursi yang lebih paham. Kepentingan kampung atau kepentingan kota. Tinggal mana yang utama.
Saya rindu masa kecil di kampung. Ketika getuk, sawut, cenil dan gemblok hanya 25 rupiah saja. Tiap pagi pasti ada, karena yang jual rumahnya samping rumah. Tapi gak pernah bosan, walaupun sering makan. Malah ketagihan.
Waktu dulu parutan kelapanya enak, gula jawanya mantap dan rasanya sendiri bikin ketagihan Tak kenal usia, semua sangat suka. Terlebih merakyat harganya. Jauh di bawah harga beras sekilo. Tidak seperti yang di mall itu, beras 2 kilo saja belum tentu dapat menukar.
Pagi ini tak biasanya. Saya sekeluarga menginap di rumah Eyang uti. Pagi jalan-jalan. Pasar kampung tujuanya. Tak lain untuk melepas rindu, sekedar mencicipi. Yang katanya mahal itu. Ketika sudah di kota. Alhamdulillah masih ada yang jual.
Ternyata sudah berbeda. Bukan pedagang asli. Diganti dengan yang dulu hanya membantu. Ternyata anak mbah itu. Simbah sudah tua, untuk jalan saja butuh tongkat, sudah tidak bisa. Maka, sudah saatnya tongkat estafet diberikan kepada yang lebih muda. Seharusnya memang begitu. Tidak seperti fenomena sekarang, ada yang tak seperti itu. Malah memilih lebih tua. Untuk tongkat estafetnya. Mana mungkin bisa? Ah tujuanya sudah lain. Biarlan menjadi resikonya.
" Sudah dek?" Kulihat istri saya sudah membawa plastik bening berisi bungkusan daun jati. Daun yang masih dilestarikan. Tak terganti oleh kertas minyak. tidak sedap katanya.
Alhamdulillah. Kami pulang bawa bungkusan jati. Getuk pasar itu memang mantab, masih murah juga ternyata. Hanya pasar rakyat di tempatku yang salah satu masih ada. Selain di mall itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar